Perempuan merupakan sang pembangun peradaban, sebenarnya banyak hal yang mampu menjelaskan makna dari sepenggal kalimat tersebut. Sedikit dari banyaknya alasan yang dapat menjelaskan hal ini yaitu perempuan merupakan madarasah pertama bagi anak-anaknya. Anak yang nantinya akan menjadi penerus bangsa itu dilahirkan dan diasuh oleh seorang ibu, yaitu seorang perempuan. Oleh karena itu, bukan hanya laki-laki saja yang mesti menempuh pendidikan tinggi, tetapi perempuan juga. Perempuan harus cerdas demi terciptanya para pemimpin bangsa yang berkualitas.
Raden Ajeng Kartini, tentu nama tersebut tidak asing lagi bagi kita. Sosok perempuan yang memperjuangkan hak perempuan lain ditengah kungkungan adat yang lekat. Sebenarnya kesetaraan hak terhadap perempuan belum sepenuhnya lebur, sisa-sisa stigma terhadap perempuan sejatinya masih ada di zaman modern ini. Saat ini, khususnya di Indonesia, sudah banyak sekali perempuan yang berani mengekspresikan dirinya dengan bebas, bekerja sesuai apa yang ia inginkan, serta berani mengambil keputusan. Namun, kesetaraan tersebut masih belum berlaku penuh terhadap semua perempuan di Indonesia.
Pandangan bahwa perempuan tidak harus bahkan tidak perlu berpendidikan tinggi masih kerap terjadi di beberapa daerah, khususnya pada daerah yang memang kurang menjangkau modernisasi. Stereotype yang terjadi adalah bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan terlalu tinggi karena kodrat perempuan adalah memasak, mengurusi urusan rumah tangga, mengurus anak dan suami, serta pandangan lain yang diberikan orang lain terhadap seorang perempuan. Padahal sebenarnya kodrat perempuan hanyalah menstruasi, hamil/melahirkan, dan menyusui.
Stereotype bahwa perempuan seharusnya pandai memasak, pintar mengerjakan pekerjaan rumah, tidak diizinkan keluar jika sudah larut malam serta perempuan yang harus menjadi sosok penurut sebenarnya masih sering kita temui. Hal tersebut memungkinkan seorang perempuan tidak bebas atas dirinya sendiri.
Untuk pembahasan lebih lanjut, ada sebuah contoh sederhana. Jika kita tinjau dari bentuk tubuh antara sosok perempuan dan laki-laki tentu akan sangat berbeda. Kebanyakan laki-laki memiliki bentuk tubuh yang lebih besar dibanding perempuan. Hal tersebut kemudian memunculkan presepsi bahwa laki-laki memiliki tenaga yang lebih kuat daripada perempuan yang memiliki proporsi tubuh lebih kecil. Hal tersebut merupakan pandangan secara umum dan realistis meskipun tidak semua orang yang bertubuh besar lebih kuat daripada orang yang lebih kecil. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang mampu dilihat secara visual ini kemudian memunculkan stereotype masyarakat.
Perbedaan merupakan hal yang lumrah di dunia ini, jika ada siang maka ada malam, jika ada gelap maka ada terang. Namun, perbedaan yang ada tidak seharusnya membuat kita menjadi saling mendominasi. Sejatinya perbedaan ada demi terciptanya suatu keseimbangan. Dengan adanya perbedaan tersebut seharusnya semakin mendorong kita untuk saling berkolaborasi dan saling melindungi satu sama lain. Bagi para perempuan yang dipandang langkahnya terbatas, hal yang mesti kita buktikan adalah bahwa kaki kita mampu melangkah sangat jauh, sangat jauh sampai mampu melampaui batas yang disematkan terhadap kita. Perempuan adalah pembangun peradaban, memperbaiki kualitas diri merupakan salah satu cara untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi apik terhadap bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H