Mohon tunggu...
Alfi Syahidah Dyah Puspitasari
Alfi Syahidah Dyah Puspitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar dalam setiap kesempatan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Terima Kasih, Buk, Pak

25 November 2023   12:16 Diperbarui: 25 November 2023   12:18 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mengingat orang tua, tentu setiap pribadi kita akan mendefinisikannya dalam berbeda makna. Tentu saja karena setiap orang pasti punya pengalamannya sendiri. Bagiku, orang tua menjadi sentral kehidupanku. Mereka menjadi pondasi, yang tanpanya bangunan ini mungkin akan rubuh dengan cepat. Entah semandiri apapun saat menginjak dewasa ini, orang tua tetap menjadi pelarian terbaik saat hati gundah gulana.

Teringat memori ketika kecil, bapak dan ibuk sangat mendorongku mengikuti berbagai lomba. Bagi mereka, ini adalah jalan untuk mendorongku untuk menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Mulai dari lomba tahfidz, story telling, hingga menulis cerita. Saat itu mungkin mereka juga sedang mengulik apa bakatku. Aku pun juga merasa senang-senang saja mengikuti berbagai lomba tersebut. Saat kalah, bapak dan ibuk tak pernah membuat aku minder, justru mereka terus mencambukku untuk terus mengikuti lomba lagi di kemudian hari. Pun saat menang, bapak dan ibuk terlihat begitu senang. Kadang ada perayaan kecil-kecilan saat aku ataupun adikku sudah memenangkan suatu lomba.

Pada dasarnya aku tetap menjadi anak perempuan pemalu yang terlihat tidak percaya diri. Tapi dari berbagai lomba yang diikutkan oleh kedua orang tuaku, membuatku menjadi pribadi yang merasa optimis dengan masa depan. Aku merasa yakin dengan apa yang sedang kulalui dan tidak takut untuk mencoba berbagai hal. Yang penting jalani aja dulu, kata sakti bapak ibukku dulu.

Menginjak usia remaja, bapak ibuk memasukkanku ke pesantren. Kali ini tujuan mereka adalah membuatku menjadi pribadi yang mandiri. Tapi ternyata proses itu begitu sulit untukku, itulah momen-momen terburuk dalam hidupku setidaknya sampai detik ini. Dengan segala struggle yang harus kulewati, bapak dan ibuk selalu mendampingi dan mencurahkan segala apa yang kubutuhkan. Lagi-lagi untuk mengobati laraku, bapak dan ibuk kembali men-support aku untuk mengikuti berbagai lomba. Beberapa kali bapak mengantarku ke luar kota untuk menghadiri final lomba, walaupun pasti butuh biaya lebih untuk menunjang transportasi dan yang lainnya. Hingga aku akhirnya juga bisa bertemu dengan penulis favoritku, Tere Liye, saat menjadi salah satu finalis lomba. Makasih, Pak, tanpa banyak masukan dari bapak mungkin aku tidak lolos lomba itu.

Kehidupan SMA, terasa berbeda denganku. Aku tak lagi semangat mengejar nilai akademik. Percayalah, bahkan aku berada di ranking terakhir. Rasanya sedih, tapi bapak dan ibuk tidak menuntut untuk jadi terbaik dalam hal itu. Dari hasil kulikan bapak dan ibuk aku juga jadi tahu, bahwa aku sangat suka dunia fiksi, mulai dari membaca novel hingga menuangkannya dalam bentuk tulisan. Menulis menjadi healing terbaikku, sekaligus satu-satunya kemampuan yang terkadang bisa kubanggakan. Lagi-lagi aku harus berterima kasih kepada bapak dan ibuk untuk ini.

Bapak dan ibuk yang selama ini tidak pernah menuntut, tiba-tiba menyuruhku untuk bisa masuk perguruan tinggi negri lewat jalur SBMPTN. Ya, hanya diberi kesempatan lewat jalur saja. Hal itu karena tentu nilaiku tak akan lolos dalam jalur raport, serta bapak dan ibuk tak akan sanggup membiayaiku jika aku diterima jalur mandiri. Rasanya frustrasi sekali saat itu, ketika yang lain mulai les untuk persiapan sedangkan aku tidak karena bapak dan ibuk tidak menyediakan uang untuk les. Pada akhirnya aku harus berusaha untuk belajar mandiri.

Tebak, apakah aku akhirnya lolos? Yapp, tentu saja. Aku akhirnya mewujudkan permintaan mereka. Tapi aku sadar bukan aku yang pintar, melainkan doa mereka yang melambung tinggi hingga bisa diijabah.

Beberapa paragraf panjang ini mungkin terlihat seperti menceritakan "aku". Namun nyatanya tidak, aku tanpa bapak dan ibuk, hanyalah sepotong cerita hampa. Terima kasih, Pak, Buk. Semoga suatu saat nanti aku bisa membalas semua yang kalian berikan, walaupun aku tahu itu tak akan sebanding.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun