Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Jangan Anggap Remeh Lebah Hutan”

28 September 2011   06:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_137950" align="alignleft" width="300" caption="terlihat dari kanan ke kiri Om Mateus, Maria Bona (isterinya) dan Bie Lie"][/caption] Ufuk timur Bedukang, sebuah desa di Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka berawan gelap. Tanda alam ini bukan mau hujan. Tapi kemarau. Rumah-rumah yang berada di pinggir jalan itu, sepi. Tak satu orang pun lalulalang disitu. Jalan raya yang berhubungan dengan tepi pantai Bedukang itu, berdebu tebal. Memang setengah beraspal tetapi terlihat kecoklatan, warna asli tanah di desa itu.

Masyarakat diaspora Maumere Flores yang menempati rumah-rumah di pinggir jalan setengah beraspal dan setengah tanah merah menuju pantai Bedukang itu, telah berangkat kerja. Hampir semua penduduk diaspora asal Maumere Flores itu, setiap hari meramu biji timah di Camuy. Biji timah, menjadi sumber penghasilan bagi mereka. Jika mereka ke Camuy dan tidak menghasilkan biji timah, itu artinya mereka tidak bisa makan. Timah, menjadi tempat tumpuan harapan hidup mereka bahkan menjadi penghasilan yang bisa mereka tabung untuk bisa mudik ke kampong halaman dan membangun rumah yang layak untuk mereka tinggal.

Mateus Madong, (46) salah seorang bapak diapora Hale Hebing Maumere Flores pun pergi bekerja, pagi itu. Bapak yang sehari-hari bekerja sebagai petani kelapa sawit yang ada di samping rumahnya itu, kali ini dia bukan pergi ke kebun sawitnya tetapi dengan mengendarai honda Supra Fit berwarna merah yang berpadu dengan hitam menuju kebunnya yang hampir setahun lebih ini tidak dikunjunginya. Dia pergi dengan maksud menebas rumput dan mau menanamnya dengan tanaman sengon. Dia melihat seluruh lahannya. Dia memastikan bahwa lahannya itu masih utuh, tidak diramba pengeruk timah ilegal. Estela memeriksa seluruh lahan hampir dua hektar itu, om Mateus mulai menebas disekitar beberapa pohon kayu besar.

Rumput kekuningan akibat kemarau itu telah diratakannya, dengan parang dan diinjak-injak supaya cepat hancur. Beberapa menit kemudian, om yang bernama lengkap Mateus Modang, menebas lagi disebelah pohon yang lain. Dalam sekejap mata, ia mendengar suara begitu besar dan kencang, semacam suara jet atau kapal terbang. Selang beberapa detik, kepala dan seluruh badannya telah dikeroyok ribuan lebah hitam yang sedang bersarang dibawah pohon yang dikelilingi oleh rerumputan. Matanza gelap. Terasa bahwa badannya seperti ditusuk jarum suntik. Terasa sakit sebentar tapi sejenak lagi terasa gatal dan mulai membengkak.

[caption id="attachment_137952" align="alignright" width="300" caption="Camuy - air yang menyelamatkan Om Mateus"][/caption] Om Mateus Modang pun tidak mau kalah. Ia melawan dengan melarikan dirinya. Ia lari sambil menutup muka, walaupun dalam keadaan yang payah, ia terus berlari di jalan raya yang sepi. Naas memang nasibnya. Bukan hanya mengeroyok bapak satu anak itu, tetapi mengejarnya hingga 2 km jauhnya, hingga bapak Mateus kehabisan akal untuk menyelamatkan dirinya. Dalam pelarian itu, ia berharap ada orang yang menolongnya. Namun harapan itu, tidak kesampaian. Dengan daya kekuatan yang ada, ia melihat di sebelah kanannya sebuah lubang Camuy, bekas galian tambang timah yang masih banyak air. Om itu langsung menceburkan seluruh badannya ke dalam air Camuy. Dalam kesakitan itu, ia berjuang untuk beberapa kali turun-naikan kepala, agar riduan lebah itu bisa lari menjauhi dari dirinya.

Apa yang selalu diharapkan dalam perjuangannya itu, tercapai. Ribuan lebah itu lari. Tapi tidak semuanya. Masih ada yang belum lari tapi sudah setengah mati di atas permukaan air. Ia pun keluar dari lubang Camuy, lari ke tepi jalan dan berjalan menuju sepeda motornya yang terparkir di pinggir kebun tadi. Ia cepat-cepat naik motor dan langsung lari pulang ke rumahnya. Di rumahnya, om Mateus yang telah merantau di Bangka hampir 20-an tahun itu lemas dan pingsan. Om tidak sadarkan diri lagi. Karena racun ribuan lebah yang mengeroyoknya telah bekerja secara cepat dalam badannya.

Kerumunan orang Flores di rumahnya itu terlihat hiruk pikuk. Mereka keluar masih rumah menunggu om itu sadar. Hampir 7 jam kemudian, ia sadar. ”Rasanya saya ini melayang di udara. Saya tidak melihat siapa-siapa saja yang datang dan pergi dari rumah ini. Saya bukan hanya tidak melihat, tetapi tidak mendengar apa-apa lagi. Tapi satu hal yang saya lihat terakhir, rumah saya ini telah terbalik”, cerita om Mateus yang hampir 7 jam lamanya, tidak sadarkan diri.

Tubuhnya bengkak dan berlubang-lubang akibat masih ada jarum lebah yang menancap. Jarum lebah itu perlu dicabut perlahan-lahan sehingga tidak patah.

Kejadian itu tepatnya pada 21 Maret 2010 lalu. Dengan ceritera ini, diharapkan agar orang yang bepergian ke hutan seperti tamasya atau pun heching baik siang maupun malam, bersikap waspada dengan bitang-bitang hutan. Waspadalah....waspadalah...Lebah bukan hanya enak madunya tetapi racunnya berbahaya untuk tubuh manusia jika ia sudah menyengatnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun