Proses pewahyuan Al-Qur`an pada Nabi Muhammad saw merupakan proses ruhiah pembumian pesan-pesan ilmiah melalui persona dirinya sebagai manusia. Kata Wahyu sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al Wahy juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dengan cepat. Namun, kata wahyu lebih dikenal dalam arti "apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi". Wahyu merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada orang terpilih yaitu Nabi Muhammad yang disampaikan melalui perantara malaikat Jibril yang kemudian wahyu itu mempengaruhi jasmaninya. Dalam ajaran agama Islam wahyu merupakan firman Allah swt yang tak terbantahkan dan diyakini kebenaranya sampai saat ini sehingga tidak salah apabila Al-Qur`an kita sebut sebagai kitab suci yang abadi.
Al-Quran bukan hanya kitab suci, tapi juga sebuah karya sejarah yang luar biasa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan produk sejarah adalah ada campur tangan manusia dalam upaya membukukannya. Upaya-upaya yang dilakukan memerlukan proses yang sangat panjang, mulai dari pengumpulan, penyaringan, menyeleksi, pengumpulan sahabat-sahabat Nabi yang hafal al-Qur'an dan lain sebagainya. Akan tetapi tahukah kita bagaimana ayat-ayat suci yang awalnya disampaikan secara lisan bisa menjadi buku yang kita baca sampai sekarang? Mari kita telusuri perjalanan panjang pengumpulan dan pembukuan Al-Quran, dari masa Rasulullah hingga masa Khalifah Utsman bin Affan.
Al-Qur`an diturunkan sesuai letak geografis kaum (Muslim) yang sesuai dengan isi dan kandungan yang ada di dalamnya. Al-Qur`an menegaskan bagaimana wahyu itu ditancapkan dalam hati dan pikiran Nabi. Nabi menerima wahyu secara ayat per ayat atau huruf per huruf, kecuali surat yang turun sekaligus. Dalam pendapat yang lain disebutkan , nabi menerima wahyu satu atau dua ayat, satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga sepuluh ayat, dan lain sebagainya. Al-qur'an,kitab suci umat Islam, bukanlah sekadar buku biasa, melainkan ia adalah wahyu yang difirmankan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril, yaitu berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari atau rata-rata selama 23 tahun, dimulai sejak tanggal 17 Ramadan, saat Nabi Muhammad berumur 40 tahun hingga wafat pada tahun 632, selama kurang lebih 23 tahun. Al-Qur'an Wahyu pertama kali diperoleh di Gua Hira` pada malam lailatul Qadar masih menjadi polemik tersendiri karna tidak ada bukti otentik bagaimana cara malaikat Jibril menyampaikan wahyu. Namun kebanyakan dari kalangan menyebutkan bahwa Jibril menyampaikan wahyu pertama kali QS.Al-Alaq:1-5 dengan memaksa nabi Muhammad untuk mengikuti apa yang dibacakan olehnya.
Dalam proses penulisan dan pengumpulannya memiliki sejarah yang sangat menarik. Setiap ayat yang turun, baik berupa perintah, larangan, kisah, maupun kabar gembira, langsung dihafalkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang hadir. Hafalan yang kuat ini menjadi fondasi utama dalam menjaga kemurnian dan kelestarian Al-Qur'an. Selain itu, saat wahyu turun, Nabi Muhammad juga rutin memanggil para penulis untuk mencatat ayat. Pada saat itu, Zaid bin tsabit sering dipanggil dan diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun, zaid akan datang membawa tinta dan alat tulis kemudian Nabi Muhammad akan mendiktenya. Saat penulisan selesai, Zaid akan membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.
Selain Zaid bin Tsabit, penulisan wahyu juga dilakukan oleh sahabat yang lain. Para sahabat mulai menuliskan ayat-ayat Al-Qur'an pada bahan sederhana seperti tulang belulang, daun lontar, atau kulit hewan. Tulisan-tulisan ini tersebar di kalangan mereka, masing-masing memiliki catatan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, belum ada upaya sistematis untuk mengumpulkan dan menyatukan seluruh ayat Al-Qur'an dalam satu mushaf (naskah) pada masa Rasulullah SAW. Praktik yang biasa berlaku di kalangan sahabat ini menyebabkan Nabi Muhammad melarang para sahabat menulis sesuatu darinya kecuali hanya ayat al-qur'an, dengan alasan agar tidak tercampur dan terjadi kekeliruan antara al-qur'an dan hadist. Berdasarkan kebiasaan Nabi yang memanggil juru tulis ayat-ayat al-qur'an, bisa disimpulkan bahwa pada masa kehidupan Nabi, seluruh al-qur'an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, munculah kekhawatiran akan hilangnya sebagian ayat Al-Qur'an. Hal ini dikarenakan banyaknya sahabat yang hafal Al-Qur'an gugur dalam sebuah peperangan. Untuk mengatasi masalah ini, Khalifah Umar bin Khatab mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq agar segera untuk mengumpulkan semua tulisan Al-Qur'an yang tersebar dan menyusunnya dalam satu mushaf. Pada awal mulanya, Abu Bakar ash-Shiddiq ragu-ragu untuk menerima usulan tersebut karena merasa khawatir akan dianggap mengubah sunnah Nabi Muhammad SAW. Namun, setelah bermusyawarah dengan para sahabat, akhirnya Abu Bakar ash-Shiddiq menyetujui usulan Umar bin Khatab. Beliau kemudian menunjuk Zaid bin Thabit, seorang sahabat yang cerdas dan memiliki hafalan Al-Qur'an yang kuat, untuk memimpin tugas pengumpulan ini.
Metodologi Penulisan oleh Zaid bin Tsabit
Zaid memiliki peran penting, yakni sebagai ketua atau kepala tim, baik pada penyusunan Suhuf Abu Bakr ataupun pada saat penyusunan Mushaf Utsman. Istilah Suhuf merujuk pada hasil kodifikasi Al-Qur'an pada masa Abu Bakr, sedangkan Mushaf merujuk pada hasil zaman Utsman. Sahabat- sahabat pun turut berperan dalam proses ini. Pada masa Abu Bakr, semua daya dan upaya dikerahkan dan dilibatkan untuk menyukseskannya. Berpartisipasinya seluruh kalangan umat Islam pada saat itu dapat dilihat dari fakta sejarah: 1) Sebagai Khalifah, Abu Bakr mengeluarkan undangan terbuka, yang ditujukan kepada siapa saja yang memiliki kapasitas serta eligibilitas untuk ikut serta dalam kodifikasi Al-Qur'an. 2) Proyek kodifikasi dilakukan secara terbuka di masjid Nabawi, yang merupakan pusat berkumpul pada proyek ini, 3) Mengikuti keputusan Abu Bakr, Umar berdiri di depan gerbang masjid Nabawi, guna mengumumkan pada seluruh umat bagi yang membawa tulisan Al-Qur'an agar di bawa ke masjid. Sementara Bilal, menyusuri jalan-jalan di kota Madinah mengumumkan hal serupa.
Dalam proses menghimpun Suhuf, Zaid menghadapi dua sumber objek: teks lisan (hafalan) dan teks tulis. Dari awal, ia sangat memahami bahwa ayat-ayat al-Qur'an tersimpan dalam hafalan: ingatan para sahabat saat itu ( ). Terdapat banyak sahabat yang hafal lengkap dan sempurna, akan tetapi tentu ada yang belum hafal sepenuhnya, dan bahkan ada yang baru mulai belajar. Ia sendiri termasuk yang hafal al-Qur'an secara sempurna. Sebagaimana dikisahkan, Zaid turut me-murajaah (mengulang hafalan) Nabi dengan Malaikat setiap bulan Ramadhan secara rutin. Dengan begitu, Zaid telah mempunyai dan menguasai urutan ayat-ayat al-Qur'an yang akan di-Suhuf-kan sesuai dengan urutan yang dibaca Nabi. Ayat-ayat al-Qur'an juga ada yang berupa teks tulis, baik dari tulisan para sahabat Nabi yang ditunjuk sebagai penulis, atau yang berinisiatif menulis sendiri. Sumber ayat-ayat ditulis diatas berbagai media: perkamen, tulang binatang, lempengan kayu, daun, dan pelepah daun kurma.
Zaid tidak hanya mengandalkan kemampuan hafalan yang dimilikinya. Dalam proses men-Suhuf-kan al-Qur'an. Ia juga memanfaatkan sumber-sumber tertulis dan hafalan para sahabat untuk validasi bersama-sama. Kriteria pertama, guna menetapkan ayat-ayat al-Qur'an benar-benar otentik dari Nabi adalah dengan hadirnya saksi. Abu Bakr menginstruksikan, bahwa saksi adalah kriteria wajib. Sangat dimungkinkan terjadi, sahabat yang biasa menulis wahyu didepan Nabi kemudian memberikan atau menyebarkan tulisan itu kepada teman, sahabat, dan tetangganya, atau menyalin ulang teks tertulis itu. Maka bisa saja, seseorang yang memegang bukanlah orang yang pertama didekte oleh Nabi. Yang dapat diterima oleh Zaid adalah sumber yang langsung didapat dan ditulis di depan Nabi dan disertai saksi. Sebuah langkah validasi teks yang ketat dengan tingkat realibitas yang kuat pula.
Meskipun telah dihafal, teks lisan tetap divalidasi secara ketat dengan membandingkan dari sumber lain dibawah sumpah bahwa teks tersebut berasal langsung dari Nabi. Teks-teks tertulis yang didapat Zaid, selain divalidasi dengan teks tertulis juga divalidasi dengan teks lisan yang didapat langsung dari Nabi. Jadi, teks tertulis dibandingkan dengan teks tertulis dan dibandingkan lagi dengan teks lisan. Demikian pula, teks lisan dibandingkan dengan teks lisan, kemudian dibandingkan lagi dengan teks tertulis. Seluruh yang membawa teks itu harus bersumpah bahwa teks yang ia bawa, baik lisan maupun tertulis langsung berasal dari Nabi dan disertai saksi ditempat terbuka, yakni masjid Nabawi.
Dengan menggunakan syarat yang ketat untuk menerima teks tertulis maupun teks lisan, status hasil dari kedua sumber teks tetap terjaga. Benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Ada sebuah riwayat yang menerangkan bagaimana disiplin dan ketatnya Zaid dalam menjaga kriteria akan datang nya saksi. Saat Zaid akan menulis akhir dari surat Bararah, Zaid terhenti. Bukan karena ia lupa, Zaid sangat hafal/ingat betul tentang dua ayat terakhir dari surat Bararah atau At-Taubah itu. Zaid juga memiliki teks tertulis dari dua ayat tersebut. Jadi sebenarnya Zaid sudah mempunyai hafalan sekaligus mempunyai bukti tertulisnya. Hafalan dan bukti tertulis dari Zaid seorang masih belum dianggap cukup. Atas intruksi dari Abu Bakr agar tidak menuliskan ayat tanpa adanya saksi, Zaid pun terhenti. Sampai akhirnya datang seorang sahabat yang bernama Abu Khuzaima. Ia membawa perkamen (media untuk menulis yang dibuat dari kulit binatang) yang berisi dua ayat terakhir dari surat Bararah atau At-Taubah itu. Abu Khuzaima disumpah bahwa ia didikte langsung oleh Nabi. Dua ayat itu lalu di validasi oleh Zaid dan tim. Kemudian dua ayat tersebut dimasukkan dalam susunan Suhuf. Dua ayat Al-Bararah atau At-Taubah itu adalah ayat 128-129.
Sementara pada saat melakukan validasi pada salinan baru, Zaid dan timnya menemukan bahwa ada ayat yang belum tertulis yaitu Al-Ahzab ayat ke 23. Mereka tau dikarnakan hafal betul ayat-ayat Al-Qur'an. Maka didapatkan teks tertulis dari ayat itu pada Khuzaimah b Tsabit. Setelah disumpah bahwa Khuzaima mendapatkan ayat itu langsung dari Nabi. Ayat ke 23 dari surat Al-Ahzab itu dimasukkan dalam naskah salinan baru. Lengkap sudah Mushaf itu. Mushaf itu lalu dibandingkan dengan Suhuf yang disimpan oleh Kafsha. Hasilnya sama dan tidak ada kesalahan sama sekali. Antara Abu Khuzaimah dan Khuzaimah b Tsabit adalah dua orang yang berbeda, bukan satu orang. Jika kita tidak teliti dengan kedua nama tersebut, dengan sembrono bisa ditarik kesimpulan bahwa didalam suhuf Abu Bakr terdeteksi kekurangan ayat ke 23 dari surat Al-Ahzab lalu dikoreksi pada penyusunan Mushaf zaman Ustman. Padahal kekurangan ayat itu terdeteksi oleh Zaid pada saat penyusunan salinan baru untuk dijadikan Mushaf Ustman. Lalu zaid membandingkan ulang dengan Suhuf Abu Bakr. Hasilnya sama dan tidak ada perbedaan. Baru setelah itu Suhuf dikembalikan kepada Khafsa.
Suhuf Al-Qur'an yang dikerjakan oleh Zaid dan timnya menjadi himpunan buku tertulis pertama di Jazirah Arab. Jika sebelumnya ada teks tertulis, maka itu adalah lembaran-lembaran teks yang tersebar. Termasuk syair-syair nya orang Arab yang tertulis dan ditempelkan di dinding Ka'bah, tidak pernah dihimpun menjadi satu buku. Suhuf ini mendokumentasikan secara lengkap ayat-ayat Al-Qur'an secara tertulis. Namun dengan datangnya Suhuf ini, bukan berarti penyebaran ayat-ayat Al-Qur'an beralih dan bergantung semata-mata pada Suhuf. Penyebaran Al-Qur'an tetap berjalan secara lisan oleh sahabat dan umat Islam. Suhuf ini disimpan oleh Abu Bakr dan diberikan kepada Umar sebagai Khalifah penggantinya. Lalu Suhuf ini diberikan oleh Umar kepada Khafsa, istri Nabi.
Maka meskipun sudah ada Suhuf, ketika penyebaran Islam mulai meluas, muncullah perbedaan-perbedaan cara baca dan cara mengartikulasikan bunyi-bunyi ayat Al-Qur'an. Bagaimanapun teks tertulis tidak sepenuhnya mempresentasikan beragam dialek. Mengingat sahabat-sahabat tidak semuanya berdialek Quraish.
Pemushafan Al-Qur`an hingga dikenal Mushaf Utsmani
Terdapat riwayat yang mengatakan dalam usaha mengumpulkan dan membukukan al-Qur'an, Abu Bakar mengangkat semacam panitia yang terdiri dari empat orang: Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan tiga lainnya adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka'ab. Panitia ini menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun. Yakni sesudah perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar.
Zaid bin Tsabit kemudian menyerahkan mushaf ini kepada Abu Bakar yang nantinya tetap dipegang Beliau sampai akhir hayatnya. Kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab selama pemerintahannya. Sesudah Beliau wafat mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, yang juga merupakan istri Rasulullah sampai akhirnya datang masa pembukuan di era khalifah Utsman bin Affan.
Mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah sesudah Umar, alasannya adalah sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam orang sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib untuk bermusyawarah memilih seorang di antara mereka menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, Ia khawatir dipahami sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal Umar ingin memberikan kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah.
Khalifah Usman bin Affan adalah sosok yang sangat penting dalam sejarah pembukuan Al-Qur'an. Usman mengamati bahwa banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur'an, yang disebabkan oleh perbedaan dialek dan pengucapan yang ada di berbagai wilayah. Hal ini berpotensi menyebabkan perselisihan di antara umat Islam. Usman, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, memutuskan untuk menyusun Al-Qur'an dalam bentuk naskah tunggal yang dapat digunakan secara seragam oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah kekuasaannya.
Langkah pertama yang diambil oleh Usman adalah membentuk sebuah panitia khusus yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit sebelumnya telah berpengalaman dalam menyusun Mushaf Abu Bakar, sehingga dia dipilih untuk memimpin proyek pembukuan Al-Qur'an yang baru ini. Panitia ini terdiri dari beberapa sahabat yang ahli dalam ilmu Al-Qur'an, dan mereka bertugas untuk menyalin dan menyusun Al-Qur'an berdasarkan naskah yang ada. Proses penyusunan naskah Al-Qur'an dimulai dengan pengumpulan seluruh naskah Al-Qur'an yang ada di berbagai wilayah. Naskah-naskah tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari para penghafal Al-Qur'an maupun dari berbagai bahan tulisan yang sudah ada. Selanjutnya, panitia tersebut melakukan verifikasi terhadap setiap huruf dan bacaan Al-Qur'an untuk memastikan kesahihannya, serta memastikan bahwa tidak ada perbedaan dalam bacaan atau penulisan yang bisa menyebabkan kekeliruan.Setelah naskah-naskah yang sudah diverifikasi selesai, Zaid bin Tsabit dan timnya menyalin ulang Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Quraisy, yaitu dialek yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini dilakukan untuk menyatukan bacaan Al-Qur'an agar tidak ada perbedaan dalam cara membacanya.
Dalam proses ini, Zaid dan timnya menulis ulang seluruh Al-Qur'an dengan cermat, memastikan bahwa setiap huruf dan kata sesuai dengan bacaan yang benar. Setelah selesai disalin, naskah Al-Qur'an ini kemudian diproduksi dalam beberapa salinan. Khalifah Utsman memerintahkan agar beberapa salinan mushaf tersebut disebarkan ke berbagai wilayah kekuasaannya. Mushaf yang paling otoritatif ini dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Shahih.
Pembukuan Al-Qur'an dalam bentuk naskah Utsmani memiliki dampak yang sangat besar dalam sejarah Islam. Salah satu dampaknya adalah penyatuan bacaan Al-Qur'an di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Sebelumnya, berbagai dialek dan pengucapan yang berbeda-beda menyebabkan adanya variasi dalam cara membaca Al-Qur'an. Dengan adanya naskah Utsmani yang menggunakan dialek Quraisy, bacaan Al-Qur'an menjadi seragam, sehingga tidak ada lagi perbedaan yang mencolok antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Selain itu, pembukuan ini juga memudahkan penyebaran Al-Qur'an ke berbagai daerah yang baru dikuasai oleh umat Islam. Salinan mushaf Utsmani yang tersebar di berbagai tempat memberikan umat Islam satu pedoman yang sama dalam membaca dan mempelajari Al-Qur'an. Bahkan hingga saat ini, mushaf Utsmani ini tetap menjadi standar dalam penulisan Al-Qur'an di seluruh dunia.
Mushaf Utsmani memiliki beberapa keistimewaan yang menjadikannya sangat penting dalam sejarah Al-Qur'an. Salah satu keistimewaannya adalah penggunaan sistem penulisan yang lebih jelas dan rapi, yang memudahkan pembaca untuk mengenali setiap huruf dan tanda baca. Selain itu, pada naskah Utsmani juga ditambahkan tanda-tanda yang menunjukkan cara bacaan, seperti harakat dan waqaf, yang tidak ada pada mushaf-mushaf sebelumnya. Hal ini membantu pembaca untuk membaca Al-Qur'an dengan benar sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Keistimewaan lainnya adalah penyusunan Al-Qur'an dalam urutan surah dan ayat yang lebih sistematis. Sebelumnya, susunan Al-Qur'an bersifat acak karena wahyu diturunkan secara bertahap sepanjang kehidupan Nabi Muhammad. Namun, dalam mushaf Utsmani, setiap surah dan ayat diurutkan dengan sistematis sesuai dengan urutan yang diterima oleh Nabi Muhammad.
Penulis:
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Kudus
Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
1. Alfiyatur Rohmaniyah (2330110002)
2. Bahrul ilmi (2330110004)
3. Naylis Tsawabah ( 2330110007)
4. NUZULUL LUTFIANA SYAHIDA (2330110012)
5. Agus Muhammad Nuril Hidayatullah (2330110006)
6. AMELIA MUTIARA RAHMAH (2330110037)
7. Dina Fathatuz Zahro (2330110027)
8. Syafi'il Anam (2330110022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H