Tulisan ini sebuah refleksi. Refleksi atas makna sebuah kehidupan. Pengalaman refleksi berangkat dari pengalaman Yeremia (Yer. 20: 10-13), pengalaman Paulus (Rom 5:12-15), dan secuil pengalaman Jowo Widodo, Presiden RI sekarang. Mengapa Joko Widodo? Karena tanggal 21 Juni kemarin Beliau merayakan HUT kelahiran ke-59. Refleksi ini juga merupakan sebuah dukungan saya pribadi untuk Presiden RI sekarang.
Â
"Telah mendengar bisikan banyak orang", itulah sepengagal kalimat yang saya kutip dari buku Yeremia 20: 10-13. Kutipan ini mengarah pada pribadi Yeremia. Â Dalam https://id.wikipedia.org, dicatat bahwa Yeremia adalah seorang nabi yang terkenal pada zaman Raja Yosia (640-609 SM), Yoahas (609 SM selama tiga bulan), Yoyakim (609-598 SM), Yoyakhin (598-597 SM), dan Zedekia (597-586 SM). Menjadi nabi bukan karena kemauannya sendiri. Bahkan Yeremia sendiri justru menolak dengan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai juru bicara Tuhan. Dan hebatnya, Yeremia dipanggil Tuhan menjadi saluran suara-Nya, saat dia masih muda, masih belum tahu berbicara (Yer. 1:6).
Karena dipanggil Tuhan, dia ya atas panggilan ini, walaupun apa dan bagaimana yang harus disampaikan kepada warga Yehuda saat itu, belum diketahuinya dan belum dipahaminya. Jawaban ya atas panggilan Tuhan, meyakinkan Yeremia untuk berani, dan dalam hati kecilnya dia pasrah dan percaya pada kehendak Tuhan yang mengutus-Nya.
Yeremia dikenal masyarakat Yehuda sebagai nabi yang vokal dan tajam dalam menyuarakan orang-orang yang menyembah berhala dan ketidakadilan. Terhadap orang-orang yang menyembah berhala, Yeremia menyerukan untuk kembali berpusat pada Tuhan. Tuhan-lah yang menjadi raja segala raja, Dia-lah pencipta dan tujuan hidup seluruh umat manusia.
Terhadap ketidakadilan yang meraja lelah di negeri Yehuda, Yeremia pun dipanggil dengan suara profetisnya menentang ketidakadilan pertama-tama yang dilahirkan dari istanah raja. Yeremia terhitung berani, berani melawan raja! Karena Yeremia bersikap berani dan menentang atas situasi hidup yang dialaminya, tak heran terdengar suara ini. "Kegentaran datang dari segala jurusan! Adukanlah dia! Mari kita mengadukan dia!"
Suara yang mencurigai dari mata-mata raja yang ditujukan kepada Yeremia, Yeremia sendiri tak gentar menghadapinya. Karena apa yang disuarakannya itulah yang dilakukannya, yang dihidupinya.
Karena yang disuarakannya, itulah pengalaman riil yang sedang dihadapinya dalam lingkungan masyarakatnya. Sikap dan tindakkan Yeremia yang tajam dan berani itu, dilukiskan lagi dalam Yeremia 20: 10-13, bahwa semua sahabat akrab Yeremia pun mengintainya, jangan-jangan dia pun ikut terjerumus dalam situasi ketidakadilan.
Kebenaran yang diserukan, lahir dari pengalaman penglihatannya dan yang dialaminya dalam hidupnya. Disinilah, kita memahami kebenaran itu, apa sebenarnya. Kebenaran bukan lahir dari konsep berpikirnya. Kebenaran ialah realitas apa adanya. Tanpa direduksi dan tanpa direkayasa.
Pengalaman Yeremia pun dialami oleh Paulus pada beberapa abad sesudah Yeremia. Bahwa ketidakadilan dan penyembahan berhala, adalah akar dari dosa. Karena itu akan membawa orang pada maut (Rom. 5: 12-15). Gambaran dosa yang berakibat maut, diungkapkan Paulus sejak dari Adam hingga zaman Musa. Namun karena belaskasih Tuhan, Yesus Kristus diutus-Nya untuk menyelamatkan manusia.
Lantaran satu orang yaitu Yesus, semua orang diantar pada keselamatan Tuhan. Disinilah, kebenaran yang adalah Kristus, mampu menyelamatkan manusia. Matius menulis dalam bukunya bab 10: 26-33:Â