Kedua, suatu kali saya berada di Pulau Mengkait. Tiba-tiba ada mayat yang terdampar di pulau itu.Â
Masyarakat menjadi heboh. Namun hebatnya bahwa ada masyarakat yang mengambilnya dan menguburkannya ditepi pantai. Saya sendiri akhirnya merasa menjadi biasa. Tetapi hal-hal semacam itu menjadi tanda tanya besar dalam pikiran saya.Â
Bahwa bekerja di kapal-kapal asing ataukah dalam perjalanan melintas lautan dengan jarak yang jauh, peristiwa kematian akibat sakit, atau hal lain, apakah tindakan membuat mayat ke laut adalah tindakan manusiawi? Manusia adalah pusat dan fokus yang dihormati dan dihargai yang melebihi barang lainnya.Â
Dari pengalaman tadi, saya mencoba menalar dengan ABK kita di kapal RRT. Siapapun dia, jenis kerja apapun juga hukum mestinya mendukung dan menempatkan manusia sebagai subyek yang menyejarah yang memberi makna bagi manusia lain.Â
Ketika manusia lain bertindak atas nama hukum tetapi tidak menghormati dan tidak menghargai manusia walau tidak produktif lagi, manusia lain dan produk hukum yang berlaku, sedang tidak waras dan krisis dalam moralitasnya. Manusia menjadi serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).
Manusia, siapapun juga dengan beban hidup apapun juga, mestinya tetap berdiri untuk menegakkan dirinya sendiri dan sesama, tanpa menjadi mangga untuk sesamanya.
Manusia menjadi manusiawi karena akal budi, kehendak dan kebebasannya serta pengetahuan yang dimiliki harus lebih menja dirinya dan memberi makna yang menghidupkan bagi sesama (human) dan yang lainnya (infrahuman).Â
Pengalaman ABK kita di kapal asing, negara harus berjuang untuk berpihak kepada warganya. Karena ABK kita adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama seperti manusia lain dalam kapal itu dan sama seperti manusia seperti kita. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H