Mohon tunggu...
Alfito Rafif Amanda
Alfito Rafif Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Saya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang menggiati bidang keilmuan sosio humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perspektif Aliran Hukum Kodrat Bisa Batalkan Putusan MK dan Selesaikan Polemik Jelang Pemilu 2024

7 November 2023   13:58 Diperbarui: 7 November 2023   14:13 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang penghujung waktu pelaksanaan Pemilu Tahun 2024, Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang  cukup menuai kontroversi di kalangan masyarakat, akhirnya akan menemukan titik terangnya. Pada hari ini 07 November 2023, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan membacakan putusan terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan jajaran anggota Hakim Konstitusi lainnya. Fakta yang terjadi dilapangan, sembilan hakim konstitusi dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) lantaran diduga melanggar etik dalam mengambil Putusan No.90/PUU-XXI/2023 tentang syarat bagi capres dan cawapres. Total laporan seluruh hakim mencapai 21 laporan, 15 di antaranya ditujukan kepada Anwar Usman. 

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan bahwasannya terdapat tiga kemungkinan sanksi etik yang bisa diberikan kepada para hakim MK seperti memberikan teguran, peringatan dan melakukan pemberhentian sebagaimana yang tertera di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. Hal yang demikian dapat dikenakan kepada para hakim MK, jika mereka terbukti melanggar etik dalam putusan MK yang mengabulkan permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres. 

Tentunya, pembacaan putusan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)mengenai dugaan pelanggaran etik hakim MK sedikit banyak akan memengaruhi putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Dikarenakan putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) apabila menyatakan  para hakim MK dianggap melakukan pelanggaran etik maka dapat diindikasi bahwasannya putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 memiliki kecacatan hukum.

Berkaitan tentang anggapan adanya kecacatan hukum dalam muatan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, maka perlu untuk dilakukan analisis secara komprehensif berdasarkan kaidah hukum yang berlaku beserta aliran hukum yang akan digunakan dalam menganalisa putusan tersebut. Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 apabila ditinjau dari kacamata aliran hukum positivisme, maka dapat dinyatakan bahwa putusan tersebut tidak dapat dibatalkan karena telah dianggap final dan mengikat.

Akan tetapi, jika Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 ditinjau dari perspektif aliran hukum kodrat atau dalam istilah yang lain disebut dengan natural law. Maka nilai yang dikedepankan oleh aliran ini adalah "jika hukum positif berseberangan dengan moral maka tidak layak lagi dianggap hukum karena mengalami pembusukan hukum." hal ini selaras dengan prinsip lex iniusta non est lex.

Artinya, aliran hukum kodrat lebih mengedepankan nilai-nilai moral dibandingkan dengan hukum positif, karena lahirnya hukum positif yang baik dan memihak kepada rakyat adalah apabila kontstruksi hukum tersebut dilandaskan pada nilai-nilai moral dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dalam meninjau permasalahan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 apabila dilihat dari sudut pandang hukum kodrat, maka dengan tegas dapat dikatakan bahwa putusan tersebut cacat secara hukum dan dapat dibatalkan.

Hal yang demikian dapat terlaksana jika saja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ketika membacakan putusan mengenai pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim MK melandaskannya pada aliran hukum kodrat, sehingga putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dapat dianulir. Karena pada prinsipnya, putusan MK memiliki sifat declaratoir constitutief. Yang mana, dalam putusan MK tidak meniadakan suatu keadaan hukum atau membentuk keadaan hukum baru. Oleh karena itu, putusan MK tidak memerlukan aparat hukum untuk memaksa agar putusan dilaksanakan atau dipatuhi, karena lebih mengandalkan kesadaran moral untuk mengimplementasikan atau mematuhi putusan MK. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun