Sebutan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah pepatah tak perlu diragukan lagi. Walaupun ada yang pesimis tentang profesi satu ini.Â
Pesimis karena gajinya kecil. Pesimis karena guru sering berulah sehingga anak didik jadi sasaran kekerasaan. Pesimis karena guru terlalu banyak beri PR kepada anak muridnya. Dan mungkin masih banyak sikap pesimitis lainnya. Ini litani kita bersama.
Dari deretan sikap pesimitis ini, apakah kita sadar diri bahwa kita pun pernah belajar dari sang tokoh pahlawan tanpa tanda jasa ini? Kita kenal huruf dan angka dari guru.Â
Kita mungkin kenal disiplin dari dedikasi mereka. Kita tahu membaca dan menulis dari guru yang sekarang kita mengambil sikap berseberangan. Kita mampu mengeja huruf dan angka hingga lancar membaca dari mereka yang kini terkadang dipenjarakan akibat sikap kita.Â
Mungkin baik juga jika di hari guru (2 Mei), kita kenang mereka, kita doakan mereka, kita persembahkan diri mereka dalam pelukan kasih kita sembari belajar dari mereka sikap rendah hati dan sabar mereka sehingga tetap menguatkan kita dalam berjuang meneruskan panggilan mereka dalam keluarga dan usaha kita.
Harus diakui bahwa dunia pendidikan kita selalu berubah dan berkembang. Hal ini bukan satu-satunya karena pergantian pemimpin. Apalagi bukan karena mentalitas sang pemimpin yang ingin berubah sesuka hatinya. Namun lebih dari itu, karena perkembangan dunia masa kini yang selalu menuntut pemahaman, perasaan, kehendak, dan jiwa dari setiap perkembangan zaman.Â
Perkembangan zaman inilah yang selalu mendorong, memotivasi dan lebih dari itu mengajak kita untuk segera berubah, beranjak dari satu tempat ke tempat lain. Tidak boleh terlalu lama di suatu tempat.
Jika tidak berubah pasti akan kalah saing. Jika tetap status quo, bertentangan dengan esensi dasar manusia yaitu homo viator, manusia peziarah, yang menyejarah dalam pencarian makna hidupnya.
Dengan begitu, tuntutan strategi, obyektivitas (sasaran), kegiatan dan tahapannya, tanggungjawab pelaksanaan, waktu dan indikator pun harus disediakan cukup untuk siap bersaing dengan pendidikan-pendidikan luar.Â
Tanpa ini semua, pendidikan tetap menjadi proses mati yang melahirkan manusia yang hanya suka meniru, pintar karena menglafal, pandai berorator, tetapi nihil dalam bekerja.
Kita kembali kepada guru. Guru memang sebuah profesi yang masih diminati. Ini harus kita akui. Bagaimana jika tanpa guru di sekolah atau di kelas? Mampukah orangtua menjadi guru di rumah? Seberapa lama orangtua mengajar anaknya membuat PR jika anaknya itu masih TK atau SD kelas 1 atau 2?Â