Bunga Rampai Ilmu Kepenghuluan
Oleh: Andin Alfianoor Ansyarullah Naim
Tidak banyak buku atau bahkan belum banyak pendidikan khusus yang membahas atau mempelajari masalah kepenghuluan hingga hari ini, diskusi-diskusi kepenghuluan pun tidak banyak kita dapati, menariknya penghulu bukan lah barang baru, Jabatan penghulu telah hadir di Nusantara melintasi berbagai jaman selama ratusan tahun, semenjak pertama kali diperkenalkan oleh kesultanan islam Demak di jaman dahulu, dan tersebar ke berbagai daerah dan kepulauan dimana pengaruh demak ada, jabatan penghulu sebagai penegak urusan keagamaan islam, baik penegakan syariah maupun pendidikan islam serta bahkan politik islam, dimana penghulu mempengaruhi kebijakan sultan atau penguasa setempat.
Ada beberapa tulisan yang membahas mengenai sejarah dan peran penghulu dimasa lalu, dan inipun dikritik pula karena tidak implementative bagi penghulu modern, karena peran penghulu dimasa lalu berbeda dengan peran penghulu di masa sekarang, oleh sebab itu pula sejarah penghulu dimasa lalu dianggap menbawa aroma romantisme oleh penghulu saat ini melihat perbedaan otoritas yang besar antara penghulu saat ini dengan penghulu saat dahulu.
Tapi yang pasti penghulu melintasi berbagai jaman, peran penghulu tetap ada dan sulit tergantikan, meski di saat ini otoritas penghulu lebih banyak dalam hal perkawinan, namun pada dasarnya perkawinan pula bukan sesuatu yang biasa-biasa saja, dalam perkawinan kita bisa melihat bagaimana syariah islam ditegakkan, dalam perkawinan pula kita bisa melihat syariah islam di implementasikan, dibumikan dan dikoordinasikan dengan konsep-konsep kenegaraan.
Perkawinan atau pernikahan tetap menjadi sesuatu yang syakral, penting dan di hormati, baik oleh agama apapun itu, Negara apapun itu, baik Negara berbasis agama, maupun Negara berbasis sekuler, bahkan oleh entitas kebudayaan seperti suku-suku kecil yang belum mengenal agama sawami atau negara modern, pernikahan tetap menjadi sesuatu yang syakral, penting dan dihormati.
Jika penghulu dilihat sebagai pemegang otoritas dalam masalah pernikahan agama islam, maka Kepenghuluan bisa pula kita definisikan sebagai hal-hal mengenai tata laksana penghulu selaku penegak syariah dalam pernikahan islam secara luas. Tentu saja definisi ini sangat umum dan terbatas dan bisa kita terus diskusikan, namun rasanya cukup memadai.
Penghulu atau fungsi kepenghuluan hampir selalu ada dalam setiap entitas politik di berbagai daerah di nusantara dimana agama islam ada, Â itu pula lah definisi penghulu diberbagai daerah tersebut menjadi begitu bervariasi sesuai dengan ruang lingkup sejarah, budaya, otoritas di setiap daerah.
Harapannya kita jangan terlalu kawatir dengan diksi penegakan syariah islam dalam hukum perkawinan, karena hal itu tidak terhindarkan, memang ada pandangan dari sebagaian orang yang takut dan kawatir dengan syariah islam, tapi kita tak bisa memungkiri bahwa kehidupan kita sehari-hari tak terlepas dari itu baik kita sadari maupun tidak kita sadari, yang menurut penulis adalah kurang bijak jika defenisi syariah islam dimaknai dengan kekerasan sahaja, padahal itu sangat tidak tepat sama sekali.
Dalam agama Islam perkawinan adalah ibadah, ibadah mempunyai Hukum, rukun serta juga syarat. Perkawinan adalah ibadah yang cukup unik dan berbeda dengan ibadah lainnya dalam agama islam, karena ibadah ini mengharuskannya ikut campurnya beberapa orang untuk ikut mempertanggung jawabkannya, tidak seperti sembahyang dan puasa misalnya, sembahyang dan puasa adalah personal, dan bisa dilaksanakan secara pribadi, tapi pernikahan seperti kita ketahui bersama pelaksanaannya tentu saja tidak sama dengan sembahyang dan puasa.Â
Karena pernikahan adalah ibadah yang melibatkan banyak orang bahkan berdampak sangat besar bagi masyarakat dan lingkungan, dalam kasus-kasus tertentu melibatkan ulim amri (pemerintah) secara de facto, sebagai contoh dalam kasus wali hakim.
Saya percaya, banyak dari kita tahu tentang rukun dan syarat nikah, tapi bagaimana implementasi rukun dan syarat nikah tersebut? Sebagai contoh, salah satu rukun nikah adalah seorang laki-laki, islam dan dia tidak terhalang untuk menikah, jika seorang laki-laki datang ingin menikah apa yang harus kita lakukan?Â
Bagaimana kita mengetahui dia tidak terhalang untuk menikah? Salah satu halangan laki-laki untuk menikah adalah dia telah mempunyai istri empat orang dalam satu waktu, maka dia tidak bisa menikah lagi, lalu pertanyaannya bagaimana kita bisa tahu dia seorang bujangan, duda atau tidak menikah dengan empat wanita dalam satu waktu? Disana lah tugas penghulu untuk bisa memeriksa, menilai, melihat dan kemudian memutuskan atau mengambil keputusan hukum mengenai itu.Â
Usaha yang bisa lakukan penghulu pastinya akan bermacam cara, salah satu yang umum dilakukan adalah dengan metode penelitian dan pemeriksaan oleh penghulu seperti data sipil, melalui KTP, Kartu Keluarga, surat pengantar dari pemerintah sipil setempat seperti pengatar nikah dan sebagainya, selain itu juga dari pengakuan si calon pengantin itu sendiri, penghulu akan memeriksa dengan seksama, menanyakan langsung dan sebagainya, dimana hal itu akan bisa menyakinkan penghulu untuk memberi keputusan hukum bahwa laki-laki tersebut memenuhi rukun nikah dan tidak terhalang untuk menikah atau malah sebaliknya.
Sederhananya birokrasi dalam kepenghuluan mempunyai beberapa peran, dua hal penting yang penulis lihat adalah birokrasi sebagai alat bantu pengambilan keputusan hukum dan birokrasi sebagai sarana pencatatan pernikahan. Â
Contoh diatas adalah hanya salah satu dari bagian sistem kerja kepenghuluan, terlihat disana bahwa kepenghuluan sedemikian rupa membentuk hubungan atau relasi dan interaksi kongkrit antara hukum agama dan sistem birokrasi Negara atau pemerintahan, perkawinan begitu penting posisinya dalam agama dan Negara, dampak-dampak pernikahan mungkin tidak akan kita diskusikan disini atau akan kita bahas dilain tulisan, tapi melihat hal diatas akan menjadi pembuka kita melihat bagaimana kepenghuluan sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang seharusnya kita beri perhatian lebih.
Hal lain dari kepenghuluan yang perlu kita dalami adalah keputusan hukum yang diambil atau dilakukan oleh penghulu, dalam kepenghuluan modern saat ini, hal perkawinan telah ada prosedur baku dari pemerintah dengan berbagai macam aturan, dari Undang-undang Perkawinan sampai Peraturan Menteri Agama, aturan-aturan tersebut adalah untuk membantu, mendata serta menyeleraskan Pernikahan agar lebih teratur dalam bernegara, agar "pencatatan pernikahan" istilah yang merujuk kepada pe-legalitasan perkawinan dalam aturan Negara bisa dilaksanakan.Â
Penghulu pada akhirnya menyesuaikan secara administrative terhadap sebuah pernikahan, maksudnya adalah pernikahan diharuskan memastikan sebuah pernikahan tidak hanya sah secara Agama islam namun juga harus bisa dicatatkan sebagai pernikahan yang legal dalam lembaran Negara (akta nikah) dimana untuk bisa mendapatkan ke legalan tersebut harus memenuhi aturan-aturan Negara.Â
Peran penghulu begitu penting dan sangat luar biasa unik, karena penghulu melakukan hal yang bisa dikatakan tidak biasa secara birokrasi dan otoritas. Satu sisi penghulu mengambil keputusan hukum seperti contoh diatas mengenai pemeriksaan Rukun nikah dan satu sisi penghulu juga menegakkan aturan-aturan pemerintah demi terlaksananya tata administrasi pernikahan.Â
Kedua sisi ini tentu saja adalah berbeda, yang bagi penulis seharusnya tidak bisa disatukan dengan melihat sistem Negara kita yang berazazkan trio politika, namun penghulu mau tidak mau telah melakukannya. Pengambilan keputusan hukum adalah ranah dari Yudikative, dan penegakan peraturan adalah perannya dari eksekutive. Bagaimana kita bisa menjelaskan abu-abunya penghulu disini?
mari kita lihat kepada pengambilan keputusan hukum yang dilakukan oleh penghulu, seperti dibicarakan diatas tadi, bahwa penghulu dalam melaksanakan tugas wewenang dan otoritasnya akan berujung kepada keputusan hukum, yang akan berdampak kepada sah tidaknya pernikahan, pernikahan dalam agama islam bukan sah secara selembar berkas, tapi sah sebagai peristiwa ibadah yang akan mengakibatnya halal haramnya hubungan suami istri, kejelasan keturunan serta waris, juga tanggung jawab sebagai suami istri, serta dosa pahala yang menyertainya dimana pernikahan adalah sebuah ibadah.Â
Dari sini hukum agama adalah utama dan pertama, sedangkan hukum Negara adalah mengikutinya, apakah ini akhirnya memperlihatkan pertentangan dengan Negara? Beruntungnya adalah ini bukan pertentangan, dimana Undang-undang perkawinan dalam ayat pertama bahwa pernikahan adalah sah menurut agama masing-masing.
Banyak hal dalam keputusan hukum yang dilakukan oleh penghulu, seperti penetapan rencana pernikahan telah terpenuhi segala rukun dan syarat nikahnya, memastikan peristiwa nikah terlaksana sesuai aturan agama, dan kemudian memutuskan pernikahan adalah pernikahan yang sah sehingga terjadi halalnya hubungan suami istri dan sebagainya.
Dari sinilah pertanyaan muncul lalu apa bedanya penghulu dan hakim agama? Bagi saya jika melihat sejarah kepenguluan, dimana dahulu penghulu mempunyai otoritas yang lebih luas, bahkan diluar pernikahan maka tidak ada perbedaan yang lebar antara penghulu dan hakim agama, penghulu jauh lebih tua dan lebih luas otoritasnya seperti dijelaskan diatas penghulu abu-abu dalam hal eksutive dan yudikative, sedangkan hakim agama adalah anak kandung dari penghulu, otoritas hakim hanya dalam pengambilan keputusan secara yudikative, namun meskipun telah dibagi, rupanya penghulu tidak serta merta kehilangan peran pengambilan keputusan hukum, malah-malah mungkin menjadi tantangan yang lebih berat bagi penghulu, karena penghulu menghadapi tantangan jaman serta tantangan birokrative yang berat karena harus melayani akar rumput secara langsung dengan fasilitas dan perlindungan yang minim, berbeda dengan hakim pengadilan yang otoritasnya sangat terlindungi dengan fasilitas yang mumpuni.
Penghulu sebagai pengambil keputusan hukum banyak dibicarakan diberbagai tulisan mengenai sejarah penghulu dimasa lalu, peran penghulu dimasa lalu sebagai Qadi sudah pasti tidak akan lepas dari hal-hal kegiatan pengambilkan keputusan hukum, dimasa modern hal ini tentu asing bagi penghulu modern, dimana pengambilan keputusan hukum dilihat telah hilang dari otoritas penghulu, penghulu lebih kepada pelaksana birokrasi pernikahan sahaja, atau penghulu hanya sekedar pelaksana prosedur pernikahan biasa seperti pegawai negeri lainnya, maka hal-hal mengenai pengambilan keputusan hukum tidak dilihat sebagai bagian dari penghulu.
Tapi seperti juga hakim dipengadilan agama dimana mereka memutuskan sebuah perceraian sebagai sebuah keputusan hukum, penghulu yang memutuskan sah-tidaknya pernikahan adalah juga sebuah pengambilan keputusan hukum.
Salah satu birokrasi pernikahan adalah pemeriksanaan berkas nikah, berkas persyaratan nikah diperiksa oleh penghulu, calon pengantin pun dihadirkan dan ditanyai, berkas nikah adalah alat bantu pemeriksaan, berkas nikah akan dikonfirmasi kembali kepada calon pengantin, penghulu akan meneliti, menilai dan akhirnya memutuskan bahwa calon pengantin memenuhi persyaratan nikah dan tidak ada halangan.Â
Penghulu bisa saja menolak rencana pernikahan jikalau ada sesuatu yang dianggap tidak memenuhi persyaratan. Meski terdengar sederhana pada dasarnya praktiknya tidak mudah karena akan banyak hal-hal dan tantangan tersendiri.Â
Misalnya ternyata calon perempuan masih terikat pernikahan dengan orang lain, meski dalam berkas nikah di sebutkan masih perawan, atau ternyata walinya tidak setuju, atau wali nikahnya tidak sesuai dengan data sipilnya. keputusan dalam pemeriksaan berkas nikah ini adalah keputusan Hukum.
Keputusan hukum ini akan berbeda dampaknya dengan keputusan prosedural sipil biasa, seperti misalnya dalam berkas dan pengantar nikah yang ditanda tangani oleh kepala desa dipastkan dia dapat menikah, namun ketika diperiksa oleh penghulu rupanya ada persyaratan yang menghalangi pernikahan secara hukum islam yang membuat pernikahan tidak atau belum bisa dilaksanakan. Artinya ada koreksi hukum terhadap apa yang ditanda tangani oleh kepala desa dalam pengantar nikah.
Begitu pula dalam pelaksanaan peristiwa nikah, rukun nikah harus terpenuhi, tidak bisa misalnya dalam pemeriksanaan nikah wali nikahnya ada dan telah datang ke KUA serta menyatakan merestui, tapi pada hari pelaksanaan pernikahan wali nikah ternyata tidak hadir atau digantikan oleh orang lain, maka penghulu akan menyatakan pernikahan tidak bisa dilaksanakan. Keputusan untuk tidak bisa melaksanakan peristiwa pernikahan adalah sebuah keputusan hukum.
Pengambilan keputusan hukum oleh penghulu adalah juga sesuatu yang krusial, sangat menentukan akan suatu rencana pernikahan, sebagai sebuah otoritas yang tidak dimiliki oleh jabatan lainnya, keputusan hukum oleh penghulu berdampak secara hukum islam yaitu halal haram hubungan suami istri dan dampak-dampak hukum perdata setelah pencatatan nikah dilakukan.
Dalam pengambilan keputusan hukum kadang-kadang penghulu bisa melawan arus prosedur dan birokrative sipil, ada beberapa kasus misalnya ketika seseorang wanita dalam data sipilnya baik kartu keluarga, akta lahirnya nama orang tua-nya ada A, orang tua wanita tersebut yang ber si A ini juga hadir dalam pemeriksaan, namun ketika di teliti ternyata si A ini bukanlah ayah kandung dari wanita calon pengantin tersebut, maka mau tidak mau penghulu akan menolak si A sebagai wali nikah, penghulu bisa mengoreksi data pengatar nikah yang akhirnya berdampak riskan bagi penghulu.Â
Itu lah mengapa terkadang dilapangan dalam prakteknya penghulu mempunyai pandangan berbeda-beda menyikapi permasalahan ini, ada yang tetap menuliskan data nikah sesuai data sipilnya namun yang menikahkannya adalah wali-nya yang sah. perbedaan pandangan penghulu adalah hal wajar dan bagian dari dinamika sesuai otoritas pengambilan keputusan hukum berdasar dengan penilaian dan ijtihad masing-masing penghulu.
Kepenghuluan tidak hanya mengenai bagaimana implementasi hukum islam dalam ranah perkawinan, tapi juga pada dasarnya mempunyai peran penyeimbang yang krusial dalam relasi hukum islam secara umum dan Hukum Negara, lebih jauh kepenghuluan juga mempunyai peran representasi agama islam dalam Pemerintahan di Negara kita ini secara paling nyata yang bisa kita dapati, bagi penulis kepenghuluan tidak cukup hanya sebagai sebuah ilmu alternative, tapi harus benar-benar masuk dalam ilmu wajib yang patut dipahami oleh sarjana-sarjana islam. Penulis menyakini masa depan islam di negara kita tidak akan lepas dari peran ilmu kepenghuluan.
Tulisan ini adalah pembuka, terinspirasi dari pengalaman penulis sendiri dan beberapa bacaan mengenai penghulu, khususnya buku karangan Drs. H Ibnu Qoyim Ismail yang berjudul "Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di masa kolonial", buku yang menurut penulis wajib dibaca oleh setiap penghulu dan akan memberikan wawasan terhadap sejarah penghulu khususnya di pulau jawa,.Â
Para penghulu harus memahami bahwa Penghulu tidak hanya ada di pulau jawa sahaja, tapi juga ada di berbagai daerah di kepulauan nusantara yang mempunyai sejarah dan peran serta keunikannya masing-masing, apa yang ada dipulau jawa tidak serta merta ada atau sama seperti dipulau lain, namun buku di atas bisa mengispirasi para penghulu menganalisis hal ihwal kepenghuluan di daerahnya masing-masing.
Ilmu kepenghuluan akan membuka ruang-ruang diskusi baru yang lebih mendalam, luas dan bahkan teknis. Sayangnya sampai hari ini tidak ada mata kuliah atau pendidikan lanjutan yang benar-benar serius mengenai kepenghuluan di perguruan tinggi. Â Insyaallah di tulisan berikutnya penulis akan mencoba mendiskusikan hal-hal teknis mengenai kepenghuluan yang mudah-mudahan juga bisa memberikan inspirasi kepada siapapun untuk menulis tentang kepenghuluan.
Mudah-mudahan bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H