Selain itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum juga dilarang oleh pemerintah. Guna menembus 'tembok negara', sebagian penduduk yang tinggal di pedalaman membuat stasiun radio amatir mereka sendiri. Para gerilyawan pemberontak antipemerintah secara sporadis membuat jaringan komunikasi rahasia. Dengan cara tersebut, penduduk dapat memperoleh berita dari dunia luar, sesuatu yang amat terbatas di negeri mereka.
Kebebasan pers di Eritrea juga tak luput dari sorotan dunia internasional. Di Eritrea hanya ada perusahaan media milik negara, yang setiap harinya menyiarkan informasi hanya dari dalam negeri.
Setiap peredaran media asing sangat diawasi oleh negara, bahkan ada larangan untuk pendirian perusahaan media swasta. Reporters Without Borders memberi Eritrea peringkat terbawah dari 180 negara dalam hal kebebasan pers dan atmosfer media. Dalam indeks kebebasan pers, Eritrea merupakan negara kedua dengan pers yang paling terkekang, di bawah Korea Utara.Â
Sepanjang lima tahun terakhir, terjadi penangkapan dan penggerebekan kegiatan beragama yang dianggap tidak diakui oleh pemerintah. Masyarakat muslim dan Yahudi di Eritrea merupakan kelompok yang paling sering menjadi korban persekusi pemerintah. Ribuan penduduk muslim dan Yahudi sudah ditangkap dan dihukum tanpa diadili.
Eritrea merupakan salah satu negara paling represif di dunia. Tindakan pelanggaran hukum selalu berakhir dengan penganiayaan oleh aparat pemerintah. Hal ini membuat banyak warga Eritrea yang kabur dari negaranya dan mencari suaka di negara lain, terutama di Eropa.Â
Setiap tahunnya, Eritrea kehilangan ribuan warganya yang kabur ke luar negeri, terutama untuk menghindari tindak kekerasan aparat, kewajiban wajib militer, dan memperoleh kehidupan berdemokrasi yang lebih layak.
Selain itu, jeratan kemiskinan juga mendorong mereka untuk mencari negara yang lebih baik. Tak jauh berbeda dengan Korea Utara, yang kerap ditinggalkan penduduknya secara diam-diam untuk mencari kebebasan di luar negeri.
Sistem pemerintahan Eritrea yang menindas demokrasi tentu irelevan dengan keadaan dunia saat ini, yang menjunjung nilai-nilai demokrasi, modernisasi, dan globalisasi. Sikap pemerintah Eritrea yang masih mempertahankan kediktatoran akan membuat negara itu semakin memburuk.Â
Bukan tidak mungkin, meskipun kontrol pemerintah teramat ketat, akan terjadi konflik antara penduduk yang menginginkan kebebasan dengan pemerintah yang kukuh dengan prinsip politiknya. Yang terburuk, ke depannya, Eritrea bisa saja terjerumus dalam kondisi negara gagal, ketika negara tak mampu memberikan solusi akan masalah yang terjadi di wilayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H