Hal pertama yang Kagame lakukan setelah dilantik adalah mengampanyekan perdamaian. Ia menggalang perdamaian dengan berkeliling ke desa-desa dan menyerukan masyarakat agar bersatu tanpa memandang ras, agama, dan kedudukan masing-masing. Selain itu, ia membentuk pemerintahan inklusif yang terbuka bagi setiap suku dan ras.
Ia juga mencabut kartu identitas penduduk yang ia nilai sangat rasial dan membeda-bedakan penduduk. Penggunaan kata 'Tutsi', 'Hutu', 'Twa', dan nama-nama suku lain secara bertahap dilarang. Menurutnya, setiap suku di Rwanda adalah saudara dan merupakan orang Rwanda. Ia juga mengubah konstitusi negara menjadi lebih pluralis dan humanis.
Untuk membangun kembali negaranya yang hancur akibat perang saudara, ia pergi ke negara-negara maju di Asia dan Eropa, seperti Jerman, Jepang, Tiongkok, dan Singapura. Negara-negara yang ia kunjungi merupakan negara yang pernah hancur akibat perang, namun dapat bangkit dalam waktu yang relatif singkat. Di sana, ia menemui para ekonom dan ahli perencanaan wilayah dan berkonsultasi dengan mereka. Hasil pertemuannya ia bawa kembali ke Rwanda.
Lambat laun, atas saran para ekonom serta bantuan dari berbagai negara dan organisasi internasional, Rwanda mulai terbangun kembali. Pada 2000, pendapatan per kapita Rwanda kembali ke angka yang sama ketika perang saudara, kurang lebih $550, bila dibandingkan dengan ketika medio 1990an yang hanya berada pada angka $200-$300.
Setelah terplihnya kembali Kagame sebagai Presiden Rwanda pada 2003, ia meluncurkan program yang ambisius, yaitu Visi 2020. Dalam visi tersebut, ia menargetkan Rwanda menjadi negara dengan pendapatan menengah, dengan peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Pertanian berkelanjutan juga menjadi salah satu aspek, karena Rwanda amat bergantung pada sektor tersebut.
Sejak itulah, diadakan pembangunan besar-besaran di Rwanda. Anggaran pendidikan ditingkatkan hingga mencapai 17% APBN. Sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan, serta Rumah Sakit dibuka di berbagai daerah, terutama pedesaan. Angka buta huruf terus ditekan. Sementara itu, angka harapan hidup terus diupayakan agar meningkat.
Keran investasi asing di kota besar seperti Kigali dibuka. Masyarakat diberi kemudahan oleh pemerintah untuk melakukan bisnis dan membuka usaha. Negeri ini juga membuka lebar-lebar akses teknologi informasi. Perusahaan transportasi berbasis daring seperti ojek dan taksi juga didirikan dan didukung oleh pemerintah. Dikutip dari Reuters, Rwanda juga membangun kabel serat optik sepanjang 2.300 kilometer untuk melancarkan akses informasi.
Di bidang pertanian dan perkebunan, pemerintah memberikan dorongan bagi masyarakat untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan. Penanaman kopi dan teh, yang menjadi ekspor utama Rwanda meningkat secara signifikan. Sektor unggulan lain seperti pariwisata juga terus dikembangkan. Apalagi, Rwanda memiliki pemandangan alam yang indah dan taman-taman nasional.
Alhasil, pendapatan per kapita penduduk Rwanda meningkat dengan signifikan, mencapai $1.600 pada 2013 (IMF, 2013). Sejak 2011, Rwanda sudah melepaskan diri dari status negara miskin. Kini, Rwanda menjadi negara yang terus berkembang dan menatap kemajuan dengan Visi 2020-nya.