Pernahkah istilah twin deficit dan bagaimana jika suatu negara mengalami hal ini?
Secara definisi, twin deficit mengacu pada kondisi suatu negara yang mengalami defisit anggaran dan neraca berjalan secara bersamaan. Kondisi ini membuat perekonomian mengalami tekanan inflasi yang dalam dan sulit untuk tumbuh ke arah positif.
Lalu, apa penyebab twin deficit bisa terjadi?
Ada beberapa hal yang berperan andil memicu dan menjadi penyebab twin deficit, seperti ekspansi fiskal saat kondisi pemerintah menambah belanja negara tapi tidak diimbangi dengan penerimaan negara. Hal ini mendorong impor lebih besar yang berdampak pada keputusan pemerintah untuk melakukan utang baik utang ke pihak domestik maupun ke luar negeri. Dengan demikian, neraca berjalan menjadi defisit anggaran jika lebih besar impor daripada ekspor. Di satu sisi, jika pemerintah memilih menambah pinjaman ke luar negeri artinya permintaan mata uang asing beredar dalam negeri jadi berdampak dan ini berdampak pada depresiasi mata uang dalam negeri. Kondisi seperti ini jika tidak dikontrol dengan ketat maka berdampak pada situasi perekonomian lebih parah karena menggucang sisi stabilitas pertumbuhan ekonomi dan moneternya. Â
Lalu bagaimana pemerintah mengatasi twin deficit ini?
Ada beberapa langkah yang biasanya dipilih, pertama dengan menambah penerimaan negara melalui pajak (pajak PPN, bea masuk, PPh, PBB, dsb), meningkatkan regulasi terkait koruptor karena aset hasil sitaan koruptor bisa masuk ke negara melalui pendapatan bukan pajak, meningkatkan ekspor negara, alokasi anggaran ke sektor produktif untuk menambah penerimaan negara, mengurangi kuota impor, monetisasi utang, dan debt repudiation.
Indonesia pernah mengalami inflasi dan krisis moneter parah tahun 1998 pada era Reformasi Presiden Soeharto hingga pertumbuhan ekonominya dan neraca transaksinya defisit. Nilai tukar Rupiah terdepresiasi parah dan utang luar negeri meroket naik ditambah tingkat suku bunga yang dibebankan pada utang luar negeri, justru menjadi bumerang berlipat ganda atas kejatuhan stabilitas moneter nasional. Pada era Soeharto defisit anggaran mencapai 2,5 persen dari PDB dengan total utang luar negeri US$150,9 miliar dan nilai tukar yang terdepresiasi dari Rp 2.380 per USD (Juni 1997) menjadi Rp 14.150 per USD (Juli 1998). Efek berlipat dengan pembiayaan impor seperti BBM menambah beban keuangan negara. Keruntuhan pasar uang dan modal serta perbankan runs. Berbagai usaha dan perusahaan gulung tikar dan banyak PHK.
Berbeda pada era Soeharto, pada masa pemerintahan Jokowi juga mengalami twin deficit karena tekanan pandemi covid-19. Dari data Kementerian Keuangan (2020), defisit anggaran mencapai 2,4 persen terhadap PDB dan pertumbuhan ekonomi -4 persen. Dari sisi utang luar negeri sebesar US$ 398 miliar dengan kurs Rupiah terdepresiasi hingga Rp 16.400 per USD. Banyak perusahaan melakukan PHK dan angka pengangguran dan kemiskinan meningkat. Pemerintah memberikan bansos tunai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tekanan ini karena mobilitas dibatasi yang menghambat perputaran ekonomi. Namun penanganan ini krisis ini berbeda. Pemerintah memilih melakukan burden sharing dengan Bank Indonesia. Melalui kebijakan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan 2023 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, BI bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan burden sharing atau berbagi beban. BI membeli SBN jangka panjang di pasar perdana dengan tanpa bunga. Nominal pembelian SBN ini sebesar Rp 1.144 triliun. Kebijakan ini diambil Kementerian Keuangan agar tidak mengulangi era beban utang luar negeri pada 1998. Meskipun terkesan seperti menurunkan sisi independensi Bank Indonesia, namun situasi yang mendesak ini perlu kerjasama dan koordinasi kuat berbagai lembaga untuk mendorong penyelamatan kondisi ekonomi. IMF maupun world bank melihat ini sebagai peluang mereka untung menambah keuntungan namun Presiden Jokowi menolak tegas karena tidak ingin mengulang era 1998 dengan beban utang dan bunga yang terus bertambah.
Dampak dari penangan covid-19 Indonesia yang tergolong cepat, membuat banyak negara menaruh perhatian pada Indonesia termasuk pada era Presidensi G20. Sekalipun penanganan cepat, terdapat beberapa implikasi kebijakan, seperti risiko inflasi karena jumlah uang beredar meningkat melalui penambahan likuiditas, kredibilitas ekonomi kebijakan fiskal dan moneter dalam merespon krisis akibat faktor eksogen, dan ketergantungan pemerintah terhadap bank sentral. Ya, secara penanangan bagus dengan langkah untuk mengurangi defisit anggaran dan mendorong stabilitas sistem keuangan. Namun untuk kedepannya perlu merumuskan respon mitigasi risiko kebijakan agar pemerintah tidak terus bergantung pada Bank Indonesia jika mengalami defisit anggaran. Ketika kondisi ekonomi stabil perlu menempatkan investasi pada sektor riil yang berdampak dan nantinya membantu mengatasi jika terjadi krisis serupa.
Kemungkinan twin deficit masih bisa melanda. Ketergantungan impor BBM ditambah ketidakpastian global yang kian naik karena beberapa persaingan ekonomi blok dunia, membuat Indonesia perlu mengantisipasi adanya inflasi dari faktor eksogen. Selain dari impor BBM, banyak impor manufaktur dan produk pangan yang belum renewable dan bisa produksi mandiri. Dominasi penyumbang PDB masih didorong oleh tingkat konsumsi. Jika Indonesia ingin mandiri perlu perkuat sisi produksi dan mandiri dalam kebutuhan sumber daya sehari-hari seperti kebutuhan pangan. Perbanyak energi renewable seperti kendaraan berbahan bakar listrik dengan pengembangan sumber daya listrik yang terbarukan dan tidak tergantung pada batu bara ataupun fosil. Investasi di bidang seperti ini perlu semakin dikuatkan dan diakselerasi lebih baik.