Menjelang dilaksanakannya pemilihan presiden pada bulan Februari 2024, lambat laun masyarakat disajikan oleh prahara yang terjadi di tatanan elit bangsa ini. Salah satu problematika yang menimbulkan kontroversi jelang pemilihan presiden 2024 mendatang adalah putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Dalam amar putusan No.90/PUU-XXI/2023 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwasannya Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga dengan diputusnya perkara tersebut, maka Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Lahirnya putusan tersebut tentu akan memengaruhi situasi politik nasional, mengingat setelah permohonan uji materiil yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta) selaku pemohon tersebut dikabulkan oleh Mahkamah konstitusi, tak berselang lama Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dideklarasikan oleh Partai Golkar sebagai Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto dari Koalisi Indonesia Maju. Masyarakat merasa bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai alat pelengkap negara tidak lagi bersifat independent dan imparsial melainkan telah menjadi kendaraan politik oleh segelintir orang. Tidak hanya situasi politik yang memanas, kelahiran putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dinilai mencederai amanat serta cita cita bangsa. Mahkamah Konstitusi pun dinilai tidak mengindahkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menyambut pesta demokrasi 2024.
Perspektif tersebut mengakar dibenak masyarakat karena Mahkamah Konstitusi dianggap telah membuka kembali budaya nepotisme yang selama ini diperangi oleh anak bangsa. Dibukanya kembali budaya nepotisme melalui kaki tangan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari penambahan syarat Capres dan Cawapres berupa "pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah." Yang mana penambahan syarat kepada Capres dan Cawapres tidak seyogyanya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi karena yang demikian bukan menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi atau disebut dengan istilah Ultra Petita.
Kasus Ultra Petita di Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah beberapa kali terjadi, akan tetapi yang membedakan kasus Ultra Petita dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dengan putusan-putusan yang lain adalah Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah mencampuri urusan teknis dalam pelaksanaan pemilihan presiden 2024 mendatang. Hal tersebut diperkuat dengan adanya fakta bahwa terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dua orang Hakim Konstitusi, serta terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat orang Hakim Konstitusi. Dua orang yang menyatakan alasan berbeda adalah Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (Anggota) dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota). Kemudian empat orang yang menyatakan pendapat berbeda adalah Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (Anggota), Hakim Konstitusi Saldi Isra (Anggota), Hakim Konstitusi Arief Hidayat (Anggota), Hakim Konstitusi Suhartoyo (Anggota). Sedangkan tiga Hakim Konstitusi yang setuju adalah Hakim Konstitusi Anwar Usman (Ketua merangkap Anggota), Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah (Anggota), Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul (Anggota). Sehingga dapat diartikan, hanya ada tiga Hakim Konstitusi yang menyetujui amar putusan tersebut.
Bahkan di muka persidangan, Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangnnya mengaku heran atas perubahan putusan MK yang dinilai sangat cepat.
"Saya hakim konstitusi Saldi Isra memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion. Menimbang bahwa terhadap norma yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7/2017 amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo menyatakan 'persyaratan menjadi calon presiden dan wapres adalah q: berusia paling renda 40 tahun', dimaknai menjadi 'persyaratan menjadi capres dan cawapres adalah q 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilihan kepala daerah." ujar Saldi Isra di sidang MK, Senin (16/10/2023).
Saldi Isra pun menyatakan
"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa 'aneh' yang 'luar biasa' dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar, Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat." ungkapnya.
Dari ungkapan Hakim Konstitusi Saldi Isra secara tersirat mendeskripsikan bahwasannya penentuan perubahan keputusan MK jauh daripada batas penalaran dan rasionalisasi yang wajar. Perbedaan pendapat yang cukup kontras antar sesama Hakim Konstitusi semakin memperkuat bukti adanya Ultra Petita dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung telah mencederai nilai-nilai demokrasi melalui putusan yang telah dikeluarkannya.Karena tidak sepatutnya Mahkamah Konstitusi menjadi wadah komersialisasi atas kepentingan politik segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H