Langkahnya cepat tak seperti biasa, isi tasnya berbaur dan bercampur, laptopnya bahkan hampir keluar. Sampai akhirnya dia sampai di tempatku dan wajahnya menyeramkan.
“Kakak sudah gila? Ngapain kakak ikut-ikutan kayak gituan?” bentakmu mengadiliku seakan maling yang suka berkeliaran di Masjid Darul Ulum.
“Kamu tenang dulu, pelan-pelan ngomongnya, yang kamu maksud apa sih?” aku sudah memprediksi ini akan terjadi, aku sekedar mengulur waktu untuk mencari rasionalisasi buatnya.
“Aku denger dari temen kelasku, kakak jadi calon Ketua BEM, ngapain kakak ikut kaya gituan? Kakak gak mau lulus?”
“Oh, itu yang kamu maksud? Aku mau jelasin, tapi bentar ya, mau balikin flashdisk ke kosan Nur.”
“Gak bisa! Kakak mesti jelasin ke aku sekarang!”
“Aku mesti nganterin flashdisk dulu, kasian Nur mau ngerjain skripsi, datanya di sini semua. Kamu mau nunggu bentar buat aku nganter ini dulu kan?” kata-kata ku buat sehalus mungkin ‘tuk meyakinkannya.
Akhirnya alasanku keluar kosan dia terima. Alhamdulillah, adikku memang keras kepala, untung aku bisa meyakinkannya untuk sesaat. Dengan langkah biasa aku turun dari tangga menuju pintu depan untuk berangkat ke kosan Nur. Namun, lagi-lagi adikku mengagetkanku, selalu sama.
“Aku anter pake motor ke tempat kak Nur, biar kakak cepet pulang, cepet jelasin alesannya ke aku.”
“Okey,” sedikit senyuman agar aku tidak nampak berfikir keras bahwa sedang mencari alasan.
Di sepanjang jalan Santi terus berbicara, entah apa yang diucapkannya, hanya aku memang sedang fokus berfikir mencari alasan terbaik yang akan dia terima di akalnya yang menurutku suka ingin tahu. Aku memang tidak melakukannya untuk diriku sendiri, atau mungkin untuk organisasi ini seperti yang aku cantumkan di formulir pendaftaran Calon Ketua BEM FK. Aku mengorbankan diriku, adikku.
“Kakak dengerin aku ngomong gak sih dari tadi?” tanyanya setelah rem mendadak itu mengagetkanku, hampir terjungkal aku dibuatnya.
“Iya kakak dengerin kok, yaudah kenapa brenti, katanya mau cepet dengerin alesan kakak?” sekedar pengalih perhatian bahwasanya aku acuh dengan yang dia bicarakan selama perjalanan tadi.
Akhirnya kami sampai di kosan Nur, di jalan tadi aku memang meminta Nur tidak membukakan pintu kamarnya, meski jawaban Nur lewat sms juga kurang paham dengan maksudku. Akhirnya basa-basiku dengan teman sekosan Nur, untuk mengembalikan flashdisk yang ku pinjam seminggu lalu, yang sesungguhnya tidak benar-benar sedang dibutuhkan saat ini. Kami pamit, dan otakku sudah menyusun beberapa alasan untuk adikku.
Akhirnya kami sampai di kosan kembali, aku merebahkan diri di kamarku, dan Santi sudah berdiri tepat di sampingku sambil menunjukkan wajah itu lagi, kali ini wajahnya agak mirip ibu ketika marah.
“Kakak diminta sama teman-teman untuk maju, karena mereka percaya dengan kemampuan kakak. Kakak tahu keputusan kakak mengagetkan banyak orang, termasuk kamu, cuma waktu berfikirnya tidak lama, besok hari terakhir pendaftaran, kakak mesti cepat mengambil keputusan. Lagipula kakak memang ada rencana lulus telat 2 semester untuk penelitian kita, kakak fikir menambah relasi dengan menjadi ketua BEM itu hal yang lumrah.”
“…”
“Kamu kenapa? Gak suka kalo kakaknya ingin berkontribusi buat organisasi di kampus?”
“Sejak kapan kakak brani boong? Kakak gak perlu mondar-mandir dengan alasan balikin flashdisk buat nyari-nyari alesan. Aku kecewa sama kakak!”
Aku tertegun sejenak, dalam hati aku meminta maaf padanya, maaf karena menjadi kakak yang tidak pantas diteladani. Tapi aku berbohong demi sesuatu yang aku perjuangkan, setidaknya sesuatu yang benar. Ya, benar menurut sekelompok orang yang memintaku untuk maju, meskipun aku sempat berontak dalam hatiku. Kakak macam apa aku, yang hanya demi kepentingan pihak-pihak tertentu telah rela menggadaikan masa depan, prinsip, dan bahkan persaudaraannya demi sebuah hal yang dia sendiri tidak yakin, atau sempat yakin karena rasionalisasi Nur dan konco-konconya. Aku berdiri, tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf, karena meminta maaf tidak pernah salah.
“San, maafin aku. Maaf kalo aku ngecewain kamu, tapi kakak mesti ngelakuin ini. Kakak gak rela organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang gak ngerti tentang agama, dan cuma kakak yang bisa ngelakuin sesuatu biar itu semua gak terjadi. Pliss, maafin kakak.” Kalimat ini terbayang di kepalaku, urung aku utarakan. Setan apa yang masuk ke fikiranku. Tidak, ini bukan setan, ini doktrin Nur dan sejawatnya tadi pagi, yang membuatku lupa daratan dan meminggirkan nurani.
Aku masih tertegun di depan pintu kamarnya, tanganku masih berayun tapi tanpa tenaga, ragu ‘tuk berkata-kata. Hanya sedikit perasaan ngilu di hati, dan entah sejak kapan kakiku basah. Tak sadar air mataku jatuh cukup banyak, dan merasa tanpa daya. Selayang pandanganku bertaut ke barat, ada sajadah dan aku pun teringat Tuhan. Segera ku berwudhu, aku ingin curhat sama Tuhan.
“Ya Allah, hamba-Mu yang lemah ini hanya berusaha, berusaha memberikan yang terbaik yang hamba bisa. Berikanlah hamba petunjuk untuk bisa menjalani kehidupan ini. Hamba yakin pasti ada kemudahan di balik kesusahan. Izinkanlah hamba menjadi sebaik-baiknya diri hamba yang bermanfaat bagi banyak orang.” Doaku sehabis salat kali ini entah begitu biasa, aku bahkan seperti menarik korden dalam ruang hati, menutup rapat-rapat dari luar, aku malu harus bagaimana.
Entah bisikan setan yang tobat atau malaikat yang jahat yang menyambangi telingaku, aku harus mengundurkan diri dari pencalonan ini. Tekadku bulat, buatku ini semua tak lebih dari sekedar sandiwara. Toh, pendapat subjektif Nur tentang Joko yang dianggap gak berakhlak baik dan gak kompeten dengan visi BEM FK selanjutnya belum tentu benar, semua orang punya hak yang sama untuk berkontribusi dan membuktikan kapasitasnya. Nur dan teman-temannya juga manusia, dia bisa berfikir salah juga tentang manusia lainnya, dan kenapa harus suudzan. Belum tentu yang kita kira baik itu memang baik, dan selamanya baik. Dan belum tentu yang kita kira jahat itu tidak baik, dan selamanya tidak baik. Aku masih ingat betul kata-kata Ibu, “Jangan menggantungkan dirimu pada manusia, sejatinya manusia kerap berbuat salah. Dan jangan pernah menghakimi sebuah putusan yang dibuat manusia, karena masih ada Dia Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Karena esok selalu tak sama buat manusia, hanya orang mati yang kemarin dan kininya tiada beda.”
Bergegas aku menuju kampus. Kamarku belum sepenuhnya ku kunci, ada yang mengagetkanku dari belakang dan itu lagi-lagi Santi.
“Hhe. Kakak mau ke mana? Aku tadi cuma bercanda kok. Setelah aku pikir-pikir, keren juga kalo aku punya kakak yang jadi ketua BEM.”
Kali ini aku hanya tertegun, entah setan yang kembali jahat atau malaikat yang akalnya sehat yang kini membisikkan sesuatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H