Profesionalisme, loyalitas, serta cinta terhadap tim dalam tubuh sepak bola, tak hanya dimiliki oleh para pemain, pelatih, manajemen, dan pemilik klub. Semua elemen penting dalam tubuh sepak bola harus bersatu, sehingga menjadikannya entitas yang tak bisa dipisahkan: demi presatsi.Â
Semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran suporter, yang selalu ada dan berada. Dengan tabuhan perkusi, yel-yel pembangkit semangat, serta panji-panji yang terus dikibarkan di dalam atau di luar stadion. Suara semangat kolektif, tepuk tangan dan tabuhannya, mampu  memompa semangat juang para pemain, mengingatkan pemain agar bermain dengan hati, tidak loyo dan melempem.
Pada hakikatnya, suporter adalah suporter. Ia selalu ada di stadion. Pemain boleh saja pergi, namun lambang tim di dada, selamanya di hati.
Loyalitas memang tak dapat diintervensi oleh siapapun. Mungkin loyalitas juga semacam idealisme, di mana ia yakin, percaya dan  berpegang teguh pada prinsip dan cita-cita. Namun, sebagai suporter bijak, ada baiknya berpikir obyektif demi membangun klub sepak bola bersama, di mana ia terlibat langsung menghargai keringat pesepak bola, bukti yang paling nyata adalah membeli tiket pertandingan.
****
Ketika mayoritas klub sepak bola masih berbentuk perserikatan di tahun 1980-1990-an, mayoritas tim-tim perserikatan tersebut disokong oleh pemerintah daerah. Setiap kepala daerah, baik itu bupati, wali kota, atau bahkan gubernur mempunyai peran andil sebagai pengurus dan bisa jadi---mayoritas---menjabat sebagai "ketua umum". Ambil contoh, mantan Wali Kota Balikpapan, yang menjabat pada tahun 1981-1989, Syarifuddin Yoes, di masa kepemimpinannya, ia adalah ketua umum Persiba Balikpapan, di mana bapak "penggila bola" ini mempunyai dedikasi, loyalitas, dan cinta yang besar terhadap klub yang dulunya berjuluk "Selicin Minyak".
Dalam sepak bola modern, apalagi ketika tim-tim perserikatan di tahun 2009 dipaksa berbentuk perseroan, menyusul peraturan Menteri Dalam Negeri yang melarang APBD dipakai untuk mendanai klub, dari sinilah masa transisi pengelolaan sepak bola di Indonesia dari "perserikatan" menjadi "profesional". Lepas dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), semua operasional biaya klub, ditanggung oleh Presiden Klub---walau sering ditemui keberpihakan pemerintah, gubernur, kota atau kabupaten mendukung tim tersebut, bagi dari segi operasional-finansial.
Mengelola klub sepak bola Indonesia secara profesional tidak gampang. Pemilik klub mesti memikirkan hal itu secara matang-matang dan berani mengeluarkan dana yang tidak main-main bagi klubnya, baik klub yang berkompetisi di Liga 1, Liga 2 dan Liga 3.Â
Tak heran, jika kita sering mendengar bahwa orang yang mengurus sepak bola itu "sudah gila". "Sudah gila" dalam arti, tidak gila. Pikirannya sehat, jernih  dan sangat waras, namun dari kewarasan itu ia berani mengambil resiko bahwa mengurus sepak bola tidak ada untungnya---kecuali ingin dikenal untuk mengumpulkan masa sebagai alat politik atau menjadi mafia sepak bola.
Toh, banyak ditemui berbagai macam masalah klasik lainnya yang membuat klub itu gulung tikar dan bahkan pelatih dan pemain di klub yang ia bela menuntut ke "meja hijau", memperkarakan haknya sebagai pesepakbola tidak terpenuhi: tidak digaji.
Kendati demikian, memang benar bahwa setiap klub sepak bola mendapatkan dana dari pihak operator penyelenggara kompetisi. Namun, dana tersebut lagi-lagi tidak mampu menutupi gaji pemain dan biaya finansial lainnya.