Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Resensi] Biru Laut, Bukan Sekadar Nomina

23 Juli 2019   01:15 Diperbarui: 26 Desember 2020   08:57 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu saya menamatkan sebuah buku karangan Leila S. Chudori. Bagi yang tahu karya-karyanya barang pasti sudah bisa menebak "biru laut" yang saya maksud pada bagian judul diatas. Lain halnya bagi yang belum berkenalan dengan karya-karya dari mbak Leila ini. Mayoritas akan mengira bahwa "biru laut" disini adalah nama warna yang di dalam kamus didefinisikan sebagai biru seperti warna laut. 

Sebenarnya, saya-pun baru pertama kali membaca salah satu karya Leila S. Chudori ini. Walaupun sudah lama bertengger di dalam list buku yang ingin saya beli, tetapi saya baru "direstui" kembali beli buku bacaan --yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran di kuliah-- setelah libur semester genap. 

Biru Laut adalah nama orang. Ya, betul, anda tidak salah baca. Biru Laut adalah nama orang... Mungkin sempat terlintas, ada-ada saja namanya. Kenapa orang tuanya tidak memberi nama yang lain saja? Sayapun awalnya berpikiran demikian, Biru Laut lumayan unik untuk disematkan kepada individu sebagai sebuah nama. Tetapi akhirnya saya baru paham, nama itu jugalah yang mendukung alur yang ada di dalam novel ini. 

Laut Bercerita adalah salah satu novel karangan Leila S. Chudori yang berlatar peristiwa penculikan dan penyiksaan terhadap sejumlah aktivis di tahun 1998. Penculikan dan penyiksaan ini dilakukan kepada mereka yang dianggap menjadi dalang dalam setiap aksi perlawanan terhadap pemerintah. Seperti yang sama-sama kita ketahui, tahun '98 sangat erat kaitannya dengan peristiwa runtuhnya rezim orde baru setelah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Pun tidak dapat dipungkiri, peran mahasiswa tidak bisa dikatakan kecil. Berdasar atas fakta-fakta inilah yang membuat penulis berhasil meramu sebuah cerita novel yang apik. 

Biru Laut adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Kegemarannya membaca buku yang telah ditanamkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil, membawa Biru Laut bertemu dengan Kasih Kinanti, yang kemudian akrab disapa Kinan. 

Eitt, jangan langsung menyimpulkan apapun. Pertemuan mereka terjadi ketika Biru Laut hendak melakukan salah satu perbuatan ilegal; fotocopy buku. Di tempat yang sama, Kinan-pun ingin melakukan hal yang tidak jauh beda. Kali ini buku yang hendak disalin adalah karya Pramoedya Ananta Toer. 

Tentu harus dilakukan dengan awas, mengingat buku-buku yang dianggap menentang pemerintah atau beraliran kiri pada masa itu dilarang peredarannya, termasuk karya Pram. Mereka sedikit berbincang tentang buku tersebut, sampai kemudian Kinan mengundang Laut --begitu sapaannya-- untuk menghadiri diskusi yang akan diselenggarakan oleh beberapa mahasiswa. 

Berbagai pertemuan dan diskusi mengantarkan Laut bertemu dan berkenalan dengan lebih banyak individu lainnya, sebut saja Bram, Alex, Sunu, Daniel, Naratama, Julius, Dana, Narendra, Gusti, Widi, dan sejumlah nama-nama lain. Laut kemudian bergabung ke dalam kelompok yang bernama Winatra. Winatra sendiri artinya membagi secara rata, mungkin maksudnya adalah keadilan. Ada pula kelompok yang namanya Wirasena, yang artinya sang pemberani. 

Winatra memiliki sekretariat yang sering berpindah-pindah. Hal ini untuk mencegah mereka ditangkap aparat karena ketahuan sedang berdiskusi tentang hal-hal yang dilarang di masa itu. Yang menakjubkan adalah, Kinan-lah yang paling sering didengar ketika ada perdebatan-perdebatan yang terjadi. Mata tajam yang dimiliki Kinan semakin mempertegas aura kepemimpinan yang dimilikinya.

Tekad untuk meruntuhkan era orde baru dan menikmati Indonesia yang lebih baik adalah pembakar api semangat dalam jiwa para pemuda ini, tak terkecuali Laut. Berbagai diskusi dan rencana dibuat sematang mungkin dan dirahasiakan agar tidak sampai terdengar di telinga aparat maupun intel. 

Yang mengherankan adalah rencana yang disusun sebaik mungkin itu kadang gagal dilakukan karena berhasil diketahui oleh aparat. Ini tidak hanya terjadi satu kali, namun beberapa kali. Berbagai asumsi dan kecurigaan Laut terhadap salah satu temannya adalah satu hal yang menghidupkan cerita ini. 

Berbagai aksi yang dilakukan oleh kelompok Winatra dan Wirasena kemudian membuat mereka dikambing-hitamkan oleh aparat sehingga di tahun 1996 mereka masuk dalam daftar pencarian orang. Hal ini pula yang menjadikan Laut dan kawan-kawan harus berpindah dari satu kota ke kota lain. 

Puncaknya adalah ketika Laut dan beberapa temannya berhasil ditangkap di bulan Maret, tepat di hari ulang tahun adiknya, Asmara Jati. Mereka dimasukkan ke dalam salah satu markas yang tidak Laut ketahui dimana tepatnya lokasi tersebut, mengingat matanya ditutup oleh kain hitam yang bercampur aroma apak dan darah. Mereka mendapat berbagai penyiksaan yang bahkan saya sendiri sulit membayangkannya. 

Mereka dipukul, digantung, ditendang, disetrum, disundut, dan yang terparah ialah disuruh berbaring diatas balok es dalam kondisi telanjang selama berjam-jam. Mereka disiksa sedemikian parahnya agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu. 

Suatu hari setelah penyiksaan balok es, Laut nyaris tidak bisa mengungkapkan rasa sakit yang dirasakannya. Ketika dikembalikan ke dalam sel tahanan yang lebih mirip kandang singa itu, suaranya hampir hilang ketika menceritakan salah satu hal yang paling menyakitkannya. Dia bercerita kepada beberapa teman yang juga dikurung di dalam sel terpisah dari selnya. 

Bukan siksaan fisik yang membuat Laut sakit, tapi pengkhianatan yang dia saksikan sebelum penyiksaan balok es itu terjadi. Salah satu teman diskusinya, yang juga turut serta dalam menyusun segala rencana mereka selama ini ternyata menjadi musuh dalam selimut. Dia memamerkan senyum manisnya di hadapan Laut ketika Laut hendak digiring ke tempat penyiksaan. Laut kaget bukan main. 

Dia-lah yang ternyata membocorkan rencana-rencana Winatra dan Wirasena kepada aparat. Tiada yang menduga sama sekali, mengingat sikapnya yang begitu tenang dan selalu sigap membantu teman-temannya yang lain. Sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan penyesalan mulai muncul dalam diri Laut karena merasa bersalah. Orang yang selama ini dicurigainya justru sedang mendekam di dalam salah satu sel bawah tanah bersama dirinya. 

Sungguh penyesalan itu semakin menjadi ketika Laut mengingat alasan dia mencurigai temannya ini: hanya karena dia banyak bicara dan sering memprotes beberapa pendapat temannya yang lain. Laut diam. Teman-temannya yang lain-pun tak ada yang mampu berucap meski satu kata. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga hari itu tiba, hari dimana Laut bangun dan "mengabsen" temannya satu persatu. 

Tidak lama berselang, datang si Raksasa dan Manusia Pohon --gelar yang diberikan Laut kepada dua orang yang selama ini menggiring dirinya kemanapun mereka diperintahkan oleh si Bos-- yang membawanya dan dua orang temannya keluar dari sel tahanan menuju entah kemana. 

Tiada yang tahu, apakah hari itu adalah perjumpaan terakhir mereka. Tiga orang lain yang masih tersisa di dalam sel ruang bawah tanah berteriak kesetanan dan mengumpat sejadi-jadinya kepada dua manusia berbadan besar tersebut.

Ada rasa haru dan kesedihan ketika membaca novel ini. Termasuk ketika ayah Laut, Arya Wibisono, tiap minggu sore akan selalu meletakkan empat buah piring di meja makan. Satu untuk dirinya, satu untuk sang istri, satu untuk si bungsu Asmara Jati, dan satu piring lainnya untuk Biru Laut yang tak tahu kapan pulangnya. 

Hari minggu adalah hari-nya keluarga ini. Maka dari itu, sejak kecil Ayah memerintahkan kepada Laut dan Asmara agar mengosongkan semua jadwal mereka di hari minggu. Menjelang sore, sang ibu pasti akan memasak tengkleng kesukaan mereka dan makan bersama ditemani musik dari The Beattles. Ini adalah tradisi tiap pekan. 

Namun semenjak Laut berkuliah di Yogya, tradisi ini menjadi sekali setiap bulan. Dan sejak penculikan terhadap aktivis itu terjadi, sang ayah tetap setia menyiapkan empat buah piring di atas meja. Mereka akan duduk menanti, sampai salah satu dari Arya atau istrinya mengatakan bahwa nanti tengklengnya akan ditaruh di kulkas. Biar Mas Laut yang memanaskan. Tapi Biru Laut tak kunjung datang.

Selain cerita tentang perlawanan dan keluarga, ada pula kisah romansa antara Laut dan kekasihnya, Anjani yang merupakan seniman pembuat mural dan berbagai karya seni lainnya. Laut dibuat jatuh hati ketika pertama kali Anjani datang ke sekretariat Winatra untuk membuat mural menutupi kusamnya dinding rumah yang disewa dengan harga murah itu. 

Badan mungil, gigi bak mentimun, dan lesung pipit di wajah Anjani membuat Laut tak akan melepas jabatan tangannya seandainya tak diinterupsi oleh kawan yang lain. Dia terpaku, benar-benar kagum.  Kekaguman Laut semakin menjadi ketika Anjani dengan jeniusnya melukis salah satu kisah fenomenal, Rama dan Sinta yang dibuat dengan versinya sendiri. 

Cerita Rama Sinta yang selama ini diketahui Laut dan menjadi bahan diskusi dengan adiknya, Asmara adalah cerita yang di dalamnya tokoh Sinta akan diculik dan Rama-lah yang akan menyelamatkan. Namun kali ini Anjani membuat cerita yang justru berkebalikan. Bukan Sinta yang diculik, tetapi Rama. Sinta-lah yang nantinya akan menolong Rama, begitu kata Anjani. Tentu Anjani punya alasan, saya tak harus menceritakan mengapa ide itu begitu jenius di mata Biru Laut, bukan

dokpri
dokpri

Satu per satu konflik dalam cerita ini diselesaikan. Meski sampai sekarang ada yang masih mengganjal. Kelanjutan nasib si Pengkhianat tidak diceritakan hingga saya menamatkan novel ini. Mundurnya Soeharto di tahun 1998 adalah titik perubahan yang selama ini dicita-citakan oleh Laut, meski dia tak seberuntung beberapa temannya yang merasakan "Indonesia yang lain". 

Dari dasar laut yang sunyi, puisi sang penyair yang diberikan kepada Laut di ulang tahunnya yang ke-25 tidak akan pernah dilupakannya. Bahkan ketika Laut telah menyatu dengan laut sekalipun: "Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali..."

Ada satu kalimat yang saya sukai. Kalimat ini adalah ucapan dari Kinan kepada Laut, ketika Laut merasa pesimis dengan perjuangan mereka yang rasanya sia-sia saja. (hlm. 183)

Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut.

***

Novel yang berisi tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur. (Leila S. Chudori). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun