Mohon tunggu...
Imam Alfie
Imam Alfie Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A big guy with big plans

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rekening Penyampaian Gratifikasi: Gagasan untuk Dipertimbangkan

17 September 2012   04:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:21 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada PNS yang tidak pernah menerima uang haram. Pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan saya yakin sekali kebenarannya. Uang haram yang dimaksud adalah uang dari perbuatan yang salah secara etika, sekalipun mungkin tidak terbukti secara hukum dan akuntabilitas keuangan.

Pengalaman yang masih sangat singkat di birokrasi tidak membuat saya terlepas dari pernyataan tersebut. Adapun situasi yang menjadi dasar argumentasi saya beragam jenisnya, antara lain:
1. Praktik "pinjam nama". Praktik ini sudah lumrah terjadi di birokrasi. Pinjam nama atau yang oleh sebagian disingkat sebagai PN adalah praktik penggunaan nama pegawai untuk pertanggungjawaban suatu kegiatan, padahal pegawai yang bersangkutan tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Seperti saya tulis sebelumnya, ada 3 jenis PN berdasarkan tujuan dilakukannya oleh Pejabat Pembuat Komitmen, yaitu PN untuk menjaga ketersediaan uang kas, PN untuk menutupi kekurangan anggaran kegiatan lain, dan PN untuk memperkaya diri. Seorang PNS biasanya akan menerima uang hasil PN atas namanya. Sulit bagi seorang PNS untuk menolaknya, karena akan dianggap tidak memahami kesulitan pengelola keuangan. Padahal, tidak jarang PNS tersebut tidak tahu tujuan sebenarnya dari PN yang dilakukan, apakah benar-benar untuk uang kas, menutupi kekurangan anggaran, atau justru disalahgunakan oleh PPK untuk memperkaya diri.
2. Rapat di luar kantor (konsinyasi) yang selesai lebih cepat dari rencana. Ini juga sudah lumrah terjadi. Misalnya, diagendakan konsinyasi untuk 3 hari, namun ternyata hanya 1 atau 2 hari sudah selesai. Akan tetapi, uang saku rapat yang diterima PNS yang terlibat akan tetap untuk 3 hari.
3. Pembagian bonus tahunan. Sistem bonus tahunan yang sering dilakukan di perusahaan swasta tidak dikenal dalam birokrasi. Namun demikian, seringkali pengelola keuangan melakukan ini. Sekali lagi, PNS yang bersangkutan, terutama yang masih junior, akan sulit untuk menolak hal ini karena rasa takut atau segan.
4. Honor tim yang tidak relevan. Dalam sistem keuangan kita, seorang PNS dapat menerima honor tim apabila tergabung dalam suatu pekerjaan khusus. Sayangnya, praktik ini menjadi konyol karena seringkali untuk setiap kegiatan dibuatkan honor tim yang diterima setiap bulan. Kalau demikian, untuk apa gaji yang diterima PNS? Akan tetapi, seringkali pencantuman nama seseorang dalam keanggotaan tim tidak melalui konfirmasi dan tidak relevan karena yang bersangkutan tidak terlibat sama sekali dalam implementasi kegiatan tersebut.

Masih banyak situasi lain yang "memaksa" PNS untuk menerima uang haram. Padahal, tidak semua PNS benar-benar menginginkan uang tersebut. Orang-orang seperti ini biasanya akan menyimpan uang yang diterimanya (tidak digunakan) atau menyalurkannya ke panti asuhan atau rumah ibadah. Akan tetapi, perasaan bersalah akan terus menghantui mereka karena sebenarnya mereka tetap menerima uang tersebut.

Dalam suatu perbincangan saya dengan seorang pensiunan PNS yang terakhir kali bekerja di KPK, lawan bicara saya menyampaikan gagasan soal rekening resmi negara yang berfungsi sebagai tempat penyampaian gratifikasi. Beliau menyebut rekening ini sebagai RPG (rekening penyampaian gratifikasi).

Rekening ini akan berfungsi sebagai tempat para PNS sebagaimana saya ceritakan untuk menyetorkan uang haram yang diterimanya. Nantinya, uang ini akan kembali ke kas negara. Dengan rekening ini, mereka tidak perlu merasa bersalah karena uang negara akan kembali kepada negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, penerima gratifikasi wajib melaporkan gratifikasinya paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak menerima gratifikasi. Aturan ini dapat disempurnakan dengan RPG ini sebagai wahana pelaporannya. Dalam hal seseorang menyetorkan ke rekening ini, maka KPK tidak perlu menetapkan apakah sebenarnya yang bersangkutan berhak atau tidak atas uang tersebut, karena yang bersangkutan memberikannya kepada negara secara ikhlas.

Hal yang perlu diperhatikan adalah perlu diatur agar penyetor gratifikasi diberikan perlakuan sebagai justice collaborator (JC) apabila kasus gratifikasinya ternyata adalah bagian dari sebuah kasus besar. Ini terlihat dari itikad baik yang bersangkutan dengan menyetorkan uang yang diterimanya kepada negara. Namun demikian, apabila terbukti bahwa jumlah yang disetorkan tidak sesuai dengan yang seharusnya disetorkan, maka dapat saja yang bersangkutan turut diproses hukum.

Tentu saja tidak semua kasus penyetoran gratifikasi perlu ditindaklanjuti oleh KPK atau Polri. Jika demikian, saya yakin kedua lembaga akan sangat kewalahan. Akan tetapi, untuk kasus-kasus yang teridentifikasi sebagai bagian dari kasus besar, maka lembaga tersebut dapat menindaklanjutinya.

Penulis menyadari bahwa RPG bukanlah solusi fundamental (fundamental solution) dari persoalan pengelolaan keuangan dan kesejahteraan pegawai. Bahkan, apabila merujuk pada systems thinking ala Peter Senge, RPG mungkin saja sebuah solusi sesaat (symptomatic solution) belaka. Akan tetapi, penulis meyakini bahwa efek samping dari solusi sesaat ini relatif lebih kecil daripada solusi sesaat lainnya.

Bayangkan apabila dari sekitar 4,5 juta PNS menerima uang haram minimal 100 ribu rupiah per bulan, maka setahun setiap orang menerima 1,2 juta rupiah. Jika setengah saja dari mereka berniat baik untuk mengembalikan uang tersebut, maka akan terdapat saldo 2,7 triliun rupiah di rekening RPG ini dalam setahun. Padahal, saya percaya jumlah uang haram yang diterima sangat mungkin lebih besar dari asumsi tersebut. Semakin besar jumlah yang masuk ke rekening ini, semakin keras pula tamparan yang akan diterima pemerintah untuk memperbaiki sistem keuangan dan kesejahteraan SDM aparatur. Ini sekaligus menjadi instrumen otokritik dari birokrasi, agar PNS tidak selalu disalahkan, karena PNS memang tidak selalu harus disalahkan.


Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun