Mohon tunggu...
Alfionita Kusuma
Alfionita Kusuma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

putri pertama dari dua bersaudara, muslimah, cinta kesederhanaan, cinta kedamaian dan persahabatan,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Allah Mencintaimu Lebih dari yang Kau Tahu

11 Juni 2013   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terbayang lagi wajah adik perempuanku yang telah tiga hari tak sadarkan diri akibat kecelakaan tragis. Aku merasa bersalah dengan pertengkaran kecil kami sebelum kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya itu terjadi. Masih terbayang dengan sangat jelas dibenakku bagaimana marahnya ia saat ia melihatku duduk berdua-duaan dengan dengan seorang gadis.

“Kamu cemburu Dien?” tanyaku menggodanya.

“Bukan begitu Mas, aku bukannya cemburu.”

“Lalu? Kenapa Kamu marah-marah begini?”

“Mas Ray itu harusnya malu. Mas kansie kerohanian Islam kampus, ga pantes sama sekali dengan apa yang Mas lakukan.”kata Dienna dengan nada serius.

“Maksud Kamu apa Dien? Mas gak melakukan apa-apa dengan gadis itu kok. Kami cuma ngobrol, dan duduk-duduk. Apa yang salah?” Aku semakin bingung dengan kata-kata Dienna.

“Mas, berdua-duaan itu khalwat. Dan harusnya Mas tahu kalau khalwat itu dilarang dalam Islam. Karena yang ketiganya pasti setan.” jelas Dienna.

“Kamu terlalu berlebihan Dien.”

“Astaghfirullah, Mas ini kalau diingatkan ngeyel. sejak dulu sikap Mas sampai sekarang sama aja!” Dienna terlihat meradang.”Ternyata meski udah jadi pengurus UKMKI dan mengikuti kajian-kajian sama sekali gak membekas dihati Mas.”

Kata-kata pedas Dienna membakar emosiku. Aku pun membentak dan memarahinya.

“Dienna hanya mencoba untuk mengingatkan Mas Ray aja.” kata Dienna lirih.”Karena Dienna sayang sama Mas.” Lalu Dienna masuk ke kamarnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku hanya bisa terdiam. Kalau sudah mewek begitu aku tidak mungkin tega padanya.

Dienna adalah adik perempuanku satu-satunya. Beda usia kami hanya satu tahun. Dulu dia tidak seperti ini. Agak centil, manja, dan pakaiannya selalu up-to-date. Setiap kali ada fashion gaya baru yang sedang nge-trend, pasti ia langsung merengek-rengek pada ibu untuk membelikannya. Musik-musik K-POP hampir setiap hari membahana di kamarnya. Bahkan gaya-gaya koreografi ala girlband Korea tak ada yang dia tak hafal. Tapi semenjak setahun yang lalu, tepatnya setelah ia diterima di sebuah universitas yang berbeda denganku dan menjadi seorang mahasiswi, sedikit demi sedikit ku lihat perubahan dalam dirinya. Dienna bercerita kalau ia diajak temannya untuk mengikuti kajian Islam mingguan atau yang biasa dia sebut halaqah. Awalnya pakaiannya mulai tertutup, lalu lama kelamaan kepalanya pun ia balut dengan kerudung panjang, Bahkan sekarang, ia mulai mengenakan gamis dan menanggalkan pakaian-pakaian up-to-date-nya. Sholat tak pernah ditinggalkan, bahkan tahajjudnya lebih rajin daripada aku. Sikapnya pun jauh lebih sopan. Ia tidak lagi jadi anak manja yang suka menuntut ini dan itu. “Ini yang namanya muslimah Bu. Lagipula, begini kan lebih anggun.” katanya suatu hari saat ditanya ibu tentang perubahan dirinya.

Gak takut dibilang kayak ibu-ibu kamu Dien?” tanyaku.

Dienna tersenyum “Ngapain takut Mas? Dienna kan perempuan suatu saat Dienna juga akan jadi ibu. Lagipula ibu itu kan jabatan yang mulia.”ujarnya.”Daripada Dienna dibilang mirip bapak-bapak hayoo.. Kan serem.” Kata-kata Dienna membuatku tertawa. Sebagai seorang kakak, aku pun mendukung perubahannya ke arah yang lebih baik itu. Apalagi aku juga salah seorang pengurus UKMKI di kampusku. Ah, kata-kata itu lagi. Naluriku sebagai seorang kakak tidak terima saat Dienna memperlakukan aku seperti itu. Kadang menurutku ia memang terlalu berlebihan. Dan yang paling aku tidak suka kalau dia mulai membawa-bawa nama organisasi. “Mas kan pengurus UKMKI, masa’ kaya gitu..” Gemas rasanya hatiku. Andai ia tau yang sebenarnya membuat aku ada di organisasi ini, karena gadis yang aku suka adalah seorang yang alim, dan aku yakin pasti ia juga menginginkan punya kekasih yang alim. Wajahku yang dibilang cukup lumayan saja tak mampu menaklukkan hatinya. Jadi aku putuskan untuk berkiprah di UKMKI dan menunjukkan bahwa aku adalah orang yang alim. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Ternyata ada pesan dari budhe yang memintaku menjemput beliau dan mengantarkannya ke rumah sakit tempat Dienna dirawat.

. ***

Aku duduk-duduk di ruang tamu rumah budhe sambil menunggu budhe bersiap siap. Disana ada foto Dienna. Dalam foto itu dia tersenyum. Senyum manis adikku tersayang.

Ah, iya tadi aku sempat berpapasan dengan Fajhrin, dia adalah pacar sekaligus mantan pacar pertamanya Dienna sejak masa SMA. Dulu Dienna sering nginep di rumah budhe, dan karena rumah Fajhrin tak jauh dari rumah budhe, akhirnya mereka sering bertemu dan jadi saling dekat. Dienna adalah gadis yang cantik, cerdas, dan periang. Banyak yang suka padanya. Meski begitu, hatinya tidak mudah untuk mendua. Aku tahu Dienna sangat mencintai Fajhrin, begitu pun Fajhrin. Terbukti dari hubungan mereka yang sudah berlangsung tiga tahun. Dan tak pernah sekali pun aku melihat mereka bertengkar atau marahan. Sayangnya, sekali lagi aku katakan bahwa Dienna sudah berubah. Sekitar enam bulan yang lalu, aku mendengar kabar bahwa mereka putus.

“Kamu diputusin?” tanyaku heran.

Enggak, Dienna yang mutusin.” jawab Dienna datar.

“Lhoh kenapa? Kamu suka sama cowo lain ya? atau si Fajhrin itu selingkuh?”

Dienna menggeleng. “Bukan Mas. Justru Dienna sangat sayang sama Fajhrin dan juga sayang sama diri Dienna sendiri. Makanya Dienna putus.”

“Maksud Kamu?”aku mengernyitkan dahiku.

“Setelah Dienna banyak belajar, sekarang Dienna tahu bahwa pacaran dan hal semacamnya itu harusnya dilakukan setelah menikah. Kalau belum menikah itu bukan pacaran namanya, tapi takrobuzzina. Mas tahu kan artinya?” Dienna tersenyum.

“Iya, mendekati zina kan?”jawabku.”Tapi Dien, kalau pacarannya islami kan gak masalah. Selama masing-masing kalian bisa menjaga diri dan selalu ingat sama Allah. Mas rasa gak apa-apa.”

Dienna memandangku dengan teduh. Seperti seorang ibu yang berusaha menasihati kenakalan anaknya yang berusia lima tahun.

“Masku Muhammad Rayhan yang ganteng, maksud Mas pacaran Islami itu gimana? kalau mau pacaran atau pegangan tangan tuh baca bismillah dulu gitu? Mas, kalau pacaran islami itu ada, nanti jangan-jangan ada mencuri islami, merampok islami, riba islami, dan segala bentuk kemaksiatan yang diberi label islami.” Dienna mulai menceramahiku dengan lembut.”Mas pernah dengar kan firmannya Allah yag wa laa takrobuzzina, nah coba Dienna tanya sekarang, apa ada dari kegiatan pacaran itu yang gak mendekati pada zina? awalnya pandang-pandangan gak ada ghadul bashor-nya. Trus, gak ragu-ragu colek-colekan, pegangan tangan, rangkul-rangkulan..”

“Eh, stop-stop..”aku menyekat pembicaraan Dienna.”Kalau kayak gitu sih, bukan pacaran islami Dien. Pacaran islami itu, tidak ada saling sentuhan, pegang-pegangan, kata-kata rayuan, kalau ketemu dan ngobrol ya senantiasa mengingatkan untuk beramal, berdzikir pada Allah, mengingatkan tentang hal-hal yang baik. Kan saling menasihati itu ibadah.”elakku.

“Yakin Mas?” kini giliran Dienna mengernyitkan dahinya.” Okey, saling menasihati itu ibadah . Tapi, apa betul kenyataannya begitu? yakin Mas sama sekali gak pernah ngrayu-ngrayu gadis yang Mas sukai? Yakinkah bahwa Mas gak memandangnya dengan penuh cinta seolah memandang seorang istri yang udah halal? Padahal kita diperintahkan untuk menjaga pandangan kita terhadap orang yang bukan mahram. ”

Aku menelan ludah mendengar kata-kata Dienna. “Yaa tidak mungkin tidak ada pandangan, tidak ada rayuan” batinku.

Aku jadi teringat Hadits Rasulullah saw yang pernah disampaikan Dienna waktu itu.

“...Maka zinanya mata adalah memandang (yang haram), telinga itu berzina dengan mendengarkan yang haram,zinanya lisan adalah dengan berbicara (yang haram). Tangan itu berzina, dengan memegang yang haram, kaki itu berzina dan zinanya melangkah pada yang diharamkan. Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.”(HR. Muslim)

Kepala salah seorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”(HR. Ath-Thabrani)

Tiba-tiba rasa bersalah makin menguasaiku. Memang selama ini aku sering gonta-ganti pacar. Gandengan tangan itu biasa, boncengan, duduk berduaan, bercanda gurau dengan teman-teman perempuanku dan saling merayu bagiku tak ada salahnya. Yang dikatakan Dienna semuanya benar, aku harusnya malu pada diriku sendiri. Aku seolah berlindung dibalik jaket UKMKI-ku. Melabelkan semua perbuatanku dengan embel-embel islami. Kini aku benar-benar sadar bahwa Dienna telah tumbuh jadi gadis muslimah yang shalihah, tak sepatutnya aku membentaknya. Lalu aku teringat akan niatku bergabung di UKMKI, bukan karena Allah. Padahal amalan baik yang dilakukan bukan karena Allah sungguh tak ada nilainya di hadapan Allah.

***

Sampai di rumah sakit ku lihat ada suasana yang berbeda. beberapa orang terlihat mengerumuni dan menenangkan ibu. Ayah terlihat pucat, aku semakin khawatir dan perasaanku tak karuan.

“Ayah apa yang terjadi?”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Dienna. Adikmu.. Sudah pulang ke sisi Allah.” Ayah memandangku pilu.

Kulihat para perawat mulai menutupi tubuh Dienna dengan kain putih. “Apa? Ayah.. jangan bercanda kemarin Dienna sudah sembuh kan Yah.. Dienna.. Ya ALLAH!” Aku tak kuasa membendung air mataku saat itu. “ Dienna bangun Dien.. Dienna maafkan Mas Ray. Dienna boleh marahi dan nasihatin Mas Ray. Jangan tingglkan kami Dienna.” Aku meracau tak karuan. Mengguncang-guncang raga pucat yang yang tak lagi menghela nafas.

“Sabar Rayhan. Sabar.. Kita semua harus ikhlas.” ayah mencoba menenangkanku.

***

Gundukan tanah bertabur bunga dan masih basah itu bagai membahasakan kata yang tak mampu terbaca oleh siapapun tapi menyematkan rasa sedih yang begitu mendalam. Di atas batu nisan itu terukir nama indah seorang gadis shalihah. Aku menghela nafas dalam. Sungguh kematian tak ada yang tahu. Manusia punya rencana, Allah punya kuasa. Namun aku yakin ini adalah yang terbaik untuknya. Allah mencintainya, karena itu Allah mendekatkannya pada kebenaran lalu memanggilnya pulang saat ia dalam ketaqwaan. Aku ingat waktu itu Pak ustadz pernah berkata bahwa semua yang diperintahkan dan ditakdirkan Allah untuk kita itu sebenarnya untuk kebaikan diri kita sendiri. Bukan untuk menyusahkan hidup kita. Kitalah yang justru sering menyulitkan diri sendiri. Allah yang menciptakan kita, tentu Allah yang lebih tahu yang terbaik buat kita. Allah mencintai kita lebih dari yang kita tahu. Astaghfirullah, ampuni hamba Ya Allah. Mulai sekarang aku berjanji akan berusaha untuk merubah diriku. Bukan untuk hal yang bersifat duniawi, tapi untuk Allah. Dan meski perubahan ke arah yang lebih baik itu tak mudah, tapi bukan berarti tak mungkin. Asalkan segala sesuatunya diniatkan karena Allah, semua akan terasa ringan meski sesungguhnya banyak tantangan dan rintangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun