Mohammed bin Salman merupakan salah satu tokoh yang paling disorot dalam tiga tahun terakhir. Ia bahkan dinobatkan sebagai salah satu sosok paling berpengaruh tahun 2018 oleh berbagai media Barat. Kiprahnya mulai nampak ketika ia ditunjuk sebagai calon suksesor ayahnya, Salman bin Abdulaziz Al Saud dalam memimpin tampuk Kerajaan Arab Saudi.Â
Sifatnya yang tak kenal basa-basi dan cenderung egois dalam menentukan langkah politik, serta taktik politiknya yang sukar ditebak membuatnya kerap menjadi sasaran kritik. Di sisi lain, sikap reformis dan progresifnya dalam mengembangkan negaranya juga mengundang pujian dari berbagai pihak. Ia diibaratkan bak dua mata pisau yang sama tajamnya.
Mohammed bin Salman (untuk selanjutnya disebut MBS) dilahirkan di Istana Kerajaan Saudi, Riyadh, pada 31 Agustus 1985. Ibunya adalah istri ketiga Raja Salman, seorang keturunan kepala suku Ajman. MBS adalah anak tertua dari enam bersaudara. Tak seperti pangeran-pangeran lain dalam Kerajaan Saudi yang mendapat pendidikan dasar di lingkungan istana, ia menempuh pendidikan dasar di sebuah sekolah swasta di Kota Riyadh.Â
Belakangan, ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Raja Saud. Hal lain yang berbeda dari kebanyakan pangeran Saudi, ia tidak mendapatkan pendidikan Barat.
Setelah lulus, MBS bekerja di sejumlah perusahaan swasta sebelum masuk ke ranah politik Kerajaan Saudi. Pada 2009, baru ia masuk ke ranah politik kerajaan dan sejak itu, ia menduduki posisi penting selama ayahnya menjadi gubernur Riyadh. Sejak 2011, ia juga menjadi penasihat pribadi ayahnya.Â
Ia menduduki jabatan menteri pada 2014, pasca wafatnya Pangeran Nayef bin Abdulaziz Al Saud yang notabene merupakan putra mahkota Raja Abdullah (Raja Saudi saat itu).
Karena wafatnya Pangeran Nayef, maka Pangeran Salman, ayah MBS diangkat menjadi putra mahkota dalam musyawarah kerajaan. Setelah Raja Abdullah wafat pada 2015 dan Pangeran Salman naik menjadi raja, karir MBS semakin menanjak. Ia diangkat menjadi menteri pertahanan oleh ayahnya.Â
Sejak diangkat menjadi menteri pertahanan dan kelak sebagai putra mahkota kerajaan, banyak kebijakan MBS yang menuai perdebatan sekaligus tak biasa untuk seorang dari kalangan pemerintahan Saudi.
Pada saat yang hampir berdekatan setelah MBS diangkat menjadi menteri pertahanan, gejolak politik di Yaman semakin meningkat dan memicu perang saudara antara Kelompok Al-Houthi yang kabarnya didukung Iran melawan Pemerintah Yaman dengan pimpinan Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi.Â
MBS melakukan langkah yang kontroversial dengan membentuk aliansi negara-negara Teluk untuk menyerang Yaman dengan serangan udara dan belakangan juga mengirimkan pasukan, dengan dalih untuk memulihkan keadaan di Yaman dan mengalahkan gerakan terorisme di negeri tersebut.Â
Uni Emirat Arab, Mesir, Maroko, Sudan, dan beberapa negara lainnya turut dalam koalisi ini. Tindakan ini dianggap oleh MBS sebagai langkah untuk mengalahkan Al-Houthi sekaligus dapat meruntuhkan usaha dominasi Iran di kemudian hari.