Istilah Pahlawan dalam KBBI, adalah orang-orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau dapat dikatakan pejuang yang gagah berani.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada 2 Tokoh Proklamator bangsa, yaitu Soekarno dan Hatta yang baru-baru ini dilakukan, dinilai begitu sangat terlambat. Setelah 67 tahun bangsa ini merdeka, mengapa baru saat ini diberikan gelar Pahlawan Nasional kepada kedua founding father kita tersebut?
Terlepas dari keterlambatan itu, semua pihak menilai memang sudah selayaknya Soekarno dan Hatta mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Efek dari pemberian gelar bagi Soekarno-Hatta ini, tentunya memunculkan desakan bagi para pendukung Soeharto untuk juga diberikan gelar Pahlawan Nasional kepada presiden kedua kita. Ironinya, justru desakan agar Soeharto dijadikan pahlawan lebih keras terdengar daripada gelar pahlawan untuk Soekarno-Hatta. Hal ini mungkin bisa dipahami, mengingat elite-elite politik saat ini banyak yang merupakan anak buah dari Soeharto yang dulu mendapat jabatan dan posisi yang enak. Mereka akan berfikir, Soekarno-Hatta kini sudah menjadi Pahlawan Nasional, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Beberapa pihak yang dinilai mendukung pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, yaitu seperti Golkar dan Gerindra. Alasannya adalah Soeharto banyak berjasa dalam membangun Indonesia. Oleh karena jasanya itu, maka Soeharto dijuluki Bapak Pembangunan. Selain sebagai presiden ke-2, beliau merupakan presiden yang program-program pembangunannya sangat jelas dan terencana. “Pembangunan ekonomi Indonesia terjadi di zaman Pak Harto. Peninggalannya pun banyak dan masih dilanjutkan oleh pemerintah. Bahkan ada yang masih dinikmati oleh masyarakat hingga kini,” tutur Tantowi Yahya. Setiap pemimpin memiliki kekurangan dan kelebihan, namun pada dasarnya selalu ingin berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara, sehingga perlu diapresiasi.
Namun, sebagai pihak yang tidak mendukung, berpendapat bahwa Soeharto tidak layak diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya adalah; Soeharto menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaannya, banyak pelanggaran HAM yang dilakukan di zaman Orde Baru dan masih belum terungkap serta tidak ada penyelesaian hukumnya. Sehingga, “tidak bisa hanya karena Soeharto membangun gedung dan jembatan lalu digelari pahlawan,” terang Ray Rangkuti.
LBH Semarang mengirimkan surat kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, Jenderal (Purn) Djoko Suyanto, yang berisi penolakan rencana pemerintah yang akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tersebut. Alasannya yaitu berdasarkan fakta-fakta di lapangan, seperti: laporan Kantor PBB urusan obat-obatan dan kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia yang telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada tahun 2005. Dalam laporan disebutkan bahwa Soeharto berada pada peringkat pertama sebagai (Mantan) Presiden terkorup di abad 20 yaitu sebesar US$ 15-35 miliar. Jumlah hasil korupsinya ini di atas Ferdinand E. Marcos (Filipina) US$ 5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo) US$ 5 miliar.
Selain itu, Soeharto terlibat dalam kasus pembantaian massal 1965–1970 di mana jumlah korban mencapai 1.500.000 korban meninggal dan hilang. "Mereka kebanyakan adalah anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengan PKI seperti SOBSI, BTI, Gerwani, Lekra dan lain-lain,". Mereka dihukum tanpa melalui proses hukum yang sah. Rakhma menilai Soeharto tidaklah layak untuk mendapat gelar pahlawan nasional, karena menurut UU No.20/2009 tentang Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, pasal 25 mengenai syarat umum memperoleh Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa yaitu diantaranya butir: (b) Memiliki integritas moral dan keteladanan; dan (d) berkelakuan baik. Selain itu berdasar Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme yang isinya mengamanatkan penuntasan dugaan KKN Mantan Presiden Soeharto.
Namun, di sisi lain Golkar juga melihat Indonesia sebagai bangsa besar perlu melakukan rekonsiliasi dengan masa lalu. "Kita perlu berdamai dengan sejarah,"ucap Hajriyanto Tohari (Ketua DPP Partai Golkar). Nilai-nilai Pancasila mengajarkan agar bangsa Indonesia tidak memiliki sifat pendendam. Hajriyanto percaya semangat berdamai dengan masa lalu, akan menjadi modal besar bangsa ini untuk maju.
Terlepas dari semua pihak yang menyatakan dirinya sebagai pro-kontra atau bahkan netral terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, mari kita lihat dan ambil sisi positifnya saja. Kiranya sebagai generasi muda penerus bangsa, kita contoh hal-hal positif dari sosok seorang Soeharto dalam pengabdian dan kecintaannya terhadap bangsa ini.
Apa tanggapan saudara? Apakah setuju atau tidak pemberian gelar kepada Soeharto?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H