Mohon tunggu...
Alfin Kholifatur Rosyidah
Alfin Kholifatur Rosyidah Mohon Tunggu... -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Rumah Pintar Aku Belajar

14 Maret 2014   01:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari perkotaan, di kabupaten Malang. Tinggallah aku bersama ibu dan bapak angkatku. Entah bagaimana bisa, orang tuaku meninggalkanku ketika aku masih balita. Beruntung sekali, masih ada yang mau mengasuhku. Iya, sangat mulia sekali hati ibu dan bapak angkatku. Padahal mereka sudah setengah abad usianya. Mereka orang tua yang sangat menyayangiku, terlebih aku adalah anak satu-satunya. Meskipun aku tau, aku bukanlah darah dagingnya sendiri. Tapi tak apalah, yang jelas aku sangat mencintainya. Janjiku aku akan membahagiakan mereka nanti.

Foto penulis dengan halimah

“ima” adalah panggilan kesayangan orang tuaku. Sebenarnya namaku halimah. Usiaku masih 4 tahun. Aku belum sekolah, mungkin tahun ajaran baru ibuku baru mendaftarkanku di taman kanak – kanak dikecamatan yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku. Kalaupun nanti aku sekolah disana, aku harus menempuh 1 jam perjalanan dengan berjalan kaki. Karena jalanan dirumahku sangat sulit untuk dilalui kendaraan beroda 2, kalaupun bisa tak sedikit orang kampungku yang berani melewatinya. Apalagi kalau musim penghujan, jalanannya semakin licin sekali. Tapi tak apalah, yang penting aku bisa sekolah dan aku sudah tak sabar lagi ingin sekolah disana.

Setiap pukul 03.00 pagi, bapakku pergi ke pasar untuk berjualan. Sedangkan ibuku menemaniku dirumah. Sejak kedatanganku dirumah ini, ibuku tak perna menemani bapak berjualan dipasar. Karena tak tega meninggalkanku dirumah sendirian atau tak tega mengajakku kepasar karena letaknya sangat tidak memungkinkan. Setiap hari aku selalu bangun pagi. Dengan wajah yang sangat kusam dan pakaian yang alakadarnya, setelah terbangun dari tidur aku langsung menuju kedapur menemani ibukku memasak. Aku hanya duduk-duduk didepan kompor dengan kayu bakar (pawon) sambil menghangatkan badan aku bermain kayu bakar, sedangkan ibuku sibuk memasak. Setelah selesai memasak, segera ibukku memandikanku. Takut airnya keburu mati, karena sumber air di rumahku sangatlah sulit. Setelah mandi, ibuku selalu menyuapiku sambil bermain ketetangga-tetangga dekat rumahku. Iya, ibuku selalu menemaniku bermain. Begitulah hari-hariku setiap pagi dirumah. Tak ada yang menarik dan menyenangkan kecuali bermain dengan teman-teman sebayaku.

Suatu ketika, sepulangnya aku bermain dari rumah tetangga sore hari. Ada sebuah rombongan mobil angkutan kota tiba di depan rumah salah seorang tetanggaku. Dengan rasa penasaran aku dan ibuku menghampirinya, karena jarang sekali ada mobil angkutan kota yang masuk daerah tempat tinggalku. Ternyata mobil angkutan kota itu rombongan kakak – kakak mahasiswa yang akan melakukan pengabdian masyarakat di desaku. Senang sekali hatiku, bisa kedatangan kakak-kakak yang baik dan sangat bersahabat itu.

Sejak kedatangan kakak-kakak itulah, rutinitasku sangat berubah tak seperti biasanya. Hari – hariku hanya aku habiskan untuk bermain saja. Setiap jam 8 pagi aku pergi ke “rumah pintar” untuk belajar dengan kakak-kakak tersebut.Meskipun letaknya di masjid, “rumah pintar” adalah sebutan dari kakak-kakaknya. Karena di desaku tidak ada PAUD / sekolah taman kanak-kanak, maka dari inisiatifmereka, didirikanlah sebuah “rumah pintar”. Di rumah pintar itulah, aku belajar banyak hal. Aku bisa mengenal berbagai macam bentuk huruf yang aneh, yang biasanya kakak-kakaknya menyebutnya huruf alphabet, angka-angka, diajarkan mengenal berbagai macam warna, bernyanyi, mewarnai, menggunting, berdo’a dan masih banyak lagi. Disana aku juga bisa bermain-main dengan kakak-kakaknya.

Sejak saat itu pula, aku bersama – sama temanku yang belum sekolah atau bahkan dengan tetanggaku yang tidak sekolah mulai sibuk pergi kerumah pintar setiap paginya. Dan aku selalu ditemani ibukku setiap kali pergi kesana. Ibuku sangat senang, aku bisa belajar bersama kakak-kakak itu. Bahkan sempat aku melihat mata ibu meneteskan air mata ketika aku bisa menyanyi “balonku ada lima”. Meskipun aku menyanyi dengan terpatah-patah syair lagunya. Sungguh Sangat menyenangkan sekali belajar di “rumah pintar” ini.

Hampir satu bulan sudah aku belajar dirumah pintar itu bersama kakak-kakaknya, sudah mau kembali ke kota sepertinya kakak-kakak tersebut. Sedihlah aku, aku tak bisa belajar lagi bersama kakak itu dan teman-temanku. Ibukupun mengelus dadanya sambil menghembuskan nafas dalam-dalam ketika mendengar kakak-kakaknya akan segera berpamitan untuk pulang.

Iya itu hanya kekhawatiran sejenak, karena 2 bulan nanti ketika sudah mulai masuk ajaran baru. Kakak-kakak akan mendirikan sebuah sekolah PAUD di desaku. Lega sudah hati ini, aku bisa belajar kembali bersama teman-temanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun