Jujur saya harus katakan demikian ini. Setelah era reformasi, Pancasila kurang bergema. Seakan-akan terkuburkan. Baru akhir-akhir ini, Pancasila mulai didengungkan lagi. Padahal, Pancasila itu dasar negara republik ini, yang didalamnya terkandung kepribadian bangsa dan negara kita.
Saya tidak mau terlalu lama untuk mendiskursuskan hal demikian, mengapa setelah api reformasi ditampilkan, Pancasila seakan hilang dari berbagai panggung publik, misalnya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Pendoman dan Penghayatan Pancasila (P4).
Sekedar mengingat kedua pokok tadi, rasanya pilu yang menyengat didada. Pasalnya, nilai-nilai yang harus dicapai kami kala itu, tidak boleh dibawah rata-rata. Ancaman untuk tidak naik kelas, pasti akan terjadi.
Sekedar Refleksi Pancasila
Pancasila itu hasil study yang panjang oleh para pendiri republik ini. Study yang dilakukan mereka tidak hanya di kampus-kampus atau diskusi-diskusi para intelektual dan mahasiswa kala itu. Study juga mereka jalankan ketika mereka dibuang kemana-mana dalam wilayah Indonesia ini.
Dibeberapa tempat pembuang, para tokoh pendiri negara ini, berjumpa dengan masyarakat. Dalam perjumpaan itu mereka berdialog, berdiskusi kecil, dan bahkan turun ke kampung-kampung warga untuk mengalami situasi penjajahan.
Dalam perjumpaan, mereka menemukan berbagai unsur dasar seperti gotong royong warga, musyawarah-mufakat, kebudayaan-kebudayaan lokal yang mencerminkan relasi masyarakat secara komunal dengan Sang Khalik yang mereka yakini sebagai Pencipta, Pemberi Kehidupan
Unsur-unsur dasar yang ditemukan mereka itu, dengan intelektual jernih merumuskan sebagai Kebudayaan Nasional Indonesia, dimana hasil kulminasi dari seluruh budaya daerah di persada Indonesia, dari Sabang sampau Marauke, dari Sangi Talau hingga ke Pulau Rote. Keseluruh kebudayaan itu merupakan proses yang didalamnya terjadi  pemanusiaan sendiri.
Proses pemanusiaan berarti bahwa telah terjadi penyelarasan, penyerasian dan penyeimbangan hidup. Para pendiri republik ini kemudian merumuskan dengan sangat jelas dan tegas; dengan isi yang padat dan bernas, yang disebutnya Pancasila, yang kita kenal hingga saat ini: Ketuhanan Yang Mahaesa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Prof. Dr. Zainul Ittihad Amin, Drs., M.Si, dalam salah satu modulnya untuk para mahasiswa Universitas Terbuka tentang paradigma Pancasila dalam menghadapi globalisasi, mengulas tentang Pancasila dengan mengutip dari Notonegoro (1959) demikian: bahwa sila pertama merupakan dasar dari segala sila.Â
Karena sila pertama menjadi dasar bagi keempat sila lain, maka sila pertama pun boleh kita sebut sebagai puncak. Prof. Zainul kemudian melanjutkan bahwa sila pertama, "Engkau yang abadi, kekal", sila kedua, "Aku" manusia dalam pengertian abstrak, dan sila ketiga, keempat dan kelima adalah sosialitas manusia.
Dari penjelasan ini, termaktub bahwa sila-sila dalam Pancasila tak terpisahkan satu sama lain. Bahwa praktek sosialitas manusia Indonesia merupakan gambaran dirinya sendiri, yang berakar pada relasi intimnya dengan "Engkau yang abadi, kekal."
Karena Pancasila adalah kulminasi dari seluruh elemen kehidupan manusia Indonesia, maka manusia Indonesia adalah manusia yang seutuhnya. Hakekatnya ialah manusia yang berkualitas.
Itu artinya bahwa secara idealis, manusia Indonesia itu memiliki keselarasan, keseimbangan, dan keserasian antara hubungannya dengan Tuhan Yang Mahaesa dan hubungan dengan alam semesta, akal budi, jasmani dan rohani, perasaan, kehendak, diri dan masyarakat. Disinilah kita menemukan manusia Pancasila model manusia Indonesia.
Kemudian, dalam praksis hidup, manusia Indonesia yang berkualitas itu, manusia yang mampu mengaktualisasikan pengetahuan dan mampu belajar dan menggunakan teknologi, dengan berlandas pada iman dan taqwa, yang berakar pada budaya Pancasila.
Pancasila, Ideologi yang terbuka
Di tengah-tengah masyarakat yang kerja keras memperjuangkan hidup keseharian, terkadang kita dhebohkan dengan berbagai ideologi lain yang berasal dari luar. Ideologi itu kemudian dibenturkan dengan Pancasila. Entah sadar atau tidak, kekuatan Pancasila benar-benar menghadirkan kembali spiritnya. Bahwa Pancasila itu khas Indonesia. Beratus tahun, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu memekarkan kembali bunga-bunga yang menyejukkan. Menganyun dan mengikapas keluar ideologi luar.
Pancasila kembali kokoh dan subur tumbuh dalam diri masyarakat Indonesia. Karena didalamnya berwujud nilai-nilai dasar serta prinsip-prinsip kehidupan bersama masyarakat yang sudah disepakati, bukan sebagai teori dari luar yang dipropagandakan, melainkan sebagai perumusan nilai-nilai dan cita-cita yang memang hidup dalam masyarakat, dalam konteks ketekadan bersama bangsa Indonesia untuk membentuk negara kesatuan (Suseno: 1992).Â
Karena begitu dalamnya nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung didalam Pancasila, sudah saatnya kita tetap berikhtiar baik untuk selalu menghidupkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup kita, yaitu Pancasila.**
Referensi:
- Dr. Zainul Ittihad Amin, Drs., M. SI, Pendidikan Kewarganegaraan, MKDU4111, Banten: 2019, cet. Ke-32.
- Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogjakarta: Kanisius, 1992.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H