Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Budi, Bujang Baik Pekerja Keras (Obituari Sahabat Saya, Budi Setiawan)

3 Desember 2019   13:11 Diperbarui: 3 Desember 2019   13:28 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika di pekuburan dan jasad Budi dikebumikan, adiknya membacakan Surah Yasin dengan khidmat. Suaranya merdu, setiap ayat penuh penegasan dan saya sendiri merinding.

Para pelayat dan keluarga yang ditinggalkan pun diam, menunduk, dan merenung. Saya merasa malu dan sangat bersalah karena tidak pernah mengucapkan maaf dan berterima kasih pada Budi.  Bahkan ketika Idul Fitri, kami pun tidak pernah melakukan bentuk formalitas seperti salam-salaman dan dilanjutkan dengan kata "maaf". Jika kami melakukan hal itu, justru akan menjadi hal yang benar-benar aneh. Ketemu langsung ketawa, banyak omong ; ketawa, banyak omong. Mengingat kenangan yang dulu-dulu dan itu terus yang diulang-ulang. Menjadi cerita kebanggan kami pribadi.

Tapi saya yakin, diantara persahabatan dan kekeluargaan kami, tidak pernah itu ada namanya dendam, dengki dan iri hati, karena persahabatan kami dimulai dari jujur, sejujur-jujurnya, tulus, setulus-tulusnya, "plos", tidak pernah saling menyakiti dan disakiti.

Mungkin pemikiran saya sempit, namun bisa jadi ada benarnya juga. Di zaman ini, susah sekali mencari sahabat rasa saudara. "Sahabat rasa saudara" hanya sebuah kalimat mutiara bentuk formalitas agar disebut sahabat, padahal intinya bersahabat karena "ada maunya". Tidak heran jika persahabatan yang selama ini kita kenal, merupakan gumpalan muka dua dan tidak ada kejujuran lagi didalamnya.

Karena, ketika sudah berumur di atas 23 tahun ke atas, semua manusia berpikir jalan hidup masing-masing. Menganggap persahabatan itu dijalin karena jaringan, relasi, pekerjaan, dan bisnis untung-rugi berjalan lancar.
"Perbanyak teman, maka rezeki pasti adanya di teman. Biar tak susah cari kerja, perbanyak relasi dan berteman," itulah pesan dari salah satu teman saya, yang mempunyai banyak teman, namun ketika dirinya ditempa musibah dan butuh pertolongan seorang teman,  teman yang menolongnya itu hanya bisa dihitung jari.

Artinya, persahabatan hanya untuk persoalan kerja, kerja, dan kerja. Dengan hal ini, menurut saya itu sah dan wajar-wajar saja, karena sudah menjadi tuntutan bagi masyarakat era industri dan teknologi----bagi para kaum penyembah teknologi, ini sudah memasuki era revolusi industri 4.0---yang kadang four poin zero ini selalu diagung-agungkan, tetapi arahnya masih abu-abu. 

Saya pun kadang jengkel sendiri dengan penyebutan "four point zero ; four point zero", karena hal itu berbanding terbalik dengan realita saat ini. Masih ada kesenjangan sosial, tidak adanya nurani manusia, dan justru membuat budaya kita semakin mengalami kemunduran. Tinggal klak klik di telepon pintar, semua masalah sudah bisa teratasi dan tenaga manusia pun tak dihargai. Ah, sudahlah.

dokpri
dokpri
Persahabatan kami, IPK 1 angkatan 2011 telah ditanam dan dipupuk dengan ikatan emosional. Maka, ruhnya adalah persahabatan yang murni, semurni-murninya.

Jika ada sahabat yang berduka atau tertimpa musibah, kami pasti akan semangati dan bantu, tanpa terkecuali. Minimal, datang ke rumahnya. Kalau patah hati gara-gara asmara, siap-siap saja jadi bahan tertawaan dan sahabat saya paling senang dengan hal-hal semacam itu.

Saya ingat, ketika kelas 3, kawan kami M. Thamrin kecelakaan di pertigaan Jl. Mulawarman mau masuk ke SMKN 5. Saat itu saya arah mau pulang dari sekolah, Budi menelepon saya, mengabarkan kalau Thamrani kecelakaan dan ada di Puskesmas Lamaru. Saya dan kawan-kawan lainnya menyusul Budi. 

Pas saya datang, Budi paniknya minta ampun karena melihat tangannya Thamrani berdarah, matanya melotot dan bicara melantur tidak jelas. Ia mengatakan kalau di Puskesmas Lamaru dokternya sudah pulang. Kami membopong Thamrani ke angkutan umum (angkot),  membawanya ke Puskesmas Manggar, saya dan Budi menemaninya di angkot. Di Puskesmas Manggar juga suda tutup. Terpaksa ke Puskesmas Sepinggan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun