Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bergumul dengan Mahasiswa Semester 6

19 Maret 2020   14:52 Diperbarui: 19 Maret 2020   18:01 3096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan ini kubagikan sebagai sharing untuk kita semua yang tengah menghadapi semester 6 terkhusus saya, bahwa semua kenyataan tugas dan seluruh tanggung jawabnya bukan semata untuk memberatkan, tetapi melatih mental serta kemampuan berpikir untuk me-manage waktu secara tepat dan akurat, guna menuntaskan perkuliahan secara membahagiakan. Berikut contoh yang kupaparkan diambil dari keluhan mahasiswa serta pergumulan di dalam perkuliahan itu sendiri, tapi tidak bermaksud untuk men-judge, namun sekadar memberi edukasi dan paradigma.

Kak... sioo, sebentar lagi kaka Skripsi iyo? Pulang kampung su tinggal satu tahun lay.... Ujar salah seorang adik dari Intan Jaya bernama Martin[1], yang beberapa waktu lalu kujumpai seusai misa di salah satu Gereja. Pikirku 'Apa iya tinggal satu tahun lagi kah? Ina.... Sa macam tra sadar e' Tentunya aktivitas yang padat disertai tugas-tugas dari beberapa mata kuliah, juga diselingi dengan kepentingan rumah membuatku kian sibuk dan baru tersadar setahun lagi aku akan pulang libur. 

Itulah gejala mahasiswa semester 6, dikebut waktu sampai menatap hari bahagia, yakni libur pun lupa (maklum sa pu pijakan tra selalu sama)[2] Kata kebanyakan orang, Semester enam itu semester paling menantang, sudah banyak tugas kuliah, direpotkan dengan urusan rumah, tambah lagi beban proposal skripsi, pokoknya sangatlah rumit dan membuat kepala seakan sedang merebut hadiah Royale Pass pada permainan PUBG. 

Urus diri pun pasti lupa tentunya, apalagi bila kalo melihat jurusan yang sedang aku geluti yakni sastra, sungguh sangat-sangat sangar. Berambut panjang, berkumis tebal, bahkan berjambang, di tambah dengan outfit yang hanya disponsori kepercayaan diri, semakin meyakini seorang pria bahwa bergumul dengan seluruh dinamika semester 6 amatlah padat. 

Tetapi walaupun demikian, aku tetap menempuh ini dengan bergerak terus tanpa henti, hanya sampai kapan woi... penekanan estetika diri selalu dapat menebak usia perkuliahan yang ditentukan oleh mahasiswa tersebut. 

Tantangan semester enam

Adakalanya oleh karena tuntutan perkuliahan dan juga, dosen yang kian memelintir mahasiswa dengan banyak tugas memberi keyakinan bahwa sesungguhnya mahasiswa semester 6 tengah dilatih untuk mengatur diri serta mencoba me-manage setiap waktu yang ada. (Boro-boro pergi liburan satu atau dua hari, tentunya waktu libur pun acap kali dimanfaatkan dengan lanjut mengerjakan tugas, baik paper sampai setiap makalah presentasi).

Lebih parah lagi kalau salah satu matakuliah diisi oleh pengampu yang dari luar daerah, bukan main ruwetnya, menyesuaikan dengan penempatan pikiran dosen, serta memahami alur dan kerangka berpikir dosen tersebut, seringkali menjadi pedoman untuk menjawab tiap soal ujian tengah semester pun berlanjut hingga ujian akhir semester. Kadangkala teman atau kerabat berbisik 'bro... kalo si bapak itu metode penilaiannya, tulis yang jelas dan langsung to the point, niscaya engkau akan mendapatkan nilai baik saat ujian' sungguh peneguhan ini cukup marak terjadi pada momen perkuliahan oleh masing-masing mahasiswa.

Lalu kalo kaum wanita? Ya tentu saja sebanding, hanya mungkin lebih dominan ke masa depan ya. Menurut catatan yang kubaca bahwa pada media online beberapa waktu lalu, siklus usia dua puluh tahun merupakan masa di mana wanita akan memikirkan pernikahan sebagai solusi terbaik dalam mengakhiri semua tugas tersebut, masak iya?[1] Konon katanya Fase di mana rasa capek untuk kuliah dan pusing untuk mengerjakan tugas yang tiada akhir begitu membuat hati merasa tersiksa. Menjadi alasan bahwa menikah adalah pilihan terbaik. Hmmm.... Bisa juga nih, hehehe... 

Namun apakah harus dengan cara tersebut? Tentunya alasan ini menjadi momok bahwa oleh karena keseringan berganti pasangan saat pacaran menjadi sebab bahwa wanita yang umumnya dua puluh-an pada semester enam, seringkali lebih melihat solusi ini sebagai jalan terbaik. Hanya apakah semudah itu? Sebab pada dasarnya khan, menikah itu lebih banyak tantangannya ketimbang gembiranya ya... ngatur suami, rumah tangga, apalagi anak-anak nantinya. Merinding juga kalo ngebayanginnya.

Hal-hal yang lebih amat seru lainnya ditemukan dari semester ini tingkah dan setiap keluhannya hampir semua rata-rata belum diimbangi penalaran yang kuat. Contoh kisah, pernah suatu hari, aku bekerja kelompok dengan teman sekelasku berharap dikerjakan langsung tanpa harus menunda, karena jangan sampai esok ada tugas baru dari mata kuliah yang berbeda. 

Namun tanggapannya itu membuat aku mengenal bahwa sosok Squidward dalam serial kartun Spongebob Squarepants benar-benar nyata dan cukup realistis. Pernyataan yang didaraskan, kalo bisa kerja besok, kenapa mesti sekarang? Asyik dan sangat tidak terbebani bukan? Wauw... memang teman kelompok yang sangat menginspirasi.

Hadapi dengan riang dan terus bergerak

Ketika menghadapi ini, bagaimana pendapat teman-teman sekalian? Sesungguhnya fenomena ini amat lazim dan sangat akrab dialami oleh tiap-tiap kita para mahasiswa. Setiap kecenderungan yang terpapar dalam aktivitas perkuliahan kadang memang membawa keluhan tersendiri, dan baru disuarakan saat sampai di rumah. 

Tetapi mau bagaimana lagi? Memang merupakan sebuah tuntutan, bukan? Sejatinya menjadi mahasiswa itu merupakan sebuah pengalaman yang menarik, dari situ kita kenal tanggung jawab bersama di dalam kelompok, juga kesatuan dari setiap perbedaan pada pemikiran, serta tanggung jawab menunaikan kedisiplinan waktu. Keluhan memang merupakan hal yang wajar, tapi patut diingat bahwa tugas tetap tidak bisa ditarik kembali lagi pernyataannya. 

Justru yang diperlukan adalah keriangan, tanpa memikirkan itu sebagai beban. Salah satu filsfuf eksistensialis pernah berujar lebih tepatnya Jean Paul Sartre, 'eksistensi mendahului esensi' bahasa gaulnya (l'existence prcde l'essence) dia mengumandangkan hal tersebut memang dalam konteks yang cukup radikal agar berpaling pada kenyataan dibandingkan alam bawah kubur, tetapi jika meminjam ungkapannya pada lingkup perkuliahan semester 6 tentunya akan semakin berfaedah dengan menganalogikannya seperti ini, 'bergeraklah dahulu baru merumuskan kerumitannya' dengan kata lain seorang mahasiswa diarahkan untuk bergerak dan terus berusaha sebelum merumuskan kesulitannya.

Hal inilah yang kiranya mungkin belum tersampaiakan dari manfaat tugas-tugas perkuliahan itu sendiri, yakni agar dengan tugas-tugas tersebut menjadi sebuah cermin bagi mahasiswa untuk meletakkan diri pada arah mana tanggung jawab itu terselesaikan? Sebab sesungguhnya tantangan akan masa depan terlalu banyak untuk dihadapi dan merupakan sebuah misteri bagi himpunan manusia yang masih pada ruang dan waktu ini. Tugas-tugas perkuliahan hanya sedikit dari tanggung jawab kita ke depannya sesaat setelah kita meraih gelar sarjana. 

Untuk itu bergeraklah dengan penuh keriangan, sebagaimana Jean Paul Sartre dalam pemaparan kuliahnya di tahun 1954, menyatakan bahwa L'existentialisme est un humanisme" yang secara garis besar dapat dikatakan bahwa sederhananya, hal ini berarti bahwa tidak ada satu pun hal yang dapat mendikte karakter atau tujuan hidup seseorang; bahwa hanya individu itu sendiri yang dapat mendefinisikan esensinya. Maka ketika menerima tugas-tugas perkuliahan, demikian pula bahwa seorang tengah memberi esensi atau pengertian dirinya di hadapan publik serta seluruh kehidupan perkuliahan itu sendiri, di mana nantinya kelak akan mendefinisikan seluruh dirinya di masa depan.

___

[1] Salah seorang anak  di Panti Asuhan yang setiap kali weekend semester 3-4 yang sempat kudidik untuk belajar SPOK dan bahasa Indonesia yang baik dan benar setiap sabtu malam dan Minggu sehabis Misa Pagi. Ia tinggal di Panti Asuhan, dan berasal dari Kabupaten Intan Jaya. Daerah ini dulunya pernah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Paniai, dan baru  diresmikan sebagai kabupaten baru oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto pada tanggal 26 November 2008. 

[2] Jawabku dengan dialek khas Sentani-Papua.

[3] hipwee.comdiakses 3 Februari 2020

Sentani, 1 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun