Apa itu imanensi? Secara terminologis, imanensi kerap diartikan sebagai kemelekatan atau suatu modus eksistensi yang inheren pada sesuatu. Dalam pengertian ini, sejarah konsep imanensi berjalan beriringan dengan atheisme (dalam bentuk materialisme, misalnya, yang mengandaikan imanensi hal-ikhwal pada materi) atau paling jauh dengan pantheisme (imanensi semesta pada Tuhan) yang dianggap bid'ah bagi visi theistik secara umum. Sebaliknya, istilah transendensi merujuk pada suatu kondisi pelampauan atas batas tertentu, umumnya batas material, sedemikian sehingga ia terkait erat dengan theisme. Dari asosiasi inilah lantas muncul opini umum tentang "doktrin dua-dunia"[1], yakni kepercayaan tentang adanya dunia spiritual yang eksis mengatasi, dan terpisah dari, dunia empirik-sensibel. Dan sejauh sejarah peradaban, manusia kerapkali dirasuki anasir-anasir agamis, maka tak heran jika konsep transendensi---dengan doktrin dua-dunianya---diberikan porsi yang lebih besar ketimbang konsep imanensi.Â
 Lalu sesungguhnya bila terdapat dua dunia terkait mengatasi dan terpisah dari dunia empiric itu memang sungguh ada, bagaimana untuk memahaminya sebagai sebuah keutuhan yang dapat diberikan pendekatan nalar, serta dapat dipikirkan sebagai sebuah analisa logis terhadapnya. Maka dari itu kiranya, perlu untuk kembali membuka lembar-lembar abad pertengahan terlebih khusus kajian filsafat di dalamnya, terlebih khusus bagaimana tindakan imanen Allah pada diri-Nya, sebagaimana akan dapat dijelaskan sesuai kaidah pemilahan nalar dan memiliki kemungkinan untuk dapat dimengerti. Oleh karena itu jawaban yang lebih tepat dan rujukan untuk menjawabnya tentunya sangatlah banyak, namun pada tulisan ini perlulah penulis untuk membahasakan dalam pemikiran Thomas Aquinas terkait pendekatan ontologinya, mengenai Allah dan tindakan imanen-Nya.
 Pendekatan Ontologi tentang Allah
 Pada lima Jalan dalam kajian Thomas Aquinas untuk memahami Allah, salah satunya adalah pendekatan ontologis, yakni dengan mengenal Allah melalui pendekatan akal budi. Rasio tentunya memegang peranan penting di sini, yang mana tidak berdiri sendiri dengan argumentasi pribadi, tetapi menimbang penyelenggaraan Allah atas seluruh ciptaan melalui cara spekulatif setaraf kontemplasi, hal ini dengan sendirinya membuat pendekatan Allah dari usaha manusia itu sendiri, sangatlah kaya, walaupun memang di zaman patristic pada abad pertengahan memunculkan banyak bida'ah yang lahir dari kekeliruan argumentasi di dalam memahami Allah, tapi tak terpungkiri semua dinamika perdebatan di dalamnya adalah kekayaan tersendiri yang serta merta melahirkan fondasi kokoh bagi pemikiran Gereja hingga detik ini.
 Thomas Aquinas didalam bukunya Quaestiones disputate de veritate (atau biasa disingkat De veritate) menjelaskan secara filosofis terkait dimensi Allah di dalam tindakan imanen-Nya sebagai Pengada, yakni bahwa Ia merupakan hal pertama yang ditangkap oleh intelek dan merupakan objek langsung dari intelek, ditunjuk sebagai sesuatu yang dapat ditunjuk eksistensinya 'di sana.'[2] Ungkapan di sana adalah lebih mendekati ke arah realitas aktual maupun pada ide yang hanya bereksistensi dalam intelek.[3]Â
Dengan kata lain bahwa Allah adalah sebuah aktualitas, baik itu di dalam tindakannya terhadap ciptaan maupun di dalam dirinya sendiri, hal itu sebagaimana akan diungkapkan dalam risalah Thomas Aquinas pula melalui kaidah intelek Ilahi, hal ini akan termaktub pada Summa Thelogica[4] yang tentunya akan dibahas setelah mengenal gagasan ontologi Thomas mengenai Allah itu sendiri.Â
 Pemikiran filosofis Thomas Aquinas ini didasarkan pada pemahaman Aristoteles terkait Metafisika-nya di mana memuat suatu kajian tentang ada, sebagai yang pada dirinya (Being as such). Seperti bagian pemilahan dari Aristoteles terkait 4 substansi, yakni salah satunya berdasarkan pendekatan ketiga yang menyatakan bahwa substansi dipakai untuk menyatakan apa saja yang menjadi bagian fundamental dalam suatu pengada sebagai sesuatu yang mandiri.[5] Namun untuk kajian otentik Aquinas walaupun berpadanan dengan pemilahan kategori Aristoteles, tentunya ia melihat sebuah titik tolak berbeda, yakni bahwa substansi memiliki pandangan dan karakternya sebagai yang subsisten, di mana penegasannya adalah bahwa pengada merupakan sebuah subsisten (berdiri pada dirinya) hal inilah yang tentunya secara garis besar dirumuskan oleh Thomas Aquinas, terkait cara untuk mengenal Allah di dalam terang akal budi. Namun apakah itu cukup untuk mengenal dan mendalami aktivitas Allah dalam pemahaman teologi kekristenan sebagai Allah Tritunggal (Bapa, Puter dan Roh Kudus) tentunya jalan itu tak dapat diilhami hanya bermodalkan dengan rasio, maka kini penting untuk mengenal hanya di dalam iman itu sendiri.Â
 Imanensi Allah dalam Summa Thelogica
 Aquinas menjelaskan bahwa eksistensi dari suatu pribadi dalam Trinitas tidak dapat diketahui melalui rasio kodrati: hanya iman yang membuat Trinitas dapat dikenal. Manakalah dia menjelaskan bahwa para filsuf tidak dapat meraih pengetahuan akan Trinitas melalui rasio kodrati, Di dalam Summa Theologica sangat jelas dipaparkan bahwa Prinsip-prinsip ilmu lain juga terbukti dan tidak dapat dibuktikan, atau dibuktikan dengan akal sehat melalui beberapa ilmu lainnya. Tapi ilmu yang tepat untuk ini sains datang melalui wahyu dan bukan melalui akal alami. Oleh karena itu tidak ada perhatian untuk membuktikan prinsip-prinsip orang lain ilmu pengetahuan, tetapi hanya untuk menilai mereka. Apa pun yang ditemukan di tempat lain ilmu yang bertentangan dengan kebenaran apapun ilmu ini harus dikutuk sebagai kesalahan: "Menghancurkan nasihat dan setiap ketinggian yang meninggikan dirinya sendiri melawan pengetahuan tentang Allah "(2 Kor. 10: 4, 5).[6]
 Walaupun Aquinas tak menawarkan sebuah solusi untuk mengenal Allah secara lebih sempurna, namun ia memberi pemaparan terkait Allah dan keaktifannya di mana hal tersebut tentunya tak dapat dipisahkan darinya. Tentu tak lain tak bukan tampak di dalam karya Summa Thelogica darinya, yakni secara keseluruhan dapat dipilah di dalam 2 bagian pertama, Allah di dalam tindakan imanennya (baik itu merasa, mengetahui, dan menghendaki) sebagai unsur imanen dari Allah itu sendiri, dan kedua, tindakan penciptaan dan penyelamatan. Dua dari aktivitas Ilahi ini kiranya amatlah penting guna, mengantar relasi di dalam Allah beserta dinamika dalam dirinya, serta keluar dari dirinya. Sebagaimana pendapat sebelumnya bahwa Allah Trinitas diungkapkan demi menyatakan gagasan demi melawan kesesatan (bid'ah) seperti yang telah dipaparkan terkait filsafat abad pertengahan terlebih khusus konteks patristika. Walaupun demikian, justru Thomas Aquinas memakai rumusan patristic tersebut demi melengkapi Summa Theologica-nya, hal ini pulalah yang membuat seluruh bentuk pemikiran kristiani dalam rentang sejarah pemikirannya itu dapat dibuat secara terstruktur dan dimulai dengan pendekatan filosofis Aristotelian, lalu untuk selanjutnya pemaparan Agustinus menjadi posisi kunci untuk menerangkan teologinya.
 Maka dengan kata lain bahwa risalah Summa Theologica, terkait imanensi Allah pertama-tama menjadi pegangan terlebih dahulu demi memahami Allah pada diri-Nya, senada dalam kajiannya sering mengutip Agustinus (De Trinitate) baik itu melalui tindakan imanen diantara ketiganya, serta keaktifan demi kesempurnaan pada diri ketiganya pula di dalam kesatuan. Salah satunya ialah ketika Thomas Aquinas memaparkan ide tentang Allah terkait intelek di dalam pengetahuan manusia dan perbedaannya di dalam Allah sendiri, yakni bahwa Karena memahami bukanlah sebuah gerakan yang merupakan tindakan dari sesuatu yang tidak sempurna yang berpindah dari satu ke lain, tetapi itu adalah tindakan, yang ada di agen itu sendiri, dari sesuatu sempurna. Begitu pula bahwa intelek disempurnakan oleh yang dapat dimengerti objek, yaitu berasimilasi dengannya, ini milik intelek yang ada terkadang dalam potensi; karena fakta keberadaannya dalam keadaan potensi membuatnya berbeda dari objek yang dapat dipahami dan berasimilasi ke dalamnya melalui spesies yang dapat dipahami, yang merupakan kemiripan dari hal dipahami, dan membuatnya disempurnakan dengan demikian, sebagai potensi disempurnakan dengan tindakan. Di sisi lain, yang intelek Ilahi, bukan merupakan potensi, tidak disempurnakan oleh objek yang dapat dipahami, juga tidak berasimilasi dengannya, tetapi miliknya sendiri kesempurnaan, dan objeknya yang dapat dipahami.[7]