Abu A'la Al-Maududi lahir di Aurangabad, kesultanan Hyderabad (Deccan), suatu wilayah di India. Ia lahir pada tanggal 25 September 1903, anak dari seorang pengacara dan ahli fiqih masyhur di masanya, yaitu ahmad Hasan. Dari segi keturunan, ia memiliki silsilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad, sehingga namanya diawali Sayyid.
Menurut Abu A'la Al-Maududi dalam bukunya yang berjudul Al-Khalifah wa Al-Mulk, konsep pemerintahan bertumpu pada konsep mendasar tentang alam semesta, al-hakimiyah al-ilahiyah, dan kekuasaan dalam bidang perundang-undangan. Ketiganya merujuk pada al-qur'an.Â
Konsep kekuasaan Allah di bidang perundang-undangan adalah ketentuan pembuatan UU hanya semata-mata kepada Allah dan umat Islam wajib mentaati UU tersebut.
Al-Maududi mengatakan bahwa kekhalifahan Tuhan yang tercermin dalam wadah negara Islam pada kenyataannya merupakan antitesis bentuk pemerintahan teokratis, monarkis, dan kepausan.Â
Demokrasi yang dianut kaum Muslimin adalah suatu sistem yang mana rakyat hanya menikmati hak kekhalifahan Tuhan yang berdaulat. Dengan demikian demokrasi menurus Islam dibatasi oleh hukum-hukum Allah yang harus dipatuhi Manusia.
Menurut Al-Maududi dalam bukunya The Islamic Law and Constitution, ia menjelaskan bahwa dalam masyarakat tidak ada pemisahan dan pembedaan golongan berdasarkan kelahiran, status sosial ataupun profesi. Ia juga menegaskan bahwa semua urusan umat Islam harus dilakasanakan dengan musyawarah bersama.
Islam memberikan kedaulatan terbatas kepada rakyatnya. Ada peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Pada awalnya Al-Maududi ingin mencocokkan pemikirannya dengan konsep Teokrasi, namun Teokrasi Islam berbeda dengan Teokrasi Baray yang pernah berjaya. Ia mengatakan:
" Jika saya diperkenankan menggunakan istilah baru, saya akan menyebut sistem pemerintahan semacam ini "Teo Demokrasi", yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi dimana rakyat mempunyai kebebasan berdaulat, akan tetapi kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan (a limited popular sovereignity under suzerainty of God)."
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa negara Islam bersifat universal, tidak membatasi ruang lingkup kegiatannya. Islam juga tidak mengakui sekat-sekat geografis, bahasa, atau warna kulit. Ia membagi golongan yang ada dalam negara Islam menjadi dua Golongan, yaitu Muslim dan Non-Muslim.
Menurut Al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan ternimologi fiqih disebut lembaga penengah dan pemberi fatwa atau majelis permusyawaratan atau disebut Ahl-al-Halli wa al-Aqd. Dalam Al-qur'an lembaga Eksekutif disebut uli al-amr yang harus dipatuhi rakyat, dengan syarat bahwa lembaga ini mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar syaria't. Lembaga ini dipimpin oleh kepala negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan lembaga Yudikatif disebut Lembaga Peradilan atau qadha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H