Cinta, dalam berbagai pemikiran dan perspektif, sering kali dibagi menjadi dua jenis: cinta yang belum matang dan cinta yang sudah dewasa. Cinta yang belum matang muncul dengan ungkapan, "Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu," sebuah bentuk cinta yang berpusat pada diri sendiri. Di sini, cinta dipandang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tanpa memedulikan kebutuhan dan kebebasan orang yang dicintai. Ini adalah cinta yang penuh tuntutan dan kontrol, di mana pasangannya dianggap sebagai milik yang harus terus memenuhi ekspektasi.
Sebaliknya, cinta yang dewasa menggambarkan hubungan yang lebih tulus dan mandiri, sebagaimana terungkap dalam pernyataan, "Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu." Dalam bentuk cinta ini, seseorang menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari pemenuhan kebutuhan pribadi semata, tetapi berasal dari kesadaran mendalam akan cinta itu sendiri. Pasangan dihargai sebagai individu yang merdeka, dengan ruang untuk tumbuh, dan cinta ini sanggup menerima kekurangan serta menghadapi kenyataan tanpa syarat. Cinta dewasa tidak mudah terguncang oleh tantangan karena dasarnya adalah ketulusan, bukan pamrih.
Ketika cinta yang matang dihadapkan pada kenyataan pahit, seperti perpisahan, orang yang mencintai dengan tulus mampu menerima kehilangan tersebut tanpa menghancurkan dirinya. Ini karena cinta yang sejati tidak dibangun atas dasar ekspektasi atau balasan. Sebaliknya, cinta itu mengalir dari hati yang ikhlas, bahkan saat orang yang dicintai tidak lagi bersama.
Salah satu kesalahpahaman terbesar tentang cinta adalah anggapan bahwa cinta bisa menyakitkan. Padahal, yang sering menyakitkan adalah harapan kita yang tidak terpenuhi atau ketergantungan kita pada balasan cinta. Sesungguhnya, cinta sejati tidak menuntut balasan. Cinta adalah kekuatan yang melampaui alasan, dan ia tetap ada meski tanpa pengharapan.
Seperti halnya ketika kita memberi tanpa mengharapkan sesuatu kembali, cinta yang sejati juga demikian. Sebuah perbuatan yang tulus, murni, dan tanpa pamrih, di mana kebahagiaan datang dari memberi, bukan menerima. Cinta yang seperti ini tidak bergantung pada faktor eksternal seperti kecantikan, kekayaan, atau status sosial. Sebab, ketika semua itu hilang, cinta sejati akan tetap bertahan.
Sebagai refleksi dari Jalaludin Rumi, cinta adalah keadaan di mana seseorang melepaskan segala hal demi orang yang dicintai, bahkan Tuhan sekalipun. Cinta sejati adalah pengorbanan tanpa batas, di mana kebahagiaan dan penerimaan hadir tanpa syarat, tanpa alasan.
Pada akhirnya, cinta bukanlah soal alasan atau pamrih. Cinta sejati adalah keputusan untuk terus mencintai, bahkan ketika alasan-alasan yang mendasarinya tidak lagi ada. Teruslah mencintai dengan ketulusan, dan biarkan cinta mengalir sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H