Padangan merupakan sebuah daerah yang memiliki sejarah panjang, sejak masa Kadipaten Jipang hingga berdirinya Kabupaten Bojonegoro. Dahulu Padangan menjadi ibukota Kadipaten Jipang, hal ini akibat dari perjanjian antara Mataram dengan VOC. Inti dari perjanjian tersebut adalah daerah Mataram yang diserahkan Sunan Amangkurat kepada VOC berdasar perjanjian, meliputi pantai utara Pulau Jawa mulai dari Pasuruan hingga Karawang, yaitu semua daerah pesisir timur dan barat. Disepakatinya perjanjian tersebut menjadi kekalahan politik yang cukup telak bagi Mataram terhadap VOC. Perjanjian itu di samping secara eksplisit mengatur batas baru wilayah Kerajaan Mataram dengan wilayah VOC, secara implisit mengatur pula penetapan pejabat baru di daerah bahkan kompeni memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan pegawai tinggi di lingkungan istana kerajaan. Berdasarkan hal tersebut pada saat Sunan Amangkurat II menetapkan Mas Tumapel menjadi bupati merangkap wedana bupati Mancanegara Wetan yang berkedudukan di Jipang pada 1677 merupakan bagian dari pelaksanaan perjanjian 20 Oktober 1677 yang ditandatangani susuhunan dan VOC. Tuntutan dari VOC agar ibukota kabupaten Jipang berada di seberang Bengawan Solo dari arah kedudukannya diterima oleh susuhunan hal ini dikemukakan oleh Umronnifah & Utma dalam buku Bojonegoro Bercerita, 2019.
Letak geografis Padangan berada di sebelah tenggara Sungai Bengawan Solo, adapun batas-batas wilayahnya meliputi di selatan dari aberbatasan dengan Ngawi atau Madiun, sebelah barat berbatasan dengan Cepu, Blora Jawa Tengah dan sebelah timur berbatasan dengan Bojonegoro. Keuntungan lokasi yang strategis tersebut menjadikan Padangan sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan perekonomian. Padangan sebagai bandar besar yang memiliki arti penting dalam kegiatan perekonomian. Keberadaan dermaga tempat pemberhentian kapal dan aktifitas bongkar muat barang dagangan dapat dibuktikan dengan toponimi daerah yang bernama Bandar yang terletak tepat di sisi utara Sungai Bengawan Solo (Perbatasan Kecamatan Kasiman dan Padangan). Selain itu, di tepi sungai tepatnya di desa Kuncen, juga terdapat pasar tradisional yang diyakini warga sekitar sudah ada sejak zaman kolonial, walaupun sempat mengalami beberapa kali perubahan namun pasar tersebut dari dulu berlokasi di tempat yang sama. Sebagai daerah pusat perdagangan, Kabupaten Jipang memang terkenal dengan hasil hutan berupa kayu jati, dimana separuh dari seluruh wilayah Kabupaten Jipang merupakan hutan jati yang bermutu tinggi baik untuk penggunaan rumah maupun kapal.
Pada tahun 1725 Susuhunan Pakubuwono II naik tahta. Tahun itu juga Susuhunan memerintahkan agar Raden Tumenggung Haria Mentahun memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Jipang dari Padangan ke Desa Rajekwesi. Lokasi Rajekwesi 10 Km di selatan kota Bojonegoro.
Wilayah Padangan sebagai bekas Kabupaten Jipang masih sangat aktif dalam kegiatan perekonomian hal ini menyebabkan semakin padat pemukimannya. Pada abad ke-20 Masehi banyak bangunan-bangunan berarsitektur Belanda yang dibangun di sekitar Padangan. Misalnya seperti kompleks perumahan elit, tempat ibadah, Pertokoan Pecinan dan kantor pegadaian di sekitar jalan raya Cepu-Bojonegoro. Adapun bangunan-bangunan kota tua Padangan yang masih dapat kita jumpai hingga saat ini diantaranya:
1. Rumah Tua Padangan
Rumah ini berada di perempatan Padangan disebelah timur Kantor Polisi Padangan. Rumah ini didirikan oleh M. Rasyid yang merupakan seorang pengusaha tembakau pada zaman pra kemerdekaan. Rumah ini sangat kental dengan unsur eropanya, bangunannya sangat luas dan memiliki enam ruangan dan ruang belakang. Terdapat pula sumur diruang belakangnya, diatasnya ada semacam menara yang digunakan untuk menyimpan barang. Pada tahun 2018 rumah ini diakuisisi Pemkab Bojonegoro dan dijadikan tempat wisata untuk umum. Selain rumah tua Padangan terdapat pula rumah-rumah tua disepanjang jalan Cepu-Bojonegoro, yang masih dipakai oleh warga sekitar.
2. Gapura Masjid Besar Darul Muttaqin Padangan
3. Pertokoan Pecinan
4. Pegadaian