Mohon tunggu...
Alfonsius JP Siringoringo
Alfonsius JP Siringoringo Mohon Tunggu... Dosen - @alfonsiusjojo

Life creates dreams & Dreams create life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fanatisme, Penyayat Nasionalisme

29 Maret 2013   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:01 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Entah bagaimana tercapainya ‘persatuan’ itu, entah bagaimana rupanya ‘persatuan’ itu, akan tetapi kapal yang membawa kita keIndonesia – Merdeka itu, ialah ... ‘Kapal Persatuan’ adanya.” (Di bawah bendera revolusi, hlm.2)

Kalimat di atas sepertinya mengingatkan kita terhadap semboyan negeri ini, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Namun belakangan ini hanya dapat dikenang sebagai semboyan belaka ketika rakyat sendiri jarang bahkan tidak pernah mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat disebabkan salah satunya karena sifat fanatisme rakyat yang masih memiliki cara pandang terkotak-kotak.

Fanatisme dapat dikatakan sebagai sikap atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran, baik itu agama, politik, dan sebagainya. Fanatisme dapat berdampak positif dan berdampak negatif. Dampak positifnya seperti, begitu loyalnya seseorang terhadap apa yang diyakini. Sedangkan dampak negatifnya, dapat menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah.

Namun, makna dari dampak positif di atas semakin bergeser ke arah yang negatif. Mengapa? Penafsiran yang salah dari tiap-tiap orang terhadap apa yang diyakininya, kerapkali menimbulkan bencana dan perpecahan yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu pemahaman dan cara pandang yang tidak menyesatkan rakyat melalui para “pelaku bangsa”, seperti kepala daerah, para pejabat, aparat penegak hukum, pemuka agama maupun para pendidik/akademisi.

Rakyat Indonesia sebenarnya sudah lelah melihat begitu banyaknya konflik yang membuat negeri ini terpecah belah. Para founding father pendiri bangsa ini pasti akan menangis melihat semua perbuatan serta sifat fanatisme yang menyebabkan terkoyaknya rasa nasionalisme yang ada. Hingga pada puncaknya, dimana bangsa ini yang menyebut dirinya telah merdeka selama 67 tahun, ternyata masih terjajah karena kebodohan sendiri. Kebodohan mau diadu domba, kebodohan mau diperalat pihak asing serta kebodohan memperbodoh rakyat sendiri.

Sungguh miris melihat kenyataan yang ada saat ini. Begitu banyaknya pemberitaan media yang mempertontonkan kebobrokan dan perpecahan negeri ini, menimbulkan suatu pertanyaan bahwa apakah kita bangsa yang cinta perdamaian atau lebih cinta kebebasan untuk kemerdekaan pribadi – daerah, suku dan agama masing-masing?

Apakah kita perlu untuk dijajah bangsa asing lagi untuk kembali menumbuhkan dan menyebarkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia? Tentu kita tidak menginginkan hal tersebut bukan. Kita tidak bisa membangun kultur kepribadian bangsa kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat, lahir dari hati, diterapkan dan disebarkan ke seluruh rakyat.

Dan sekarang tibalah saatnya kita benar-benar menentukan nasib bangsa ini di dalam tangan kita masing-masing – khususnya generasi muda penerus bangsa. Haruskah kita mempertahankan sifat fanatik yang ada dan mengorbankan bangsa ini serta generasi berikutnya ke dalam jurang perpecahan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun