“Sebenarnya garis besarnya adalah kenapa kita anak muda harus berkontribusi? Ini adalah pertanyaan pertama yang harus kita tanyakan pada diri kita dan yang harus kita jawab. Kenapa kita sebagai anak muda itu harus berkontribusi? Kenapa kita sebagai anak muda harus memiliki karya? Kenapa kita sebagai anak muda harus memiliki sesuatu yang berbeda? Dan kenapa pertanyaan mengapa ini menjadi pertanyaan pertama yang harus kita tanyakan pada diri sendiri?”
Begitulah kiranya pertanyaan tersebut terlontar bak peluru tajam menghujam hati ini. Guru sekaligus motivator yang saya kagumi itu benar-benar menampar saya kala itu. Siang yang redup diselimuti awan hitam yang siap menjatuhkan airnya ke bumi menjadi bahan renungan saya betapa singkatnya hidup ini. Tak terasa beberapa detik setelah itu bumi benar-benar tersiram olehnya.
Hari itu saya tengah menghadiri kegiatan kampus yang jaraknya tak jauh dari tempat saya tinggal di Kota Jakarta ini. Al-Hikmah Fair namanya, kita biasa menyebutnya dengan sebutan AF. Sekitar pukul 13.30 talk show ketiga pun dibuka dengan pembicara Ustadz Rizal Wahid, yang dimana sebelumnya diisi oleh dosen saya, Ustadz Achmad Yaman dan Fuadbakh conten creator da’wah yang booming saat ini.
“Jawabannya sederhana. Karena pertanyaan mengapa ini yang akan selalu menghasilkan sebuah jawaban yang sifatnya pondasi, alasan bahkan berbuah tujuan. Sehingga kalau kita bergerak dengan sebuah alasan, maka kitapun akan bergerak dengan kokoh, bergerak dengan istiqomah dan kuat. Namun saat kita bergerak dengan sesuatu tanpa alasan dan tujuan yang pasti, nggak tau melakukan karena apa, maka yang ada justru kita kehilangan arah, jejak, bahkan putus di tengah-tengah. Maka yang harus kita lakukan adalah mengetahui kenapa sih kita tuh harus berkontribusi, kenapa sih kita tuh harus berkarya, kenapa sih kita tuh harus bergerak?,” lanjut beliau.
Saat itupun aku menyadari betapa santainya diriku yang tak pernah sekalipun mencurigai diri ini. Tak pernah bertanya untuk apa aku melakukan, untuk siapa aku melakukan, bagaimana aku melakukan, sehingga tak pernah kutanyakan tujuan atas setiap apa yang hendak kuperbuat. Aku mulai berfikir, bagaimana caranya agar aku mendapatkan jawabannya. Ah, lamunanku kualihkan dengan kembali memperhatikan secara seksama penjelasan selanjutnya.
“Contoh sederhananya adalah, kalau hari ini saya suruh temen-temen untuk jalan kaki dari sini ke Monas, ada yang mau?”
Seketika aku menyeringitkan dahi, ‘maksudnya? Dih males banget, ngapain coba’, gumamku dalam hati. Bukan hanya aku yang berfikir demikian. Rata-rata penonton semua berkata tidak menginginkan perintah itu.
“Oke, coba sekarang kita tambahkan sedikit intruksinya. Saya tambahkan sedikit. Siapa yang mau jalan dari sini ke Monas, maka akan mendapatkan hadiah sebesar 300jt berserta umroh bagi 10 orang pertama yang berhasil sampai,”tambahnya.
Wow apa yang terjadi, semua penonton ricuh mereka bersorak mengatakan mau. Bahkan ada diantara mereka yang cukup berteriak untuk mengatakan akan menginap dahulu sebelum hari pengumuman ini dibacakan. Haha lucu sekali, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Unik, aku memahami perbedaan antara kedua intruksi tersebut.
Setelah kufikir, kita benar-benar akan bersemangat dan bersenang hati saat kita telah mengetahui tujuan dari apa yang akan hendak kita lakukan. Bertanya mengapa akan melahirkan jawaban tujuan. Perbedaannya terletak di alasannya, terdapat iming-iming dan sesuatu yang membuat kita senang dan bahagia. Tapi, apakah hanya itu jawabannya agar kita mengetahui hasil dari pertanyaan mengapa ini?
“alasannya sederhana. Yang pertama, karena kita hidup dimuka bumi ini hanya sementara, hanya sebentar saja. Yang hanya dinilai oleh Allah SWT sebagaimana yang termaktub dalam quran surat Al-Mulk ayat 2, yaitu yang paling baik amalnya, yang paling berkualitas amalnya. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menjadi manusia yang baik amalnya kalau kita tidak memiliki kontribusi yang baik, tidak memiliki karya yang bermanfa’at dan potensi yang baik. Maka ini adalah alasan pertama, mengapa sih kita tuh harus mengetahui kalau kita harus memiliki potensi yang baik, kontribusi yang baik, dan amal yang baik, serta karya yang baik? jawabannya adalah karena kita ingin menjadi manusia yang memiliki sebaik-baik amal.”