Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mendapati Keturunan Datu

12 November 2014   04:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_374376" align="aligncenter" width="504" caption="feri lens fhoto Colection"][/caption]

Mendapati Keturunan Datu [1]

Oleh: Andin Alfigenk Ansyarullah Naim

Angin bertiup tidak terlalu kencang, bunyi mesin perahu ces[2] kami sangat nyaring memekakkan telinga, aku menyukai alur air ini, sebuah sungai kecil diantara rimbunan Purun, airnya berwarna coklat jernih, dimana ikan kadang terlihat jelas berlari-lari, sungai ini tidaklah dalam tapi airnya sedikit deras, sungai kecil ini juga tidak terlalu lebar, cukuplah untuk dua buah perahu kecil saling berpapasan.

Hanya rimbunan Purun[3] sejauh mata memandang, baik disebelah kiri maupun disebelah kanan, seperti padang ilalang, bak savana dirawa-rawa, burung-burung berterbangan, kami mendapati beberapa ekor Bangau tong-tong besar mencari makan, Bangau tong-tong berkepala botak berkaki tipis langsing, tinggi serupa satu meter, berparuh besar dan panjang, melihat mereka mengepakkan sayap ketika hendak terbang dan melihat mereka berputar-putar diudara adalah sebuah keindahan tersendiri, seolah penari udara, ahh betapa besar burung itu, seolah prajurit udara penjaga rawa-rawa.

Aliran air ini terus mengalir ke hilir, bertemu dengan aliran lainya, menyatu dan bermuara disungai besar yang berwarna kuning, menjadi salah satu sumber air sungai yang tiada pernah kering, dikiri dan kanan sungai itu lah peradaban dan kebudayaan manusia telah menjadi-jadi selama ribuan tahun.

Kadang-kadang dari kejauhan kita bisa melihat rimbunan pepohonan ditengah-tengah rawa, pulau-pulau kecil tempat bersarang berbagai jenis burung dan babi-babi liar dibawahnya, atau berbagai kera ekor panjang yang berteriak sesuka hati menggertak siapa saja yang dia inginkan.

Ada sebuah pondok ditengah-tengah padang purun itu, terlihat jauh disana, pamanku mengatakan itu adalah pondok datu, “orang kampung meletakkan berbagai makanan dipondok itu paling kurang setahun sekali” kata paman memberitahu.

Aku jadi teringat cerita turun temurun keluargaku, “rasa sedih menusuk hati, melihat teman dan orang-orang mengejek , Datu yang bersedih hati dan tidak sanggup menahan akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri ke pinggir hutan, dia ingin bertemu ibunya dan saudaranya, sang Bapa[4] yang menyayanginya berusaha membujuknya untuk kembali dan memberikan makanan setiap hari, tapi datu tetap menolak, kasihan dengan bapanya yang jauh-jauh mengayuh jukung[5] kepondok itu setiap hari, datu memohon agar abahnya hanya mengantar makanan seminggu sekali, permohonan itu dipenuhi, kemudian makanan diantar dua minggu sekali, sebulan sekali, enam bulan sekali, setahun sekali, sampai bapa datu meninggal dan datupun akhirnya lenyap entah kemana”

Aku memberanikan diri untuk berdiri diatas perahu, mencari pemandangan yang lebih luas, merasakan tusukan angin yang lebih menyejukkan, menghirup udara yang lebih segar dengan aroma rawa-rawa yang memikat, harusnya sedari dahulu aku harus kesini, harusnya aku menghabiskan masa kecilku disini, menikmati keindahan-keindahan ini, agar kekal dalam ingatan, dalam memori yang indah-indah, dimana pada saat-saat tertentu dapat kita nikmati dalam lelahnya kehidupan, beruntungnya kakekku yang memiliki keindahan-keindahan seperti ini dalam hidupnya, yang dia coba bagikan kepada anak dan cucu-cucunya dalam cerita-cerita bak dongeng, “dengar cucuku, diwaktu kecil aku pernah menangkap seekor kura-kura sebesar meja makan ini, aku pernah memiliki seekor katak sebesar piring, dan aku pernah digigit ikan tauman sebesar pahaku ini”, aku mempercayai cerita itu ketika aku masih kecil, dan meragukannya ketika aku sudah dewasa, namun melihat kampung halaman kakek ini seolah-olah aku ingin mempercayainya saja dan membuang semua keraguan, aku ingin menyakini tanpa pertanyaan bahwa kura-kura sebesar meja makan itu ada, bahwa katak sebesar piring itu memang pernah hidup, bahwa ikan tauman raksasa masih berkeliaran, dan aku berharap bisa menemukan dan menangkapnya seperti yang kakek lakukan dalam cerita-ceritanya.

Kami mulai memasuki hutan pakis, seolah dialam purba, pohon-pohon pakis itu tidak tinggi,  aku menatapi pohon-pohon itu dan menjadi was-was, jika saja akan muncul sejenis binatang besar  seperti Dinosaurus menerkam kami, tidak ada daratan untuk diinjak selain hanya air dan air coklat bening, begitu aneh hutan ini, seolah tersembunyi dari pandangan, tak terlihat jelas dari angkasa dan siapa menyangka tersembunyi sangat dekat dari deretan rumah-rumah pedesaan yang tidak jauh dibelakang sana.

“Dahulu untuk sampai hutan disana butuh waktu satu hari satu malam”

“Apakah lewat jalan ini, kenapa begitu lama”
“tidak lewat jalan ini, kami menyisir sungai besar kehilir sampai memasuki pinggiran sungai barito,lalu memasuki hutan dengan berjalan kaki, ”

“lalu sejak kapan sungai kecil ini ada”

“sejak sebuah perusahaan membuat sebuah kanal diujung sana, lalu tiba-tiba kami menemukan alur air kecil dari sana, yang kita lalui saat ini”

Aku bertanya apakah ada binatang berbahaya disini, beruntungnya tidak ada buaya dirawa-rawa, ketakutanku menjadi sedikit berkurang, tapi dihutan pakis ini terdapat rusa sambar yang tubuhnya sangat besar sebesar banteng dengan ratusan kilogram beratnya, paman tidak menyarankan mendekati rusa dengan tanduknya yang sangat besar bisa menyerang kita, rusa masih diburu dekat sini.

Kadang-kadang ketika mendekati tikungan, mesin ces perahu dimatikan, perahu dibiarkan berjalan lambatdengan sendirinya, tiba-tiba suara sebuah perahu ces lain terdengar datang mendekat dan mereka segera sama-sama mematikan mesin, perahu kecil itu rupanya membawa kayu, paman terlihat waspada mengarahkan perahu agar tidak terjadi tabrakan,  “lebih baik kita menghidari tabrakan, muatan mereka lebih berat daripada perahu kita, jika perahu kita rusak tidak ada jalan lain selain bermalam diatas pohon menunggu pertolongan esok hari”, aku hanya mengiyakan saja dan tertawa senang mendengarnya, tidak mudah mengemudikan perahu kecil, maka apa aku harus mengatur mereka?.

“kayu itu dari mana?
“dari hutan”

“itu illegal bukan”
“iya, beberapa tahun lalu bahkan ada teman kami yang ditembak polisi, tapi itu jauh di ujung hutan sana, jauh sekali”

Tapi pamanku itu mengeluh, “apalagi yang harus kami perbuat untuk makan, kami hanya mengambilnya secukupnya, untuk lebih dari perahu itu kami tidak mampu, jika tidak kami mungkin sudah menjadi orang yang berkecukupan , namun kenyataannya seperti yang kamu lihat, ini hutan kami, hutan kita, hutan nenek moyangmu juga, hutan untuk anak cucuk kami dan kita, sejak dahulu, ribuan tahun, ratusan tahun, seluruh rumah disepanjang sungai disana dibangun dengan kayu dari hutan ini, hutan ini tak pernah habis, kami hanya mengambil secukupnya dengan tangan kami”

Aku mengerti , paman sepertinya sedikit tersinggung ketika aku bertanya  tentang kayu yang kusebut illegal itu, dia langsung menyalakan rokoknya setelah itu, dan aku diam tanpa menjawab dan bertanya lagi, tapi benar hutan ini adalah hutan kami, dan pamanku itu benar mereka hanya mengambil secukupnya untuk makan, untuk hidup mereka yang miskin, ketika tanaman padi sering kali gagal menumbuhkan bulir-bulir padi akibat seringnya banjir, setelah ikan-ikan sudah semakin susah didapat karena kadang air terlalu cepat menyusut, aku tahu, ketika kanal-kanal dihutan dibuat maka akar-akar pohon seolah tidak mampu mengikat air terlalu lama.

Setengah jam dalam perahu dihutan pakis, kami memasuki hutan berkayu keras yang rimbun dengan tumbuhan merambat menutupinya, aliran sungai kecil itu memaskui rimbunan pepohonan, seperti memasuki terowongan labirin sungai kecil, tumbuhan merayap itu menjadi atap kami yang menghalangi sinar matahari, hutan tersebut gelap dan air sungai menjadi sedikit lebih deras, daratan kering mulai terlihat dikiri kanan.

“Apakah tanah itu bisa diinjak, paman?”

“Bisa anakku, tapi itu tanah rawa, seperti gambut, kamu bisa berdiri disana tapi susah sekali untu berjalan, tanahnya gembur, kecuali kamu berjalan diakar-akar pohon dan batang pohon yang tumbang”

Pada musim hujan, hutan akan banjir, seolah hutan Amazon yang terkenal itu ada disini, paman menyarakankan agar aku tidak menyentuh pohon atau tanah disamping kami, takut ada binatang berbahanya, “Disini banyak Bangkui[6] yang nakal, atau malah Beruang, atau Tadung[7]”.

Garis sinar matahari kadang muncul disela-sela sungai atau daerah lapang disekitar perahu kami, inilah hutan sesungguhnya aku pikir, kenapa selama ni aku hanya percaya bahwa hutan hanya ada digunung atau tanah keras saja, seperti digunung meratus disebelah barat yang tadi masih terlihat dari hutan purun, kenapa hutan ini tidak pernah kami tahu, tidak ada catatan, tidak ada laporan, tidak ada dalam buku-buku, aku merasa sangat bodoh.

Aku teringat cerita kakek,” hutan itu hutan keramat, sesungguhnya kami tidak pernah memasuki hutan tersebut jauh kedalam,kami hanya menebang kayu dipinggir hutan saja, disanalah keturunan keturunan datu itu ada, berbulu lebat berwarna coklat atau kadang kuning merah seperti warna tanah, mereka persis seperti kita, mempunyai tangan dan kaki namun berwajah buruk menakutkan, pemimpin mereka bertubuh sangat besar, kamu lihat karung goni itu, ya itu, seperti itu besarnya, mereka duduk diatas pohon, bergerombol, apabila hujan atau suara petir yang nyaring, mereka bersuara ribut ketakutan, seperti lolongan anjing, suara mereka keras dan bergema memenuhi seluruh hutan”.

********

Kami berjanji bertemu disebuah warung makan di sebuah jalan kecil, warung makan ini kami sukai bukan saja karena harganya murah tapi karena masakannya memang enak, selain itu cukup tersembunyi dari keramaian,

” aku takut informasi yang kamu berikan ini akan ditertawakan orang-orang, kamu harus berpikir dimana nanti mukaku akan ditaruh”, kata atak dengan dahinya yang tiba-tiba berkerut.

aku tahu aku seperti membawa info yang dapat dengan cepat disanggah, ini hanya dongeng sebelum tidur dari kakekku, bisa jadi Atak benar ini akan menjadi lelucuan dan tertawaan,

”kamu harus mengerti, tidak ada informasi secara ilmiah tentang keberadaan binatang itu diwilayah kita, mungkin setiap jengkal wilayah kita sudah dijelajahi, wilayah kita terlalu kecil”, atak kembali menguatkan asumsinya,

“kenapa kita tidak mengajak mereka kesana, sekedar jalan-jalan saja, siapa tahu informasi ini benar, binatang itu muncul tiba-tiba dan bisa mengejutkan mereka”,aku mencoba memebrikan ide lain

“binatang itu adalah masalah Global, masalah dunia, jangan sampai kita disebut pembohong jika tidak ada bukti pasti dan nyata,bahkan sebuah fhotopun bisa sangat diragukan, meski sebuah petualangan dihutan selalu menarik, tapi kita perlu dana”,

“hutan itu tidak terlalu jauh dari kota, kita tidak perlu banyak uang”,

“justru itu masalahnya, kita tidak butuh uang makan, kita butuh uang untuk kantong mereka ketika mereka pulang dari hutan”,

“aku kira mereka bersih?”,

“mungkin pantat mereka lebih bersih dari kantong mereka”, atak tertawa dan aku merasa kecewa”

“coba kamu lihat peta ini, ini sangat dekat dengan kota, disini lokasinya”. Aku membuka peta yang telah aku cetak, Atak memandangi peta itu dengan teliti.

“aku tahu wilayah ini, kamu lihat, ini jalan utama pertambangan, lokasinya terlalu dekat dengan jalan itu, dan ini bukan wilayah hutan dalam tata ruang yang dilaporkan kepemerintah, ini wilayah perkebunan yang akan dieksekusi dalam beberapa tahun kedepan”.

Atak berdiri dan membayar makanan kami, aku diam dan merasa malu, “ aku tidak bermaksud untuk tidak membantu, posisiku dikantor masih pegawai biasa, Lembagaku tidak sebagus namanya” atak kembali ke meja makan dan menyalakan rokoknya.

“aku tahu, terima kasih sudah membayar makanku hari ini”

“kamu jangan patah semangat, jika itu kampung keluargamu, kamu pasti punya keluarga disana”

“ayahku tidak pernah kesana, apalagi aku”

“sebenarnya apa tujuanmu, ini tampak tak berguna untukmu”

“aku tidak tahu, hanya saja ini menggelisahkanku”

“apakah perasaan seperti galau, gundah, gamang, itu terlalu berlebihan kawan”

“seperti ada sebuah panggilan, akupun tidak tahu apakah biantang itu benar-benar ada, jujur saja, kadang aku merasa pantas untuk ditertawakan,”

“seperti yang aku lakukan saat ini bukan, haha” atak mengejek

“ mereka seolah memanggilku, dan aku tidak berani kesana, aku tidak tahu harus kemana”

“panggilan apa?”

“yaaa seperti panggilan saja, aku merasa mereka memanggilku untuk menyelamatkan mereka”

“hal-hal tidak logis sulit untuk menjadi dasar ilmiah, kecuali menjadi sumber sekunder, itu lah alasan aku sangat ragu membuat laporanmu akan diterima oleh orang-orang”

“itulah mengapa aku butuh bantuanmu”

“siapa keluargamu yang kamu kenal disana?”

“ada seorang paman, sepupu ayahku,tapi sudah puluhan tahun tidak bertemu”

“dialah yang harus kamu cari, pamanmu itu”

*******

Semakin memasuki hutan, semakin terasa lembab, peluh keluar membasahi seluruh tubuh, kadang angin datang berhembung mendinginkan,, tapi itu tak lama, jika beruntung saja kita mendapatkannya,

” kita akan bermalam dipondok kepunyaanku” kata paman,

Tidak terasa, hampir sejam kemudian kami sampai diujung sungai kecil ini, kami memasuki kanal, inilah rupanya kanal itu, lebarnya hampir sepuluh meter dan tidak terlalu dalam.

Kecepatan perahu pun ditambah, terlihat banyak pohon-pohon besar tinggi di kiri kanan, beberapa lapangan kosong penuh dengan pohon-pohon yang tumbang karena ditebang, beberapa potongan kayu malah lebih banyak berhamburan dikanal, “ketika kanal baru dibuka, banyak orang datang kesini,membangun kemah-kemah, menebangi kayu-kayu sampai tak terkira, bunyi suara mesin penebang kayu tidak pernah berhenti, hasilnya seperti yang kamu lihat nak”.

“dari mana penebaang kayu itu berasa”
“kami tidak tahu, mereka datang bersama pembuat kanal, lalu mereka hilang ketika hutan sudah hampir habis disisi kanal” aku paham, jika sebelumnya hutan ini jauh lebih lebat dari sekarang , hijau dan rimbunnya pohon yang ada sekarang ini adalah hutan yang baru tumbuh setelah pohon-pohon besarnya habis, betapa mengerikan yang mereka lakukan pada hutan ini. “menurut kabar burung, disini akan ditanam pohon minyak, kami tahu kami tidak akan merasakan apa-apa kecuali hanya kesusahan, kami harus menebang pohon jauh kepedalaman, dan betapa susahnya kami membawanya kesini, janganlah kau merendahkan kami anakku, kami hanya mengambil sedikit untuk makan” paman memelas.

“tidak paman, bahkan aku membanggakan ketabahan paman, hal yang membuatku malu pada diriku sendiri, harusnya aku berbuat sesuatu sedari dulu untuk paman dan keluarga kita semua disini”

Kami akhirnya sampai dipondok, paman membantuku turun dari perahu, beberapa orang rupanya sudah ada dipondok menunggu kami, kami saling berkenalan, tak ada orang lain, semuanya sepupuku, kami tertawa dan saling bercerita, aku mengeluarkan rokokku, beberapa bungkus aku berikan kepada mereka, sepertinya aku nyaman dengan hutan ini, tidak seperti dugaanku sebelumnya.

Ketika malam, kami berkumpul di pinggir api unggun, hidangan ikan bakar kecil yang baru saja ditangkap dikanal begitu enak rasanya, dagingnya manis seolah tercampur dalam gula-gula yang muncul dari akar-akar pepohonan. Tiba-tiba terdengar suara sangat nyaring “Gugg guuu,,,guuu’ berdengung keras entah datang dari mana.

“suara apa itu?” aku bertanya kepada semua orang disekitar api yang sedang asyik makan

‘itu suara datu” kata salah satu sepupuku
“mudahan itu tanda selamat datang’ kata paman sambil makan
setelah selesai makan dan tiap orang asyik menikmati rokoknya, suasana terasa sunyi dan suara binatang malam benar-benar terdengar nyaring dan menyadarkan aku bahwa aku adalah benar-benar orang asing di hutan ini.

“ceritakan padaku tentang Datu, paman?”

“apa yang sudah kamu tahu tentang datu? Kenapa kamu datang jauh-jauh kesini ingin melihat Keturunan Datu?”
“kata kakek , datu adalah keluarga kita yang lari dan terbuang dihutan ini, dia menjadi penjaga hutan, kakek sering sekali menceritakan tentang datu kepadaku, dia berharap aku bisa bertemu dengan keturunan datu, sama seperti dia dahulu, kakek sudah lama meninggal, untuk menghormati kakek aku ingin memenuhi permintaannya”

“aku pernah beberapa kali bertemu kakekmu, dulu dia sering datang tapi hanya sebentar saja, menziarahi kubur leluhur dan mengunjungi kerabat”

“aku merindukannya, kakek menjadi teman yang baik buatku, sedang ayah selalu sibuk bekerja”

“Ratusan tahun yang lalu anakku, salah satu buyut dari buyut kita, pergi menuju pinggiran hutan ini untuk menebang pohon, dia berniat menikah dan memerlukan uang untuk mahar,  dan ingin mengumpulkan kayu untuk membuat rumah setelah menikah, sedikit demi sedikit dia mengumpulkan kayu, suatu hari setelah hujan, dia pamit dengan orang tuanya menuju pinggiran hutan dan meletakkan perahunya disuatu tempat yang tersembunyi, dia berniat memasuki hutan lebih dalam, memasuki batas hutan yang terlarang dimasuki, dia mendapati pohon-pohon yang dia ingini berlimpah disana dan berniat menebangnya, ketika dia telah menebang salah satu pohon besar, dia beristirahat disalah satu cabang pohon yang dia buat seperti pembaringan, dan tertidur karena lelah, ketika terbangun dia mendapati dirinya terperangkap dalam kurungan, rupanya makhluk halus dihutan ini telah menangkapnya”

“apakah itu sejenis hantu, paman?’

“Aku tidak tahu anakku, mungkin saja seperti itu, tapi makhluk hutan itu mempunyai rumah-rumahnya sendiri diatas-atas pohon, mereka hidup diatas pohon dan jarang sekali menginjakkan kakinya diatas tanah, mereka seperti kita manusia,  berbicara seperti kita, namun hidup di dunia lain, didunia yang kita tak mampu melihatnya, rupanya-rupanya salah seorang makhluk halus tersebut memberi penawaran kepada buyut kita, jika dia mau menikahi salah satu anaknya, maka dia akan dibebaskan dari kurungan dan dapat hidup selayaknya mereka disana, buyut kita menyetujui hal itu tanpa melihat terlebih dahulu wanita yang akan dinikahinya, rupa-rupanya kakek buyut kita membeli kucing dalam karung, wanita yang akan dinikahinya rupanya wanita yang buruk penampakannya, berkulit putih namun mempunyai banyak bulu ditubuhnya”

“Kakek sering bercerita tentang hal ini sebelumnya tapi dia bercerita tidak sebagus paman bercerita”

“Bisa saja kau memuji anakku, tapi karena sudah berjanji, Kakek Buyut kita tersebut tetap menikahi wanita tersebut, dan dia hidup bebas dan nyaman disana, istrinya ternyata mempunyai perangai yang baik, bertolak belakang dengan penampilannya yang buruk, beberapa tahun kemudian mereka sudah mempunyai dua orang anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan mereka tidak mewarisi apa yang terjadi dimiliki ibunya, tapi anak lelaki mereklah yang sedikit demi sedikit tumbuh bulu ditubuhnya, Setelah lah lima tahun berada dialam makhluk halus tersebut, Buyut kita merasa rindu akan keluarganya dikampung, dia meminta izin kepada istrinya untuk bisa mengunjungi keluarganya,dia merindukan ayah dan ibunya yang sudah tua,  tak disangka istrinya menyetujui niatan suaminya, namun jika kakek buyut kita keluar dari alam makhlus halus tersebut maka tidak mudah untuknya kembali lagi, maka disuruhlah buyut kita membawa anak lelaki mereka sebagai perantara dua dunia jika saja nanti keluarga mereka ingin bertemu. Buyut kita berhasil menemukan perahu yang dia sembunyikan beberapa tahun yang lalu dan kembali ke kampung halamannya dengan membawa seorang anak laki-laki”

“orang kampung pasti terkejut melihat anak itu” aku berpendapat

‘yang pasti seluruh keluarga berbahagia dengan datangnya kembali buyut kita, dan anak itu diterima selayaknya anggota keluarga baru, disayangi oleh kakek neneknya serta seluruh keluarga, anak itu tumbuh besar, kuat dan tangkas, dia selalu memenangi permainan diantara sebayanya, hal itu lah yang membuat anak-anak lain mengejeknya karena tidak terima dengan kekalahan, mereka mengejeknya dengan sebutan si anak hutan, ketika sampai akil balig bulu-bulu diseluruh tubuh anak itu tumbuh semakin lebat, hal itu semakin membuat dia diejek, dia bersedih hati, kemudian seperti yang sudah kamu tahu, dia mengasingkan diri ke sebuah rumah kecil, sebuah pondok kecil didekat hutan purun tadi, dimana terkadang dia bisa bertemu Uma[8] dan keluarganya didunia lain, terkadang bapanya kakek buyut kita juga berkumpul disana ”.

“lalu apakah kakek buyut kita menikah dengan wanita manusia lagi, paman?”
“sepertinya dia menikah lagi, orang jaman dulu jarang mempunyai istri satu, kita ini lah keturunannya”

Karena kelelahan aku tertidur tanpa disadari, aku lelaki dewasa yang tertidur karena mendengar sebuah dongeng.

Pagi-pagi sudah kami bersiap memasuki hutan, dua ekor burung Enggang terbang rendah melintasi kami, terbang menuju pepohonan berbuah kecil untuk makan dipagi hari diseberang pondok kami. paman menyombongkan diri bahwa dia dan sepupuku akan menjadi pemandu yang handal untuk menjelajahi hutan ini, tidak sampai lima menit kami memasuki jalan setapak, terdengar suara gaduh cabang-cabang pohong yang seolah retak berbunyi,beberapa pohon bergoyang-goyang didepan kami, kami mengejar ingin tahu apa yang terjadi, paman kemudian berpaling memandangku dengna tersenyum dan berkata “kamu beruntung anakku, tak perlu kau mencarinya, datu sendiri yang telah datang menyambutmu”.

*******

aku telah menunggu hampir setengah jam diwarung makan, atak muncul dengan muka agak masam.

“hari ini aku yang traktir kamu makan” kataku

“terserah kamu”

“aku telah bertemu datu”

“selamat, kamu mungkin telah bertemu hantu”

aku memperlihatkan sebuah fhoto dari smartphoneku ‘lihat, aku bersama datu”

atak melihatnya dan melototiku dengan bola matanya yang kecil

“ini tidak mungkin, hal ini tidak mungkin ada jika diseluruh wilayah timur sungai barito”

“ini datuku, dan tidak akan ada gunanya berbohong kepadamu”

Atak semakin membuka matanya lebar-lebar

“aku ingatkan kamu, agar kamu tidak gila, ini bukan datumu, ini urang utan”

“aku tahu, dan dia tetap keluargaku” akupun tersenyum puas.

[1] Datu (Bahasa Banjar): sebutan bagi orang tua yang dihormati, datu adalah ayah dari kakek,

[2] Perahu kecil bermesin

[3] Sejenis rumput air

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun