Novel Baswedan, penyidik KPK yang selalu ditakuti oleh orang-orang yang pernah korupsi entah pernah ditangkap ataupun belum ditangkap. Yang belum ditangkap mungkin hanya menunggu waktunya saja. Yang sudah ditangkap tidak mungkin bebas, malahan siap diri menikmati hotel prodeo.
Yang sudah ditangkap dan dibuikan, kalau tidak dimiskinkan, akan mencari waktu yang pas untuk hidup mewah. Tidak heran, sering kita dengar informasi bahwa ada semacam hotel di penjara.Â
Tidak heran, para koruptor dengan berbagai macam cara untuk membuat citra KPK atau penyidik seperti Novel, hidup menjadi sengsara, polemik tentang peran KPK, dan lain-lain; ya... jadi buruk rupalah dalam peta perlawanan koruptor.
Dua setengah tahun, oknum penyiraman air keras ke wajah Novel, baru tertangkap. Piluh sekali! Yang lebih menyeramkan lagi, oknum itu dekat dengan penegak hukum. Alamak! Semakin terpuruk citra institusi penegak hukum di mata masyarakat.
Alih-alih menegakkan hukum dan bersama masyarakat melawan korupsi, nyatanya penyidik korupsi yang jadi korban. Sebenarnya ada apa sih?
Apakah tidak senang melihat penyidik KPK yang bekerja siang malam melawan koruptor? Apakah ada kecemburuan publik yang sedang merusuh dalam hati sehingga berdampak pada perilaku bias cognitive?
Bias cognitive yang dimaksudkan disini ialah keadaan perilaku seseorang yang berakibat buruk karena informasi yang diterima dan diolah secara salah oleh cognitive. Ataukah benar menerima informasi dan benar pula diola oleh cognitive, namun karena hujatan indoktrinasi yang mau melindungi diri, sehingga keputusan yang diambilnya berdampak merugikan seseorang atau banyak orang.
Rentetan dari itu, publik melihat keputusan satu tahun penjara yang diterima oleh kedua oknum penyiraman air keras ke wajah Novel karena unsur ketidaksengajaan, menciderai keadilan (Kompas.com - 12/06/2020).
Kesengsaraan yang dialami Novel Baswedan, cermin asli wajah buruk hukum kita. Dua setengah tahun penyiraman air keras, baru ditangkap pelakunya. Selama dua setengah tahun pula, pelaku penyiraman yang dekat dengan penegak hukum, diam-diam saja. Lalu untuk apa negara bersusahpayah bekerja dengan biaya yang lumayan besar untuk mencari dan menangkap pelakunya?Â
Inilah sebenar sebuah permainan, yang sebenarnya tidak fair. Melibatkan aparat penegak hukum, pembentukan tim khusus pencari fakta, biaya operasional yang tidak sedikit, serta publik dipertontonkan dengan sebuah pentasan dengan topeng kemanusiaan yang adil dan beradab, Â e... nyatanya yang dilakukan semuanya itu adalah drama belaka.Â
Sementara itu, Novel Baswedan yang lagi menderita harus terus menderita, menjerit meminta keadilan. Keadilan itu, berujung dengan tetap derita. Tidak ada keadilan yang diterimanya. Tidak mengalami keadilan yang sesungguhnya.