Kebijakan fiskal adalah peraturan pemerintah untuk mengelola dan mengatasi masalah dalam perekonomian suatu negara (Mankiw, 2016). Seperti cara pemerintah mengatasi inflasi, yaitu dengan mengimplementasikan kebijakan fiskal kontraktif. Sementara deflasi ditanggulangi dengan fiskal ekspansif. Peraturan ini erat kaitannya dengan pajak dan belanja negara atau APBN. Anggaran negara memiliki fungsi krusial dalam perekonomian Indonesia, karena sekolah gratis, infrastruktur maju, gaji pegawai negeri bergantung pada APBN dan kebijakan fiskal. Semakin kecil APBN, semakin sulit pula hal-hal tersebut dilaksanakan yang pada akhirnya berakibat pada kurangnya kesejahteraan masyarakat.
APBN memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian. Fakta anggaran pemerintah yang tidak dapat dihindari saat ini adalah semakin kecil luas suatu daerah, semakin kecil pula APBD-nya. Itu sebabnya mengapa orang dari desa pergi merantau ke kota maju. Selain untuk mencari pekerjaan, alasan mobilisasi penduduk meninggalkan kota asal mereka adalah untuk menimba ilmu pada tempat berfasilitas lebih memadai. Tentu hal ini membuat anak-anak yang masih bersekolah dan orang tua mereka perlu menyiapkan uang yang lebih banyak.
Pendidikan masuk ke salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs nomor empat. Salah satu target SDGs pendidikan, yaitu akses yang sama ke pendidikan teknis, kejuruan, dan pendidikan tinggi. Namun, fakta pendidikan Indonesia saat ini adalah negara ini hanya mampu membiayai pendidikan penduduknya sampai SMA. Sementara di masa lapangan kerja yang semakin kecil ini, para penyedia pekerjaan lebih menginginkan lulusan S1 untuk bekerja dengan mereka. Rata-rata orang yang tidak kuliah berakhir dengan pekerjaan sebagai buruh yang gajinya tidak seimbang dengan energi fisik yang terkuras. Pendidikan yang rendah juga sangat berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan berbagai indikator global, sumber daya manusia Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara di Asia Tenggara.
Dalam seminar nasional Jesuit Indonesia di Jakarta pada Kamis, 30 Mei 2024, Menteri Keuangan Indonesia, ibu Sri Mulyani, berpendapat bahwa jika ingin Indonesia pemerintahnya seperti Nordic Countries, negara ini harus membayar pajak penghasilan sebesar 70 persen. Negara nordik adalah negara yang menggratiskan pendidikan warganya sampai perguruan tinggi. "Aku pernah punya teman di Bank Dunia, dia dari Finlandia. Saya tanya, how much tax you pay? Oh, around 70 percent. Jadi kalau kamu dapat (gaji) 100.000 (US dollar), kamu cuma dapet 30.000 US dollar? Iya." Ibu Sri juga mengatakan bahwa fasilitas pendidikan gratis sebenarnya tidak gratis atau dibayar melalui pajak. Dilansir dari cuitan masyarakat Indonesia di aplikasi X, dari penjelasan bu Sri, banyak dari mereka yang tidak setuju jika pajak Indonesia naik sampai 70% karena negara ini masih berisikan orang-orang korupsi termasuk dari pemerintahan.
Swedia merupakan salah satu negara dengan beban pajak paling tinggi di dunia. Mengutip The Guardian, pajak penghasilan pribadi orang Swedia yang paling rendah adalah sebesar 29 persen dari gaji mereka. Tetapi kebanyakan orang membayar pajak antara 49 sampai 60 persen. Meski memiliki pajak tinggi, penduduk Swedia tidak merasa ini adalah hal yang buruk. Orang-orang di sana sangat memercayakan uang mereka untuk dikelola pemerintah karena mereka yakin pajak yang mereka bayar pada akhirnya akan kembali ke mereka. Mengutip dari Kobi Education, Swedia menyediakan pendidikan murah bahkan biaya pendidikan secara gratis bagi siswa dari negara-negara Uni Eropa atau EEA (Area Ekonomi Eropa).
Sementara itu, Jerman menetapkan pajak tidak sampai 50%, yaitu hanya 14%, 42%, dan 45%. Meski tidak sebesar Swedia, negara ini menjadi salah satu penyedia pendidikan gratis sampai kuliah untuk warga domestik maupun internasional. Populasi penduduk Jerman sebesar 83 juta, sementara populasi Indonesia lebih banyak 3 kali lipat. Jika adopsi sistem pajak negara nordik adalah langkah agar kuliah di Indonesia bisa gratis, sistem pajak Jerman yang tidak sampai 50% pun seharusnya bisa dilakukan. Akan tetapi, hal ini nyatanya tidak bisa dilakukan dengan besar penghasilan rata-rata Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan Jerman.
Saya setuju dengan pendapat menteri keuangan Indonesia saat ini bahwa pajak harus dinaikkan hingga 70% agar pendidikan gratis bisa sampai jenjang kuliah. Pajak yang tinggi akan berakibat pada APBN yang tinggi juga. Banyak hal baik yang bisa dicapai apabila pendapatan negara meningkat selain dari aspek pendidikan, seperti infrastruktur yang lebih baik untuk mempermudah mobilitas perekonomian, fasilitas-fasilitas lebih memadai, terbukanya lapangan pekerjaan, dan yang terpenting meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Jika sumber APBN yang berasal pajak meningkat, negara juga dapat meminimalkan utang kepada negara lain karena faktanya saat ini utang Indonesia pada Juli 2024 sudah mencapai Rp8.502,69 triliun. Â
Namun, bila pertanyaannya diubah menjadi apakah Indonesia bisa menaikkan pajaknya hingga 70%? Pendapat saya adalah tidak bisa. Alasan utamanya adalah korupsi yang masih membudaya. Menko polhukam Mahfud MD pernah mengatakan bahwa korupsi saat ini terjadi bahkan sebelum anggaran pendapatan dan belanja negara dibentuk. Dia mengatakan bahwa ada kepala daerah menyuap anggota dewan agar proyek yang diinginkan diusulkan dan masuk ke dalam APBN. Lalu, pada tahun 2023, Coruption Perception Indeks (CPI) Indonesia memperoleh nilai 34 dari 100 dengan ranking ke-115 dari 180 negara. Hasil ini stagnan dari tahun-tahun sebelumnya, ini berarti darurat korupsi di Indonesia masih belum diatasi dengan benar. Pajak 70% yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa jadi justru menjadi bumerang dan menyengsarakan rakyat.
Pendidikan dan ekonomi adalah dua aspek yang selalu beriringan. Ekonomi yang maju berpengaruh besar pada kemajuan pendidikan, begitu pun sebaliknya. Pajak 70% sebenarnya bisa menjadi ide bagus dalam pembangunan ekonomi Indonesia agar bisa bersaing dengan negara-negara maju. Namun sebelum sampai sana, masih ada aspek lain yang perlu menjadi perhatian penuh seperti korupsi. Jika negara ini tanggap terhadap kasus-kasus yang ada dan memberi hukuman yang setimpal kepada para koruptor, perlahan negara akan bebas dari korupsi dan masyarakatnya bisa percaya pada pemerintah untuk mengelola 70% dari pendapatan mereka.
Ditulis oleh Alfia Rahmayanti. Mahasiswi program studi Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga.Â
Daftar Pustaka: