Buku ini diawali dengan kebangkitan Dewi Ayu, seorang pelacur ternama di Halimunda, dari kuburannya setelah dua puluh satu tahun dikuburkan. Semasa hidupnya dia dikenal dengan kecantikannya yang begitu rupa yang merupakan keturunan Belanda-Indonesia. Orang tuanya saudara se-ayah yang berbeda ibu, namun tidak menghalangi keduanya untuk tetap menjalin hubungan tersebut hingga melahirkan Dewi Ayu.Â
Dewi Ayu memiliki empat orang putri, masing-masing bernama Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan terakhir Si Cantik. Keempat anaknya dilahirkan tanpa tahu siapa ayah dari masing-masing anaknya, karena Dewi Ayu memang tidak pernah menikah. Ah, tidak.. tidak... Dia sebenarnya pernah menikah sekali, di umurnya yang masih terlalu muda dan mengejutkan banyak orang. Pasalnya yang dinikahi adalah seorang yang bernama Ma Gedik dan lebih pantas menjadi kakeknya dibanding suaminya. Sebenarnya ada kisah rumit dibaliknya yang menjadi alasan Dewi Ayu melakukan hal "gila" tersebut. Sayangnya tidak lama setelah pernikahannya, suaminya melarikan diri ke sebuah bukit dan mati dengan tubuh tercincang akibat melompat dari puncak bukit. Sesuai namanya, bukit itu kemudian diberi nama Ma Gedik, bersebelahan dengan bukit Ma Iyang. Syahdan Dewi Ayu menjadi janda di usianya yang masih sangat muda tanpa pernah disentuh oleh suaminya yang lebih sering ketakutan tiap kali melihat Dewi Ayu.Â
Tidak lama kemudian datanglah Jepang yang segera menjadi penguasa di tanah Halimunda. Semua keturunan Belanda dikumpulkan dan dibawa ke penjara Bloedenkamp. Semua orang ketakutan, tapi diantara mereka tampaknya Dewi Ayu yang paling tenang menghadapinya. Seluruh hartanya telah ia bagikan kepada pembantunya, sisanya ia kubur di saluran pembuangan, dan beberapa cincin ia telan bulat-bulat untuk diamankan di dalam lambungnya. Ia tak memiliki sanak saudara, kakek nenek beserta kerabatnya telah ditenggelamkan ketika akan meninggalkan Halimunda. Kedua orang tuanya tak pernah ia temui, sejak hubungan terlarang keduanya melahirkan Dewi Ayu yang kemudian dititipkan di depan pintu rumah lama mereka dan pergi menghilang entah kemana.Â
Banyak kisah yang terjadi di dalam penjara tersebut. Dewi Ayu bertemu dengan banyak orang keturunan Belanda lainnya. Mereka mengusahakan segala cara untuk bertahan hidup, termasuk dengan memakan lintah, tikus, tokek, hingga buaya. Penjara ini pulalah yang mengubah drastis hidup dan masa depannya.
Ketiga anak pertamanya, Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi tidak jauh berbeda usianya satu sama lain. Sedangkan Si Cantik baru dilahirkan dua belas hari sebelum wafatnya Dewi Ayu di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Tidak hanya usia, rupa ketiganya juga sangat jauh dibanding adik bungsu mereka. Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi dikenal karena kecantikannya yang tak terkira, anak dari pelacur ternama yang juga tak kalah cantiknya. Adapun Si Cantik terlahir dengan rupa terburuk yang pernah ada. Hidungnya mirip colokkan listrik, telinganya seperti gagang panci, hingga kulitnya gosong bak habis dilalap api. Mirisnya dia justru diberi nama Cantik oleh ibunya yang tak pernah punya keinginan untuk melihat rupanya. Dewi Ayu demikian yakin anak keempatnya pasti tidak jauh berbeda dengan kakak-kakaknya, dan dia bosan dengan itu. Dia tidak pernah tahu bahwa anak keempatnya begitu buruk rupa hingga hari kematiannya. Jika seandainya Dewi Ayu tahu anak keempatnya berparas demikian, pikir Rosinah, pembantunya, mungkin dia tidak akan pernah merencanakan kematiannya secara tergesa-gesa dan bahkan justru merasa senang bahwa anak keempatnya ternyata tak secantik ketiga kakaknya.
Si sulung Alamanda menikah dengan seorang prajurit ternama yang sering dipanggil Sang Shodancho. Sebelum bersama Sang Shodancho, Alamanda menjalin hubungan dengan Kamerad Kliwon yang menurut masyarakat Halimunda pasangan paling serasi yang pernah ada. Namun hubungan keduanya kandas saat Kliwon tengah menuntut ilmu jauh di ibukota. Alamanda dan Sang Shodancho dikaruniai seorang anak yang diberi nama Nurul Aini. Dua kali hamil, dua kali pula anak di dalam perut Alamanda hilang entah kemana menjelang bulan kelahirannya. Barulah di kehamilannya yang ketiga, anaknya benar-benar lahir menjadi seorang bayi. Tidak raib menjadi angin seperti kedua kakaknya terdahulu. Ai, begitu panggilannya, kelak menjadi gadis yang tak kalah cantik dan sekaligus menjadi pelindung setia sepupunya, Rengganis Si Cantik.
Maya Dewi yang waktu itu masih berumur dua belas tahun, kemudian dinikahkan dengan Maman Gendeng, seorang preman paling ditakuti se-Halimunda. Tidak pernah terpikirkan oleh Maman Gendeng untuk menikahi anak dari pelacur yang ia klaim tidak boleh ditiduri oleh siapapun selain dirinya. Namun Dewi Ayu pantang menyerah sebelum keinginannya dikabulkan, sehingga kemudian Maman Gendeng menerima permintaannya. Jauh dari yang dibayangkan oleh Maman Gendeng, ia justru sangat berbahagia dengan istrinya yang begitu perhatian menyediakan segala kebutuhannya, mulai dari menyetrika baju, memasak makanan, hingga merapikan rumah setelah kedua pembantunya mengundurkan diri karena ingin pulang kampung dan menikah. Meski begitu, Maman Gendeng tetap tidak tega menyentuh si gadis kecil Maya Dewi. Setelah lima tahun berlalu barulah kemudian keduanya dikaruniai seorang anak yang diberi nama Rengganis Si Cantik.
Anak kedua, Adinda, yang paling terakhir menikah. Dia menikah dengan seorang pemimpin komunis ternama di Halimunda, Kamerad Kliwon. Saat terjadi pembantaian besar-besaran terhadap anggota komunis di Halimunda pada peristiwa yang dikenal sebagai G30 September, Kamerad Kliwon yang juga saat itu merupakan pimpinan organisasi batal dieksekusi atas permintaan bersyarat Alamanda kepada suaminya, Sang Shodancho. Setelah masa berkabung yang cukup lama akibat kepergian teman-temannya, Kameran Kliwon akhirnya keluar rumah. Seluruh jalan dia lalui dan berakhir di rumah Dewi Ayu untuk melamar anaknya, Adinda. Pernikahan keduanya dikaruniai seorang putra yang kemudian diberi nama Krisan.
***Â
Buku ini sangat rumit, setidaknya begitulah menurut saya. Kisah-kisah di dalamnya begitu kompleks dan cukup membuat kita menganga berkali-kali saat membacanya. Hubungan antar tokoh dan karakternya digambarkan dengan sangat kuat. Saya bahkan bingung buku ini termasuk dalam genre apa. Kisah di dalamnya mencakup banyak hal, termasuk tragedi, politik, sejarah, romansa, satire, hingga horor pun tidak absen di dalam novel ini. Tidak mengherankan bahwa buku berjumlah lima ratus lima halaman ini kemudian terus dicetak ulang sejak penerbitan pertamanya di tahun 2002, bahkan telah diterjemahkan hingga lebih dari tiga puluh bahasa. Cara penulis meramu dan menyusun kisahnya benar-benar pantas mendapat apresiasi. Luar biasa!Â