Hampir setahun, saya tidak pernah ke kebun. Rutinitas bekerja di tempat lain membuat saya lupa akan kebun saya. Kebun itu semak belukar. Orang yang pernah menggarap di kebun, pergi tanpa berita. Datang memang tak terduga, pergi pun tak terduga. Pikir saya, ke kebun pasti akan berjumpa dengan keluarga itu.Â
Namun, rupanya telah tiada. Mereka sudah tidak olah lagi kebun itu. Kebun menjadi hijau, hijau kerena rerumputan tumbuh subur. Pohon-pohon coklat, mahoni dan sengon yang saya tanam, tumbuh tinggi, menjadi hutan yang sejuk. Hati kecil saya bergeming, untung kebun saya tidak mereka jual atau tidak mereka gadai kepada orang lain.Â
Niat baik mereka untuk mengolah kebun itu, ternyata benar. Mereka hanya mengolah tetapi mereka tidak menghiraukan pemiliknya. Mereka tanam pepaya, lalu panen.Â
Mereka tanam timun dan panen lagi. Mereka tanam cabe dan sekali lagi panen. Menanam dan panen, jadi kerja mereka untuk mendapatkan rejeki. Semuanya ini, saya ikhlas saja. Tetapi satu hal yang benar-benar membuat saya kaget dan berpikir tiga kali lipat ialah kertas-kertas dan sampah-sampah plastik yang mereka gunakan selama ini, ditinggalkan begitu saja.
Hari ini baru saya tahu ketika rerumputan yang menghijau saya tebas. Saya bersihkan daun-daun kering dari pohon-pohon coklat dan mahoni serta pohon sengon. Awalnya ikhlas namun lama saya menerawang jauh, akhirnya saya putuskan bahwa kebun saya ini tidak akan saya berikan kepada orang lain untuk mengolah, mengambil hasil, dan pergi begitu saja dengan seisi kebun yang berantakkan.Â
Situasi ini menambah keheningan saya ketika hujan mulai turun dan petir mulai bergemuruh. Rasanya bahwa ikhlas memang berat. Keikhlasan hati pemilik dibalas dengan kebodohan tanpa batas.Â
Memang, manusia itu sulit untuk dimengerti bahkan sulit untuk mengenal lebih jauh. Padahal, sejak awal saya pahami mereka karena kondisi ekonomi hidup mereka.Â
Cara santun dan halus untuk meminta kepada saya bahwa kebun itu kami olah dulu, berbuah pahit. Dari pengalaman ini, saya pun merenungkan diri, bahwa rupanya benar, manusia itu misteri serentak problematika.
Kisah kebun tadi mengingatkan saya bahwa kebun itu sendiri tempat mengolah fisik. Keterampilan mengungkapkan kreativitas fisik. Mengungkapkan ketangkasan fisik dalam mengolah alam. Apalagi, mengolah alam, berarti melatih kedekatan fisik saya dengan tanah.Â
Bahwa dari tanah inilah asal usul saya dan hidup saya. Bahwa dari tanah inilah, kehidupan seseorang terjadi dan terlaksana. Juga kebun ialah bentangan hati.Â
Hati yang tulis ikhlas untuk memberikan mereka mengolah, adalah tindakan saya. Bahkan selama mereka mengolah, mereka pun tidak memberikan apa-apa kepada saya, hanya saya saja yang mungkin terlalu memberi hati. Bentangan hati yang ikhlas, tak seikhlas yang saya harapkan itu.Â