Ditulis bersama M. Rohmadi
Berbicara tentang guru, mungkin akan menjadi kisah tersendiri buatku. Saat masih di sekolah dasar aku tak begitu tahu mengenai arti guru. Bagiku kala itu, mereka hanya sebatas seseorang yang mengajarkan siswa mengenai suatu ilmu. Hingga pada masa SMP, ketika aku memasuki pesantren, guru mempunyai makna lebih dari dari sekedar pengajar.
Perasaan kalut saat kelas tujuh terus menghantuiku. Sedih, takut, dan rasanya pengen semuanya berakhir membuatku tak betah berada di pesantren. Seringkali aku menangis di kelas, karena rindu keluarga. Namun mau bagaimana, aku terpaksa harus bisa bertahan agar studiku di pesantren tidak sia-sia begitu saja. selain faktor "homesick", pesantren juga menjadi berat karena harus mempelajari hal-hal baru seperti bahasa Arab. Para siswa dituntut aktif menggunakan bahasa Arab 24 jam dan banyak mata pelajaran yang berkaitan dengan itu, salah satunya adalah nahwu. Aku ingat sekali, saat awal-awal kelas tujuh nilai nahwuku bahkan berada di angka nol, ya nol. Dengan kata lain aku tak bisa menjawab semua pertanyaan saat ujian.
Dari chaosnya kehidupan kelas tujuh itu, aku mempunyai seorang guru yang men-support para siswanya agar bisa terus bertahan di pesantren, beliau adalah bu Astuti guru bahasa Indonesiaku. Selain karena aku memang menyukai pelajaran bahasa Indonesia, bu Astuti juga memang guru yang perhatian terhadap muridnya. Beliau selalu memberikan kata-kata semangat bahwa tiga tahun di pesantren bukanlah waktu yang lama. Saat kelas tujuh, nasihat-nasihat beliau terdengar bullshit di telingaku. Setiap hari rasanya aku perlu meratapi bahwa hidup di pesantren itu berat. Tapi seiring berjalannya waktu, saat mulai naik di tingkat berikutnya, aku mulai mengerti benar bahwa nasihat beluailah yang sampai detik itu menguatkanku untuk bertahan.
Hingga sekarang aku terkadang masih mengontak beliau, walaupun hanya sekedar meminta doa. Beliau pun juga masih selalu sama, menanyakanku "Masih suka nulis fi?". Terkadang aku bingung menjawabnya. Ya, aku memang masih suka menulis, tapi seringngnya karena kewajiban perkuliahan. Beliau memang suportif sekali perihal mendukung kesenanganku. Beliau jugalah yang membangkitkanku bahwa aku punya sesuatu yang istimewa, yang pelu kukembangkan dan sedikit dibanggakan. Terima kasih bu Astuti. Hingga kini beliaulah guru yang paling membekas diingatanku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI