Mohon tunggu...
Alfino Hatta
Alfino Hatta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Membaca, menulis puisi dan tertarik belajar hal-hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Individualisme vs Kolektivisme, Fenomena di Negara Maju

4 November 2024   10:04 Diperbarui: 4 November 2024   10:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan suatu negara sangat erat kaitannya dengan perubahan budaya dan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakatnya. Salah satu perubahan yang sering diamati seiring dengan kemajuan ekonomi sebuah negara adalah pergeseran masyarakat dari budaya kolektivisme menuju individualisme. Individualisme dan kolektivisme adalah dua konsep sosial yang sering kali dikontraskan. Individualisme, yang menekankan pada kebebasan pribadi, tanggung jawab individu, dan pencapaian diri, sering dianggap sebagai motor penggerak inovasi dan perkembangan ekonomi. Sebaliknya, kolektivisme, yang menekankan pada kepentingan kelompok dan harmoni sosial, sering kali dianggap kurang mendukung pertumbuhan ekonomi dan inovasi.

Sebuah contoh konkret dapat ditemukan di Indonesia, yang meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, masih sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang bersifat kolektif. Norma-norma ini, sebagian besar, tidak relevan dengan kemajuan ekonomi dan bahkan dapat bersifat kontraproduktif terhadap produktivitas individu. Sebagai contoh, norma yang menekankan pentingnya menghormati orang tua. Meskipun norma ini memiliki nilai moral yang tinggi dalam konteks sosial, secara teknis norma ini tidak memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan produktivitas individu. Dalam masyarakat kolektif seperti Indonesia, seseorang yang tidak mengikuti norma ini akan dianggap sebagai anak durhaka, yang menunjukkan kuatnya pengaruh norma sosial terhadap perilaku individu.

Masyarakat yang bersifat kolektif, seperti masyarakat di Indonesia, cenderung sangat bergantung pada validasi dari komunitas. Untuk dianggap sebagai individu yang baik, seseorang harus disukai dan diterima oleh lingkungannya. Salah satu cara untuk mendapatkan penerimaan ini adalah dengan menghormati orang tua dan orang yang lebih tua. Norma-norma sosial semacam ini mencerminkan pentingnya keharmonisan dan keterikatan dalam masyarakat kolektif. Namun, dalam masyarakat individualis, norma-norma sosial yang menekankan pada validasi komunitas ini tidak terlalu diperhatikan. Orang-orang dalam masyarakat individualis lebih berfokus pada kesejahteraan pribadi dan pencapaian diri, tanpa harus terlalu mempertimbangkan pandangan orang lain. Kebebasan individu dan keputusan personal lebih dihargai dalam masyarakat ini. Status sosial tidak lagi ditentukan oleh penerimaan dari komunitas, melainkan oleh pencapaian pribadi, seperti kekayaan, pendidikan, dan prestasi lainnya.

Salah satu ciri utama masyarakat individualis adalah minimnya aturan bersama yang mengikat individu. Setiap orang lebih cenderung bertindak atas keputusan dan kehendaknya sendiri, yang pada akhirnya memunculkan dorongan untuk bersaing. Persaingan yang sehat ini kemudian mendorong inovasi dan efisiensi. Dalam masyarakat yang berorientasi individualisme, individu-individu berlomba-lomba untuk mencapai kesuksesan pribadi. Kondisi ini memaksa mereka untuk terus mencari cara-cara yang lebih baik dan lebih efisien dalam melakukan berbagai hal. Persaingan ini menjadi fondasi inovasi yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti yang terlihat di negara-negara yang cenderung lebih individualis. Negara-negara maju dengan perusahaan-perusahaan terbesar dan paling inovatif di dunia biasanya merupakan negara-negara dengan masyarakat yang sangat individualis.

Di sisi lain, dalam masyarakat kolektif, status sosial sering kali ditentukan oleh pandangan dan penilaian lingkungan. Orang-orang cenderung mencari validasi dan pengakuan dari komunitas mereka, daripada berfokus pada pencapaian pribadi. Hal ini sering kali menyebabkan individu lebih memperhatikan bagaimana mereka dipersepsikan oleh orang lain daripada berusaha mencapai kesuksesan pribadi. Selain itu, norma-norma sosial tertentu dalam masyarakat kolektif sering kali menjadi hambatan bagi produktivitas. Sebagai contoh, ada tekanan sosial yang kuat untuk memiliki anak, bahkan ketika pasangan tersebut belum siap secara finansial. Selain itu, ada juga norma yang mengharuskan pernikahan sebelum usia tertentu, sering kali disertai dengan tuntutan untuk mengadakan pesta pernikahan yang mewah, meskipun kondisi ekonomi belum memungkinkan. Norma-norma semacam ini tidak hanya tidak produktif, tetapi juga dapat membebani individu secara ekonomi dan psikologis.

Dalam masyarakat kolektif, keberanian untuk menentang norma-norma sosial yang ada sering kali dianggap sebagai tindakan pembangkangan. Individu yang berani menentang norma-norma ini sering kali mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari komunitasnya. Misalnya, seseorang yang berhasil secara finansial di lingkungan yang kurang mampu mungkin akan dipandang sinis oleh orang-orang di sekitarnya dan bahkan dimanfaatkan. Atau, seorang siswa yang ambisius di kelas yang didominasi oleh siswa-siswa yang kurang termotivasi mungkin akan dikucilkan atau dibenci. Lingkungan sosial yang tidak mendukung ini tentu saja akan menyulitkan individu untuk berkembang dan mencapai potensi maksimalnya.

Sebaliknya, dalam masyarakat yang lebih individualis, norma-norma sosial yang menekan cenderung lebih sedikit. Setiap individu lebih bebas untuk bertindak berdasarkan kemampuan dan kebutuhannya sendiri. Status sosial dalam masyarakat individualis ditentukan oleh pencapaian pribadi, bukan oleh pandangan masyarakat sekitar. Dengan kata lain, dalam masyarakat individualis, uang dan prestasi adalah tolok ukur utama dari status sosial, sementara dalam masyarakat kolektif, status sosial sering kali ditentukan oleh pandangan dan penilaian lingkungan atau "omongan tetangga."

Namun, penting untuk dicatat bahwa individualisme sering kali disalahartikan sebagai kurangnya tenggang rasa atau kepedulian terhadap orang lain. Pada kenyataannya, individualisme tidak selalu berarti ketidakpedulian. Seorang individu yang bersifat individualis bisa saja bekerja keras, mandiri, dan bertanggung jawab, namun tetap memiliki empati dan kepedulian terhadap sesama. Orang-orang dalam masyarakat individualis hanya cenderung tidak mencampuri urusan orang lain jika itu bukan urusan mereka. Misalnya, mereka mungkin tidak akan bertanya kapan seseorang akan menikah, bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka menghargai privasi individu tersebut. Namun, individualis juga dapat bertindak sesuai dengan hati nurani ketika situasi memanggil, seperti yang terlihat dalam kasus seorang imigran di Perancis yang diberikan kewarganegaraan setelah menyelamatkan seorang anak kecil dari bahaya.

Pada dasarnya, argumen yang lebih luas dapat dibuat bahwa negara akan maju ketika penduduknya mengadopsi sikap yang lebih individualis, bukan sebaliknya. Dalam masyarakat yang menganut individualisme, orang-orang yang berhasil sering kali dijadikan panutan dan inspirasi bagi orang lain untuk ikut maju. Persaingan ini menciptakan semangat untuk terus berkembang dan berinovasi, bahkan bagi mereka yang telah mencapai kesuksesan. Sumber daya yang dimiliki oleh individu yang sukses digunakan untuk berinvestasi dalam pengembangan diri lebih lanjut, yang pada akhirnya mendorong kemajuan ekonomi secara keseluruhan.

Sebaliknya, dalam masyarakat kolektif, mereka yang sukses sering kali dianggap sebagai sumber daya yang harus dibagi-bagikan. Orang-orang yang berhasil dalam masyarakat kolektif sering kali dinyinyiri atau dipaksa untuk berbagi rezeki dengan lingkungan sekitarnya, yang pada akhirnya menghambat perkembangan mereka lebih lanjut. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kesuksesan pribadi malah digunakan untuk memenuhi tuntutan sosial yang tidak produktif.

Namun, penting untuk diingat bahwa individualisme bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai kemajuan. Beberapa negara maju, seperti Jepang dan beberapa negara di Timur Tengah, masih mempertahankan budaya kolektif mereka meskipun telah mencapai tingkat kemajuan ekonomi yang tinggi. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat individualisme dan kolektivisme dalam suatu masyarakat adalah struktur keluarga. Negara-negara dengan struktur keluarga yang lebih independen, seperti keluarga inti (nuclear family), cenderung lebih individualis. Sedangkan negara-negara dengan struktur keluarga besar atau klan, di mana banyak anggota keluarga tinggal bersama dan mencarikan jodoh bagi anggota keluarganya, cenderung lebih kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun