Surabaya – Ketika saya pertama kali memulai perjalanan di dunia teknik biomedis, tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa suatu hari saya akan menciptakan sebuah inovasi yang berpotensi menyelamatkan ribuan nyawa bayi prematur di Indonesia. Berangkat dari keprihatinan saya terhadap kondisi fasilitas kesehatan di daerah terpencil, saya menciptakan inkubator bayi berbasis Internet of Things (IoT) yang hemat biaya. Dengan teknologi ini, saya berharap bisa memberikan harapan baru bagi ribuan keluarga di seluruh Indonesia.
Menurut Menteri Kesehatan, sekitar 78 ribu bayi meninggal setiap tahunnya di Indonesia, dengan penyebab utama adalah kelahiran prematur. Masalah ini menjadi lebih serius karena sebagian besar kasus terjadi di daerah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas. Kasus viral di Tasikmalaya baru-baru ini, di mana seorang bayi prematur dengan berat hanya 1,5 kg meninggal dunia akibat kurangnya peralatan medis yang memadai, mencerminkan kondisi kritis yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia.
Latar Belakang Inovasi
Sebagai mahasiswa Teknik Biomedis di Universitas Airlangga, saya sering membaca fakta mengejutkan, bahwa setiap tahunnya, sekitar 78 ribu bayi meninggal di Indonesia, dan penyebab utama adalah kelahiran prematur. Saya sangat tergugah ketika mendengar kasus bayi prematur yang meninggal di Tasikmalaya karena kurangnya peralatan medis yang memadai. Saya merasa ada yang harus dilakukan.
Masalah ini semakin serius ketika saya menyadari bahwa inkubator modern yang mampu menjaga suhu tubuh bayi prematur stabil memiliki harga yang sangat mahal, bahkan mencapai ratusan juta rupiah. Di sisi lain, inkubator murah yang tersedia di pasaran sering kali tidak dapat menjaga suhu tubuh bayi dengan optimal. Inilah yang memotivasi saya untuk menciptakan solusi yang lebih terjangkau namun tetap efektif.
Teknologi Revolusioner di Balik Inkubator
Dengan memanfaatkan teknologi PID (Proportional-Integral-Derivative) berbasis metode Internal Model Control (IMC), saya merancang inkubator yang mampu menjaga suhu stabil dengan parameter optimal. Rise time-nya hanya 619 detik, dengan overshoot yang mendekati nol. Saya juga menambahkan humidifier untuk menjaga kelembaban udara di dalam inkubator, sehingga bisa mengurangi risiko infeksi kulit dan masalah pernapasan pada bayi prematur.
Yang membuat saya semakin yakin adalah pengaplikasian teknologi IoT ke dalam inkubator ini. Dengan platform Blynk, tenaga medis dapat memantau suhu dan kelembaban secara real-time melalui smartphone. Ini memberikan efisiensi besar bagi tenaga medis, terutama di fasilitas kesehatan dengan sumber daya yang terbatas.
Saya ingin memastikan bahwa semua bayi, tak terkecuali di daerah terpencil dan terpelosok, mendapatkan perawatan terbaik. Teknologi ini saya buat dengan visi bahwa teknologi canggih harus dapat diakses oleh semua orang.