Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), ada aturan hukum yang mengatur netralitas pejabat negara, termasuk Presiden. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XII/2024 serta Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, terdapat sanksi bagi pejabat negara yang melanggar ketentuan mengenai netralitas dalam Pilkada. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 71 dapat dipidana dengan hukuman penjara antara 1 hingga 6 bulan, atau denda antara Rp600.000,00 hingga Rp6.000.000,00.
Pasal 71 sendiri mengatur tentang larangan bagi pejabat negara untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Dalam konteks ini, Presiden, yang termasuk dalam kategori pejabat negara sebagaimana dijelaskan di situs kamus-hukum.com, secara tegas diharuskan bersikap netral. Karena presiden merupakan kepala negara, setiap bentuk dukungan atau intervensi terhadap paslon dalam Pilkada dapat dianggap melanggar prinsip netralitas yang diatur dalam peraturan tersebut.
Netralitas Presiden dalam Pilkada bukan hanya untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menghindari konflik kepentingan, tetapi juga untuk menghindari potensi sanksi hukum seperti yang diatur dalam Pasal 188. Putusan MK dan aturan dalam undang-undang menegaskan bahwa pejabat negara, termasuk Presiden, harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan tidak boleh memihak kepada salah satu pasangan calon.
Netralitas Presiden dalam Pilkada sangat penting untuk memastikan proses demokrasi yang adil dan transparan, serta untuk menghindari sanksi hukum yang diatur oleh MK dan undang-undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H