Mohon tunggu...
Alfikri Oktavian Yudhistira
Alfikri Oktavian Yudhistira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

A student who interested in Politics, International Relations, communications, and business.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penolakan RUU Ekstradisi Hong Kong terhadap China memicu Krisis Politik dan Resesi Ekonomi

30 Desember 2022   01:00 Diperbarui: 30 Desember 2022   01:04 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa unjuk rasa di Hong Kong terjadi sejak awal Juni 2019. Berawal dari keputusan Pemerintah Hong Kong yang mendorong dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Ekstradisi. Salah satu poin perubahan yang dikehendaki adalah memungkinkan untuk dilakukannya ekstradisi dari Hong Kong ke yurisdiksi mana pun yang belum memiliki perjanjian, termasuk China daratan. Hong Kong merupakan bagian wilayah China, namun memiliki hak istimewa yaitu satu negara dua sistem serta batas hukum sendiri sejak dikembalikan oleh Inggris ke China pada tahun 1997. 

Akibat RUU ekstradisi tersebut, Hong Kong tidak hanya mengalami krisis politik, tetapi juga mengalami resesi global. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi sekitar 3 persen pada akhir 2019, lebih rendah dari prediksi 3,2 persen pada Juli 2019. Menurut laporan IMF yang dirilis pada Oktober 2019, perlambatan tersebut disebabkan oleh konstelasi geopolitik dan perang dagang yang menciptakan ketidakpastian dalam perdagangan dunia dan kerja sama internasional. 

Faktor lain yang berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi global antara lain penuaan populasi dan penurunan produktivitas di negara maju, serta tekanan makroekonomi di negara berkembang. IMF memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2020 akan menjadi 3,4 persen, turun dari prediksi 3,5 persen pada Juli 2019. Karena pentingnya Hong Kong sebagai pusat keuangan dan perdagangan bagi China dan seluruh dunia, beberapa pihak berspekulasi bahwa ketidakpastian dalam Hong Kong bisa memicu resesi global. Ekonom Harvard University di Amerika Serikat Selain perang dagang AS-China, Carmen Reinhart menilai gejolak di Hong Kong bisa menjadi titik kritis bagi perekonomian global. Dalam hal ini, Carmen menegaskan bahwa apa yang terjadi di Hong Kong akan berdampak tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi di China dan kawasan Asia, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi global. 

Ketergantungan ekonomi China pada Hong Kong telah berdampak signifikan terhadap perekonomian China sejak demonstrasi konflik antara China dan Hong Kong. China menarik investasi asing melalui mata uang Hong Kong, ekuitas, dan pasar utang. Investor asing yang mempercayai sistem dan administrasi hukum Hong Kong lebih dari sistem hukum China yang bertanggung jawab kepada Partai Komunis China. Sedangkan korporasi internasional memanfaatkan Hongkong sebagai batu loncatan untuk berekspansi ke daratan China. Mayoritas investasi asing langsung (FDI) di China disalurkan melalui Hong Kong. 

Sebagian besar perusahaan top China, dari Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) milik negara hingga perusahaan seperti Tencent Holdings, telah terdaftar di bursa Hong Kong, dan sering digunakan sebagai batu loncatan untuk ekspansi di seluruh dunia. Pada tahun 2018, perusahaan-perusahaan di China mengumpulkan hingga US$ 64,2 miliar secara global melalui penawaran umum perdana, terhitung lebih dari sepertiga dari total (IPO). Menurut statistik Refinitiv, hanya US$ 19,7 miliar yang berasal dari listing di bursa Shanghai atau Shenzhen, dibandingkan US$ 35 miliar di bursa Hong Kong. Perusahaan-perusahaan China semakin memasuki pasar utang Hong Kong. Menurut Refinitiv, Hong Kong menyumbang sekitar 33 persen dari total penggalangan dana sebesar US$ 165,9 miliar pada 2018. Menurut data Otoritas Moneter Hong Kong yang diterbitkan oleh Natixis, bank-bank China memiliki aset sekitar US$ 1,1 triliun di Hong Kong pada 2018 dibandingkan dengan pinjaman dari daerah lain. Jumlah ini setara dengan sekitar 9 persen dari produk domestik bruto (PDB) China. Hilangnya saluran keuangan dapat menggoyahkan ekonomi China yang sudah goyah, merusak keyakinan dalam kemampuan partai komunis untuk mempertahankan kemakmuran selama beberapa dekade.

Hong Kong telah dikenal sebagai salah satu simpul perekonomian dunia dan kota bisnis internasional. Dikhawatirkan apabila unjuk rasa terus berlangsung, banyak sektor ekonomi semakin terpukul dan merugi. Walaupun sepertinya belum banyak seruan agar unjuk rasa berakhir, masyarakat dan beragam pihak luar negeri berharap tidak ada lagi kekerasan yang terjadi. Berbagai negara telah mengutuk kekerasan dan mendorong untuk dilakukannya dialog yang konstruktif hingga ditemukan jalan keluar secara damai bagi semuanya. Unjuk rasa di Hong Kong hendaknya juga menjadi perhatian bagi Konsulat Jenderal RI di sana untuk mengambil langkah cepat, sistematis dan taktis untuk menjaga keselamatan dan keamanan Warga Negara Indonesia (WNI) di Hong Kong yang memang menjadi tanggung jawab negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun