Sabtu lalu (30/11) saya diberi amanah menjadi salah satu perwakilan Tim Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri Bandung dalam acara Social Fest yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Departemen Sosial dan Masyarakat untuk mempresentasikan hasil kegiatan pengabdian Tim PKM selama setahun kepada para pegiat sosial. Acaranya berhasil, saya sangat menikmati sajian narasumber dalam kegiatan Talkshow Social Fest.
Berbicara mengenai narasumber, Ibu Sunarti S.Pd, M.Si selaku representasi dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung menarik perhatian saya mengenai pengelolaan sampah di Bandung. Beliau mengatakan bahwa tantangan keberlanjutan program kerja Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung adalah kesadaran dari masyarakat itu sendiri.
Berangkat dari tantangan itu, saya tertarik untuk menjelaskan mengenai cara pandang dan pola pikir masyarakat terhadap sampah.
Pernahkah melihat sebuah tumpukan sampah yang berserakan di mana di atasnya sudah tertulis peringatan dilarang membuang sampah sembarangan. Fenomena ini sudah sangat umum dijumpai di sudut-sudut kota yang kumuh. Tapi timbul pertanyaan mengapa kita akhirnya mengikuti membuang sampah di tempat yang sama. Mengapa hal tersebut terus berulang?
Membuang sampah sembarangan sangat dekat kaitannya dengan efek broken windows dan perilaku kolektif. Mari kita bedah satu-satu.
Broken Windows Effect adalah teori yang pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial, James Wilson dan George Kelling. Teori ini menjelaskan bahwa lingkungan yang tidak teratur atau rusak dapat memicu perilaku negatif lainnya. James dan George menggambarkan lingkungan yang rusak sebagai kaca jendela yang pecah. Jika tidak segera diperbaiki, masyarakat menganggap bahwa rumah atau bangunan tersebut memang sengaja dibiarkan rusak, membuat atmosfer bangunan tersebut sudah tidak layak huni, dan memicu kerusakan lain dalam bangunan tersebut. Dalam kriminologi, Broken Windows Effect didefiniskan sebagai sebuah keadaan yang nirnorma, di mana mulai timbul kejahatan-kejahatan dalam lingkungan tersebut seperti vandalisme, atau masyarakat yang sudah enggan berempati (antisosial).
Dalam konteks sampah, keadaan lingkungan yang dibiarkan kotor dapat memberikan sinyal kepada masyarakat dalam lingkungan tersebut bahwa membuang sampah adalah hal yang biasa karena sebelumnya sudah kotor dan menganggap tempat kotor tersebut dibiarkan kotor dan ditujukan untuk membuang sampah. Bahkan jika tempat itu sebelumnya bersih, keberadaan sampah pertama kali bisa mengubah pandangan orang lain mengenai tempat tersebut yang dianggap diperbolehkan dalam lingkungan itu.
Perilaku Kolektif merujuk pada peristiwa spontan dan tidak beraturan akibat tidak dilembagakan (Lofland, 2003). Salah satu teori yang cukup terkenal mengenai perilaku kolektif adalah teori Behavioral Contagion. Behavioral Contagion pertama kali diperkenalkan oleh Gustave Le Bon (1895) guna menjelaskan aspek-aspek perilaku yang tidak diinginkan orang-orang di tengah keramaian. Namun definisi Behavioral Contagion adalah bentuk penularan sosial yang melibatkan suatu kelompok. Penularan mengacu pada tendensi seseorang untuk meniru atau mereplika perilaku orang lain di sekitarnya. Faktor penularan ini bisa berasal dari toeri intensifikasi (Freedman, 1975) di mana kepadatan yang tinggi dalam sebuah lingkungan dapat mempercepat proses peniruan perilaku. Â Selain itu Giho, Ayal dan Ariely (2009) menyatakan bahwa interaksi kelompok yang sama memperburuk cara pandang individu terhadap sesuatu yang dianggap normal.
Sederhananya, individu dalam lingkungan yang kotor beranggapan bahwa membuang sambah di tempat umum atau di sembarang tempat adalah hal yang normal dan lumrah dilakukan. Individu tersebut berpikir "Jika semua orang melakukan ini, pasti tidak akan terjadi apa-apa". Ini contoh identifikasi bahwa kamu merasa bagian dari masyarakat lingkungan kotor tersebut. Interaksi kelompok yang sama memperburuk cara pandang kamu terhadap sampah. Hal ini bisa ditangani dengan interaksi dengan kelompok yang tidak sama, kamu hidup di lingkungan yang bersih, interaksi yang terjalin membuka pandangan bahwa hal tersebut adalah perilaku yang seharusnya tidak dicontoh dan ditiru.
Fenomena membuang sampah sembarangan ini dapat dijelaskan melalui proses perilaku kolektif. Ketika lingkungan membiarkan perilaku tersebut, orang mulai meniru tindakan orang lain, dan perilaku ini diperkuat dalam kelompok. Dorongan emosi kolektif, seperti rasa tidak peduli atau anggapan hal yang lumrah dan biasa dapat memperburuk kegiatan tersebut. Seiring waktu, semakin banyak yang terlibat, perilaku buruk ini menjadi norma yang dapat diterima. Proses ini dimulai dari adanya kemandegan norma kebersihan atau kesadaran akan kebersihan sebagai langkah preventif menanggulangi masalah tersebut.