Dia dekat,
Tapi aku merindunya.
Ketika dia lewat,
Rinduku sampai pada puncaknya.
Aku melihatnya melewati pagar sekolah, kulihat ayah menyapanya dengan senyum mengembang. Senyum itu milikku, sama persis, dengan sedikit lesung di pipi kanan. Ia membalas senyum dengan anggukan sopan, di tambah sedikit gurauan yang membuat ayah tertawa kecil. Terlihat akrab sekali.
Aku bahagia, sesak dipenuhi cahaya dalam dadaku. Coba katakan siapa yang tak bahagia melihat sang ayah bahagia, setidaknya itu yang ia perlihatkan dan aku mengira demikian. Katakan juga padaku, siapa yang kuat menahan bahagia kala menatap sang pujaan hati tersenyum. Bahagia menatap senyum lelaki yang dicintai, meski tak dapat meraihnya.
Ia bintang terang yang berkilauan, ditemani meteor dan rembulan nan indah disekitarnya. Ia berdiri gagah dengan sejuta pesona yang tanpa ia sadari, telah membiusku. Ia benar – benar telah membiusku, aku. Aku yang rasanya tertimbun di bawah onggokan sampah yang menumpuk. Terlalu hinanya diriku, tak cukup diungkapan dengan kata.
Merindu yang jauh,
Tak pula menyiksa bagiku
Mereka yang tak terlihat,
Tak pula akan teringat.
Aku menunggu ayah pulang di jam istirahat sekolah, biasanya ia akan bercerita apapun yang terjadi di pagi hari, dan menurutku, Ayah suka melakukan ini. Ada sedikit beban yang terhapuskan ketika ia menceritakan kejadian – kejadian yang telah ia lalui. Meskipun aku tak pernah merespon ceritanya, pasti tak pernah.
Sebagai seorang satpam, Ayah harus siaga di kala pelajaran tengah berlangsung. Dan ketika pulang di jam istirahat, ia hampir selalu membawa cerita – cerita untuk dibaginya padaku_yang selalu tak pernah memotong ceritanya, meskipun aku tahu, ia berharap aku memotong ceritanya. ceritanya bermacam – macam, ketika datang dengan wajah menunduk, aku tahu ia membawa berita duka.
Berita duka itu tak selalu berita kematian, misalnya saja seperti berita dari kantor majelis guru yang kehilangan bunga keladi – keladian model lama beserta potnya. Yang setelah diselidiki, bunga itu di curi oleh seorang pelajar putri di suatu pagi yang tak terlalu buta. Menurut informasi, ia mencuri bunga itu untuk menghiasi halaman tenda tempat ia akan berkemah selama seminggu.
Faktanya, sekolah – sekolah lain yang mengikuti perkemahan itu memang membawa bunga – bunga yang banyak untuk menghiasi halaman tenda mereka, dan bahkan pancuran listrik yang mahal. Jika aku berada di posisi pelajar itu, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kabarnya, sekolah memang tak memberikan bantuan yang cukup bagi mereka, dan selebihnya, biaya hidup selama seminggu itu harus mereka tanggung sendiri.
Begitu rupanya gambaran sistem pendidikan saat ini, siswa lebih berani dan lebih kreatif dalam menunjukkan protes dan ketidak setujuan mereka. Inilah nyatanya potret pendidikan di sekolah tempat pujaan hatiku menimba ilmu, menunjukkan sisi lain dunia pendidikan yang penuh celah bagi para koruptor kelas teri.
Hm, Ayahku benar – benar terlihat sedih dan terpukul atas kejadian ini. Berhari – hari ia mengatakan padaku bahwa ini adalah mutlak kesalahannya, karena kelalaiannya menjaga sekolah menyebabkan hilangnya pot bunga itu. Menurutku itu terlalu berlebihan, tapi itulah Ayah. Pengabdiannya mengalahkan apapun, mengalahkan segalanya. Bahkan sebuah pot dengan bunga keladi – keladian model lama di dalamnya, mampu membuat Ayah tercenung mengintrospeksi diri. Namun mengapa kehilangan Timor Leste tak membuat pemerintah lantas menyingsingkan lengan tangan, menanamkan identitas nasional Indonesia pada pulau – pulau milik negara yang ribuan jumlahnya. Sekali lagi, Ayahku terlihat lebih hebat dari para pemerintah, setelah Indonesia harus kembali kehilangan dua bagian tubuhnya, Sipadan dan Ligitan.
Merindu yang dekat,
Seperti nyawa tercekat
Mereka yang tampak,
Membuat kaku, tak bergerak
Cerita klasik yang selalu ia bawa adalah kejadian – kejadian seputar kenakalan pelajar di sekolah, seperti tentang seorang seorang anak kelas sebelas yang tertangkap merokok di belakang kantin Mak_ sebutan khusus anak laki – laki untuk kantin yang khusus pula untuk mereka. Atau cerita tentang pelajar putri kelas dua belas yang gemar membawa kosmetik ke sekolah, dan Ayahlah yang menjadi eksekutornya. Hm, bangganya.
Ayah telah mengabdi pada sekolah ini sejak ia masih muda, masa – masa dimana ia masihlah menjadi pacar Ibuku. Hingga setahun kemudian mereka menikah, ayah masih menjadi satu – satunya satpam di sekolah tuaini. Barulah ketika aku bisa membaca, ku tahu tulisan di gapura tua yang termakan rayap itu bertuliskan SMA.N.1 Batanghari. Sekolah menengah atas pertama di kota ini. Dua puluh lima tahun sudah ia berdiri kokoh, melindungi orang – orang haus ilmu dari teriknya matahari, derasnya hujan, dan dinginnya angin pagi.
Sekolah ini pula yang menjadi saksi bagaimana aku dilahirkan, bersama dengan kepedihan dan luka. Bangunan itu yang menyabarkanku ketika akhirnya Ibu harus bertarung dengan maut untuk melahirkan aku. Gedung bercat orange pudar itu pula yang menyaksikan betapa kerasnya hidup yang harus kami lewati selama hidup di rumah milik sekolah ini.
Rumahku memang milik sekolah, bangunan yang berukuran tak lebih dari sebuah ruangan kelas. Sekat di buat dengan tripleks, guna membatasi ruangan yang satu dengan yang lainnya. Sebenarnya tak sulit menggambarkan rumah sederhana yang dipinjamkan Kepala Sekolah beberapa hari setelah Ayah menikah dengan Ibu. Hanya ada empat ruangan di rumah ini, itupun tak semuanya terpakai. Ayah cenderung hanya mengunjungi ruangan – ruangan tertentu saja setiap hari. Dan ia tak menyukai perubahan, sekecil apapun itu. Ayah ingin selalu mengenang Ibu, inspirasi hidup yang amat ia cintai. Dengan melihat sesuatu yang sama seperti ketika Ibu belum meninggal, adalah kebahagiaan tersendiri baginya. Dan itulah cara dia mengenang Ibu, baginya Ibu tak kan pernah tergantikan.
. Kerinduanku,
Tak ada yang memahami
Begitu juga ketika aku menangis
Tak seorangpun mendengar
Rumahku terletak persis di ujung kewasan sekolah, bertetangga dengan mushalla yang akhir – akhir ini tak terawat lagi. Ayah pernah mengatakan padaku perihal rencana OSIS merenovasi Mushalla dalam waktu dekat, namun nyatanya, bangunan tua itu masihlah kumuh, dengan cat – cat memudar dan mengelupas. Tengoklah atap seng itu tak lagi berkilau tertimpa cahaya matahari, karena karat pada setiap incinya.
Mushalla itu hanya digunakan untuk tempat mengaji anak – anak kompleks di sore hari. Aku kecewa. Tempat ibadah itu terlihat seperti rumah hantu yang kosong sepanjang pagi dan malam. Beberapa kali pernah ku lihat seorang guru agama membawa muridnya untuk belajar di tempat itu, meskipun aku tak tahu apa yang menjadi kekhususan Musholla tua itu untuk menjadi tempat belajar khusus_ seperti laboratorium bahasa, dengan seperangkat alat – alat canggih yang tak ku mengerti apa nama dan gunanya.
Kejadian itu terjadi hampir setahun silam, dan aku mengingatnya hanya karena itulah saat pertama nikmat jatuh cinta itu ku rasakan. Dan setiap hari, aku berharap sang guru mau berbaik hati membawa anak muridnya kembali ke Musholla kecil itu, namun yang kulihat tak lebih dari angin dan jangkrik. Kini, Musholla itu kembali menjadi sampah bagi murid sekolah ini. Menyedihkan, seperti kisah hidupku.
Pagi ini, tak kulihat lelaki pujaan hati melewati gerbang sekolah. Aku lesu meratapi kesialan hari ini, tak kuhiraukan beberapa anak yang tak sengaja menabrak atau menginjak kakiku. Biasanya aku akan mengumpat, meskipun umpatan itu berbuah sia – sia. Hingga sebuah mobil berhenti di depan gerbang, menurunkan seorang laki – laki tampan yang di papah, kemudian di dudukkan di kursi roda. Dia pangeranku!!, namun ia tak terlihat setampan biasanya. Wajahnya pucat dan lesu, kakinya diperban disana – sini.
Ayah membantu mendorongkan kursi rodanya dan memastikanhingga pangeranku tiba di kelasnya, sebelas IPS satu. Pangeran tampan itu mengucapkan terimakasih ketika Ayah pamit, dan tentu saja, Ayah akan membalasnya dengan senyum manisnya, seperti senyumku. Namun sayang, pangeranku tak melihat apalagi membalas senyumku.
Berharap seseorang mencintai,
Tak cukup sulit bagiku
Berharap seseorang menyadari,
Suatu hal mustahil terjadi
Ayah pulang dengan muka kuyu, lelah dengan pekerjaannya. Ia menyeruput sisa kopi buatannya pagi tadi, kemudian duduk di satu – satunya kursi yang ada di ruangan itu. ia menengadah, menghadap ke jendela, entah apa yang dilihatnya. Ia lalu meraih sebauh foto dengan bingkai kardus permen bermerek buatannya, ku rasa, kardus itu ia dapatkan dari kantin Uni Halimah, perempuan Minang yang juga tinggal di kawasan sekolah. Hanya saja, rumahnya tak sejelek rumahku. Kembali pada foto dengan bingkai kardus permen. Dalam foto itu tengah tertawa seorang gadis kecil berumur empat tahun, bahagia memegang boneka. Itu aku, dengan boneka pembelian Ayah. Hanya Ayah, karena Ibu telah tiada.
Ayah memandang foto itu setiap hari, mengatakan sesuatu yang seperti sebuah cerita. Adakalanya ia menangis memeluk fotoku, namun terkadang ia tertawa seraya menghempaskan fotoku pada pahanya.
Aku hanya diam ketika ia bercerita perihal pelajar kesayangannya yang menderita kelumpuhan akibat kecelakaan, tentu saja itu pangeranku. Miki, begitu Ayah ku menyebut namanya. Murid tampan yang mirip sekali dengan personil grup band ternama saat ini, Onci. Tidak berlbihan, karena memang mereka mirip sekali, baik fisik maupun sifatnya.
Ayah mengatakan kesedihannya yang mendalam, dan ia berjanji akan mengantarkan Miki ke kelasnya setiap hari. Dan aku masih diam, tak memberi komentar apapun. Hanya senyum yang ku sunggingkan di ujung bibirku. Dan aku tahu, ia tak melihatnya, menyebalkan. Hingga Ayah meletakkan kembali fotoku di atas rak, aku hanya diam, berduka tentu saja, namun untuk menangis aku tak kuasa.
Sakit yang tak terperi,
Ketika kehadiranmu tak diharap
Akan lebih sakit,
Jika kau ada, namun seperti tak ada
Siang ini, kulihat Miki mendorong kursi rodanya dengan susah payah, peluh memenuhi keningnya yang lebar. Aku ingin membantu, namun keterbatasan menghalangiku, bukan apa – apa, namun usahaku nantinya akan percuma. Tahukah kau apa yang salah dengan teman – temannya, kemana mereka saat salah satu temannya tengah membutuhkan bantuan? Percuma juga aku menggerutu.
Aku mencari – cari Ayah, berharap sosok tua itu akan muncul dan membantu Miki memutar rodanya. Biasanya, Miki menunggu jemputan di depan gerbang sekolah, ditemani gelak tawa ayahku. Namun siang ini Ayah tak terlihat, aku tak tahu ia pergi kemana. Awas saja jika ketemu nanti, akan ku marahi dia!.
Aku berteriak histeris ketika Miki tersungkur dibawah kursi rodanya. Tak juga ada yang datang menolong Miki, meski aku telah berteriak sekuat tenaga. Aku deg – deg an. Kulihat Ayah berlari dari kejauhan, berteriak meminta pertolongan pada siapa saja yang mendengar. Teriakannya membuahkan hasil, seorang guru muda botak dengan kacamata tebal menghampiri Ayahku, kemudian menggendong Miki masuk ke sebuah mobil yang datang di saat yang tepat. Ku rasa itu mobil jemputannya. Seorang wanita tengah baya_yang kutaksir adalah Ibu Miki, berteriak histeris melihat anaknya di tak sadarkan diri begitu.
Suasana tegang, kacamata guru muda itu terlepas sakinggugupnya ia. Kacamata itu jatuh tepat dihadapanku, beberapa inci dari kakiku. Aku berniat memungutnya. Kubatalkan niat itu ketika aku ingat siapa sebenarnya aku.
Merindu yang jauh,
Berarti tak dapat merengkuh
Karena mereka jauh
Malam hari adalah waktu beristirahat, terlelap dalam dekapan selimut dan bantal. Namun Ayahku belum juga tertidur malam ini, ia masih memegangi fotoku sambil menangis, tangisannya pilu, mengharukan untuk lelaki seperti Ayah. Berulang kali ia menyebut nama Ibu, namaku dan nama Miki bergantian. Ayah terlihat sangat takut kehilangan Miki, yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.
Sejujurnya sedihku melebihi kesedihan siapapun saat ini. Pilu yang kurasakan tak tergambar oleh kata. Ingin sekali aku berbagi kesedihan ini dengan Ayah, memeluknya dan meredakan tangisnya. Namun sekali lagi aku menyadari, ada batas yang tak dapat ku tembus antara aku dan dia.
Merindu yang dekat
Berarti tak dapat meraih,
Karena mereka seperti berlari,
Seminggu setelah kejadian itu, aku masih menunggui kedatangan Miki. Namun tak kunjung datang lelaki berkursi roda itu. Keesokan harinya, penantianku berakhir juga. Pagi ini tak kulihat lagi kursi roda menemani Miki, ia berjalan dengan kaki sempurna menuju gerbang sekolah. Ia menyapa Ayah seperti biasanya, tak lupa senyum manis terkembang di bibirnya. Ayah terlihat amat bahagia, dipeluknya Miki seakan tak ingin melepaskannya. Aku ingin melakukan hal yang sama, namun keterbatasan itu menghalangi segalanya.
Aku masih berdiri tepat di depan Miki, menatap dari dekat wajah yang menyiksaku sepanjang waktu. Aku seperti merindukannya, merindukan seseorang yang berada di depan mataku. Dan ia merasakan angin mengibas tubuhnya ketika ia berjalan menubrukku tanpa sengaja.
“Ayah, cintai dia untuk aku . . .”
Ruang kemenangan
13 Mei 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H