Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sastra dan Segala Hal yang Saya Cintai tentang Tulisan

28 November 2024   21:56 Diperbarui: 28 November 2024   21:56 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Seorang pemuda tertarik membaca Madilog karena ketenaran Tan Malaka sebagai pemikir revolusioner. Namun, setelah beberapa halaman, ia berhenti, merasa buku itu 'terlalu sulit.' Tanpa ia sadari, masalahnya bukan pada isi buku itu, melainkan pada jalur literasi yang belum ia bangun sebelumnya."

Mari kita bercerita tentang si Budi.

 Si Budi adalah tipikal remaja yang sangat suka bergaul dan banyak menghabiskan waktunya untuk bermain game online. Selama masa remajanya, si Budi tidak pernah sekalipun menamatkan novel. Bacaan yang bisa Budi tamatkan hanyalah koleksi komik Sinchan yang ia koleksi di kamarnya. Seandainya saja dalam pelajaran bahasa Indonesia si Budi tidak diwajibkan membaca cerpen, si Budi mungkin tidak akan pernah membaca sastra. Bahkan tontonan Budi sendiri tidak pernah berbasis informatif. Dia hanya senang menonton video-video streamer game online kesukaan dia. Budi tidak pernah merasa tertarik untuk mencari tahu hal-hal yang menyentil kepalanya, atau bisa dibilang si Budi tidak pernah tersentil pertanyaan-pertanyaan kritis dalam kepala.

Ketika kuliah, karena ajakan seniornya, si Budi akhirnya mengikuti kajian-kajian buku. Meskipun pada kenyataannya di dalam forum tersebut mereka lebih banyak bercanda, pada tahun berikutnya, untuk mempertahankan program kerja yang sudah ada, si Budi pun menjadi pembicara. Kajian buku berlangsung dengan si Budi yang tidak pernah melewati tahapan literasi yang benar harus mengkaji sebuah buku yang tidak pernah ia baca---selain ringkasannya, barangkali.

Salah satu hal yang saya kritisi dari mahasiswa-mahasiswa di Indonesia, terutama bagi kaum kanda-kanda---istilah yang saya sematkan pada mereka yang tidak banyak belajar tapi ingin terlihat pintar di depan juniornya, seseorang dengan tipikal kehidupan seperti Budi---adalah literasi yang setengah-setengah akibat tidak adanya tahapan dalam perkembangan membaca mereka.

Jeanne Chall (1921 -- 1999), seorang psikolog pendidikan dan pakar literasi mengutarakan sebuah teori bernama Stages of Reading Development (Tahapan dalam perkembangan membaca).  Teori ini memberikan kerangka pikir mengenai bagaimana seharusnya seseorang mengembangkan kemampuan membacanya berdasarkan usia dan kemampuannya. Tahapan-tahapan tersebut meliputi:

  • Prereading: ketika seseorang belajar membangun dasar melalui pengenalan huruf, kata, bunyi, dan bentuk dari bahasa. Biasanya berlangsung selama usia 0 -- 6 tahun.
  • Learning to read: ketika seorang anak mulai membaca teks sederhana dan mengerti makna kata. Biasanya berlangsung selama usia 6 -- 8 tahun, usia awal SD.
  • Reading to learn: ketika seorang anak belajar memahami bacaan untuk mendapatkan informasi. Biasanya berlangsung selama usia 9 -- 15 tahun, menjelang dan saat usia remaja awal.
  • Multiple Viewpoints: ketika seseorang dapat memahami berbagai sudut pandang dan perspektif dalam satu teks. Idealnya berlangsung pada usia remaja akhir atau pada usia SMA.
  • Construction and reconstruction: ketika seseorang mampu mengevaluasi dan merekonstruksi berbagai informasi menjadi sebuah pemahaman utuh yang independen, kritis, dan mendalam. Idealnya sudah dimiliki oleh orang dewasa pada umumnya.

Berdasarkan kerangka pikir tahapan perkembangan membaca ini, seseorang tidak bisa langsung loncat pada bacaan yang menuntut kemampuan membaca tingkat tinggi sebelum menuntaskan kemampuan membaca pada tingkatan yang lebih rendah.

Pada kasus budi misalnya, karena si Budi tidak pernah membaca sastra dan tidak memiliki gairah untuk mencari tahu informasi lain (berliterasi), si Budi gagal mengadopsi kemampuan membaca pada tingkat keempat, multiple viewpoints. Kemampuan si Budi hanya terbatas pada kemampuan membaca untuk mendapatkan informasi, atau reading to learn. Begitu si Budi masuk ke usia dewasa yang mana ia dituntut untuk memberikan materi kajian buku, pada dasarnya si Budi sudah dituntut untuk memiliki kemampuan tingkat tertinggi: construction and reconstruction. Padahal kemampuan membaca Budi masih terbatas pada tingkatan untuk mendapatkan informasi.

Cerita tentang orang-orang seperti Budi saya rasa ada banyak. Pada tahun 2022, Indonesia berada pada peringkat 69 dari 80 negara yang diteliti dalam pengindeksan skor PISA (Programmee for International Student Assessment), sebuah studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan di berbagai negara. Salah satu dimensi yang dinilai dalam studi ini adalah kemampuan membaca. PISA menguji kemampuan membaca pelajar dengan 2 sisi : kemampuan memahami konteks teks yang dibaca, serta kemampuan menanggapi dengan menggunakan pengetahuan di luar konteks bacaan. Hasilnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan persentase pelajar berkemampuan membaca rendah tertinggi---Indonesia terburuk ke-9 dari 80 negara.

Saya sendiri merasa beruntung dibesarkan oleh orangtua yang mengerti literasi. Saya sudah bisa membaca teks dengan baik pada saat berusia 5 tahun. Karena orangtua saya suka membeli majalah Bobo dan komik bergambar lainnya, saya mulai gemar membaca komik bergambar sejak usia 7 tahun. Kegemaran saya akan cerita dan dongeng juga didukung oleh didikan orangtua saya yang tidak pernah melepaskan kami dari dongeng sebelum tidur. Setelahnya, saya mulai mampu menamatkan novel tanpa memahami konteksnya dengan baik pada usia 9 tahun. Pada usia remaja awal, saya gemar menambah koleksi bacaan novel saya. Pada waktu usia saya SMP, saya sudah terbiasa menamatkan satu novel dalam satu malam, sehingga tidak berlebihan rasanya jika dikatakan saya menamatkan 5 novel per minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun