Sampah harus dipilah sesuai kategorinya, organik dan non organik, tidak boleh dilanggar. Aturan tentu saja tidak akan bisa tegak jika tidak ada sanksi. Aturlah hal ini di dalam perda. Bagi yang melanggar dapat dikenakan denda dalam jumlah yang lumayan agar menimbulkan efek jera. Misalnya ada orang yang salah jadwal organik-non organik, mencampur sampah organik dengan non organik, atau tidak meninggalkan tempat sampahanya di jalan di akhir hari, harus dikenakan denda biar jera.
Sulit memantaunya? Tidak. Kan smart city. Pemantauan ini dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi online sehingga dapat diinput dan dipantau oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti warga, tukang sampah, lurah, ataupun dinas lingkungan hidup. Ajari masyarakat untuk memilah sampah. Jika sampah sudah terpilah dari awal dan tidak tercampur di proses selanjutnya, mudah bagi pemerintah untuk mengolahnya agar lebih ramah lingkungan. Sampah organik bisa diolah menjadi pupuk dan lain-lain. Sampah non organik bisa didaur ulang menjadi macam-macam. Nah, terdengar mudah bukan? Semoga prakteknya semudah kedengarannya.Â
Mari kita tinggalkan sampah. Saatnya bicara tentang transportasi publik.
Transportasi publik di Magelang dilayani oleh angkutan kota. Sebut saja angkot untuk lebih mudahnya. Sudah cukup lama angkot di Magelang sepi penumpang. Masyarakat lebih memilih sepeda motor dan mobil yang lebih efektif dan efisien. Hal ini tidak boleh dibiarkan. Sebaik-baik sistem transportasi adalah transportasi masal yang dapat mengangkut banyak penumpang sehingga mengurangi polusi, lebih sustainable. Tapi bagaimana caranya mengatur angkot yang sedemikian banyak itu agar nyaman?Â
Kuncinya ada di sistem kepemilikan angkot yang selama ini dimiliki oleh individu dan bekerja dengan sistem setoran. Persaingan antar sopir dalam mencari penumpang akan menimbulkan ketidaknyamanan. Agar sopir tidak bersaing ya harus diubah sistemnya.Â
Semua pemilik angkot itu seharusnya digabungkan dalam satu konsorsium. Sopir jangan disuruh setor, tapi digaji. Kalau digaji, mereka tidak akan rebutan penumpang dan tidak akan ngetem ataupun kebut-kebutan. Pemilik kendaraan mendapatkan bagi hasil dari keuntungan. Keuntungan yang lainnya digunakan untuk perawatan kendaraan agar tetap nyaman. Bagaimana kalau merugi? Di situ peran pemerintah untuk memberi subsidi. Apakah subsidi ini buang-buang uang tanpa guna? Tidak. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan.Â
Angkot berjalan berdasarkan jadwal sehingga jarak antar angkot tidak terlalu dekat ataupun jauh. Buatkan check point di beberapa tempat sebagai patokan jadwal. Gunakan RFID atau GPS untuk memantaunya. Bagaimana jika ada sopir yang melanggar? Beri sanksi supaya kapok. Lebih ciamik lagi kalau sistem pembayarannya dengan e-money. Tinggal tap, tidak bingung cari uang kecil atau kembalian. Kartu e-money bisa dijual di beberapa tempat strategis, seperti terminal dan minimarket. Kartu ini bisa ditop up dengan metode-metode yang sudah ada saat ini.Â
Selain itu masalah rute juga harus diperhatikan. Perluas layanan angkot hingga ke daerah pemukiman agar masyarakat tidak malas naik angkot. Nah, rute ini juga harus dibuatkan sistem informasi. Jalur apa lewat mana. Terus kalau kita mau ke mana dari mana bisa naik jalur apa. Buatkan aplikasi mobile agar mudah diakses. Itulah gunanya teknologi.Â
Nah, kalau sudah terwujud yang begini boleh lah menyebut diri sebagai kota cerdas. Masyarakat hidup lebih nyaman dengan fasilitas publik yang pintar. Saya bayangkan Magelang yang sejuk ini bisa menjadi kota semodern Sydney dan bisa jadi contoh bagi kota-kota lainnya. Bagaimana Pak Walikota? Semoga ide saya bisa menjadi pertimbangan dalam membangun Magelang tercinta ya, langkah nyata untuk mewujudkan Magelang sebagai smart city.Â
#Menuju100SmartCity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H