Mohon tunggu...
Alfiana rafsanjani
Alfiana rafsanjani Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

man jadda wa jadda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sejarah di Balik Hutan Pinus Patokpicis

16 November 2019   19:25 Diperbarui: 16 November 2019   19:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Di kabupaten Malang, terdapat sebuah desa bernama kampung Kramat, dusun Bangsri, desa Patokpicis, Kecamatan Wajak, yang masyarakatnya masih mempertahankan budaya beberapa belas tahun yang lalu. Masih hidup dengan sederhana diantara hutan asri yang mampu menaungi hidup mereka selama ini. Desa Kramat terletak pada kaki gunung semeru yang berada pada jarak 40 km dari Kota Malang arah tenggara, seperti Tumpang, Tajinan, dan Bululawang.

Untuk menuju desa Kramat, diperlukan waktu sekitar 30-40 menit karena medan yang sangat sulit terhitung dari desa Patokpicis. Memang sebelumnya kita akan dimanjakan dengan dataran tinggi yang penuh akan pohon-pohon pinus sepanjang mata memandang, hingga jalanan tersebut seperti jalan yang biasa digambarkan di cerita-cerita fiksi. Namun setelah 10 menit, jalanan akan semakin sulit untuk dilalui. Jalan menyempit, bebatuan, menyeberangi sungai kecil, dan yang paling parah adalah ada satu rute sempit menanjak dan berkelok, dipenuhi dengan pasir setebal 4 cm, yang mengharuskan kita turun dari sepeda motor dan mendorongnya.

Dari jalan yang dilalui ini pun sudah sangat kentara jika masyarakat di sekitar desa Bangsri juga Kramat ini masih sangat sederhana, mereka masih hidup berdampingan dengan alam. Bukan hidup seperti suku pedalaman atau semacamnya, namun hidup mereka tidak terlalu modern, atau biasa disebut dengan istilah " ndeso ". Untuk bersekolah mereka memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk sampai, dan tidak ada SMP berbasis Negeri disana, karena SMP Negeri di Wajak hanya terletak di Sukoanyar dan di desa Bambang, yang juga cukup jauh dari jangkauan mereka.

Rumah-rumah mereka masih terlihat seperti rumah beberapa tahun yang lalu, hanya sepetak dua petak, hanya berwarna putih, atau terbuat dari anyaman bambu. Fasilitas yang sudah mumpuni dalam pemukiman tersebut hanyalah sebuah Masjid, untuk pasar pun mereka harus pergi ke pasar Patokpicis, pasar Bringin, atau pasar Wajak yang menjadi pusat pemasaran kecamatan tersebut.

Untuk lebih mudah mengenal desa Kramat, desa ini pernah menjadi persembunyian dua orang teroris sekitar dua tahun yang lalu. Lebih detailnya mereka bersembunyi di kuburan milik Dora dan Sembada, seperti yang dikatakan oleh masyarakat asal Kramat.

Dora dan Sembada adalah dua pengikut Aji Saka (pemegang tahta Negeri Medangkemulan), yang konon desa Kramat ini adlaah tempat bertempurnya mereka berdua, dan kemudian sama-sama meninggal dan jasadnya dikuburkan di kampung ini.

Memang terdapat dua makam yang berdampingan di ujung desa Kramat, yang kemudian diyakini sebagai makam Dora dan Sembada pengikut Aji Saka. Hal itu juga dibenarkan oleh juru kunci makam disana, kemudian dari peristiwa tersebut terciptalah "Aksara Jawa" yang kita kenal selama ini yakni HANACARAKA, DATASAWALA, PADHAJAYANYA, MAGABATANGA. (Ada Utusan, Saling bertengkar, Sama kuatnya, Inilah mayatnya).

Memang tidak ada bukti secara pasti tentang kebenaran tempat ini, namun banyak orang yang berziarah ke dua kuburan tersebut untuk mengirimi doa maupun keperluan lain. Saat saya pergi ke kuburan ini sejak pertama kali, pembina saya selalu melarang saya untuk mengambil foto tepat di kuburan. Tidak tahu pasti apa alasannya, namun saya yakin itu untuk suatu kebaikan.

Batu makam keduanya juga bertuliskan hanacaraka, yang saya kurang tahu apa artinya. Tempatnya juga memang benar-benar berada di ujung desa, di tengah-tengah hutan belantara yang ditutupi dengan kain transparan seperti jaring-jaring kecil berwarna hitam. Sekeliling wilayah makam ada pagar terbuat dari batu bata yang hanya setinggi setengah meter, dengan papan lampu atau terkadang hanya lilin di setiap pojok sebagai penerangan saat malam hari.

Menurut saya, mengapa daerah ini masih tidak banyak orang yang tahu adalah karena letaknya yang sangat terpencil, ditambah dengan medan yang sangat tidak wajar. Meskipun di adakan perbaikan sekalipun, menurut saya masih mustahil karena jalannya tepat pada lereng-lereng bukit, kecuali harus membuka jalanan lain untuk sekedar mengaspal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun