Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kader IMM Sukoharjo, Mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Desakralisasi Pernikahan dalam Fenomena Remaja Kekinian

16 September 2024   11:56 Diperbarui: 16 September 2024   11:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Dalam malam yang dingin di sudut kota Solo, irama lagu-lagu jazz dan romantis era kekinian menemani duduk santaiku ketika menuangkan tinta dalam secarik kertas digital ini. Menyambangi sebuah tempat nongkrong anak muda yang tak jauh dari kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta, menjadi sebuah pelarian kecil dari hiruk-pikuknya kesibukan dunia kemahasiswaan yang belum kunjung usai.

Dengan secangkir kopi hitam, kucoba kembali ingin menumpahkan apa yang belakangan ini menjadi bayang-bayang dalam pikiranku. Bukan tentang rumitnya dunia percintaan di kalangan mahasiswa, bukan juga soal dosen membosankan yang selalu melemparkan tugas-tugas, tetapi tentang apa yang kusaksikan dalam proses magangku di Pengadilan Agama Karanganyar.

Mendengar kata 'Pengadilan', diafirmasi atau tidak, yang terbesit dalam benak ialah sebuah tempat di mana orang-orang bermasalah dimintai pertanggungjawabannya. Ruang di mana para hakim di dalamnya mengetuk palu andalannya untuk memvonis siapapun yang bersalah.

Tidaklah salah jika yang sekilas dibayangkan seperti itu. Namun, apa yang ada di dalamnya, khususnya Pengadilan Agama jauh lebih kompleks dari apa yang tergambarkan dalam pikiran. Siapa sangka, di Pengadilan Agama inilah yang menjadi saksi betapa banyak pernikahan di bawah umur dilegalkan.

Dalam Undang-Undang (UU) nomor 1 tahun 1974 yang disempurnakan dalam UU nomor 16 tahun 2019, batas usia minimal perkawinan di Indonesia ialah ketika sudah menginjak usia 19 tahun. Bukan tanpa sebab, regulasi tersebut dibentuk berdasarkan faktor kematangan reproduksi, kesiapan mental secara psikologi, dan faktor lainnya.

Akan tetapi, fakta lapangan khususnya di tahun 2022 mencatat bahwa, 19,24% anak usia 16-18 tahun telah melakukan pernikahan. Dan mirisnya lagi, dari jumlah tersebut hampir 84% kasus di antaranya dikarenakan hamil di luar nikah atau Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).

Itulah yang menjadi sarapan kedua mata ini dalam ruang persidangan di Pengadilan Agama Karanganyar setiap hari Senin pagi. Pasangan muda-mudi dengan wajah harap cemas keluar masuk ruang persidangan setiap Senin. Berharap para hakim mau mengetuk palu sidangnya untuk membukakan pintu pernikahan mereka yang sejatinya belum cukup umur secara hukum.

Memang, dalam regulasinya, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 5 tahun 2019, menyebutkan bahwa pernikahan yang dilakukan sebelum genap 19 tahun masih bisa dilakukan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Akan tetapi, apa yang terjadi dalam ruang sidang nampaknya akan selalu menemui titik terang bagi kedua pasangan belia ini untuk melanggengkan langkahnya ke pelaminan.

Setiap kali mendengar permohonan untuk dispensasi nikah ini sebenarnya miris, karena di sisi lain kata 'sah' yang hendak mereka terima nantinya itu seakan hanya ingin diraih karena perut yang sudah membuncit terlebih dahulu. Terlebih dalam konteksnya di Pengadilan Agama. Yang mana mereka yang melakukan perbuatan hubungan ranjang sebelum pernikahan itu dilakukan oleh sejoli yang 'beragama'.

Sembari merenung dalam duduk di kursi belakang ruang persidangan, banyak pertanyaan-pertanyaan dalam benak ini menemani kegelisahan akan realita yang terjadi di depan mata. Bahwa ternyata, pembuktian rasa saling suka yang menghinggapi para remaja di era sekarang sudah sampai pada tahap saling berhubungan badan.

Entah kapan dan di mana mereka melakukannya, entah bagaimana mereka memulainya, turut menjadi deretan list pertanyaan yang membayangi rasa penasaran dalam diri. Bagaimana didikan orang tua terhadap mereka, apa perasaan yang mereka rasakan, juga turut membuntuti rasa penasaranku yang belum kutemukan jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun