Ambil contoh, ada sebuah klub sepak bola yang berkompetisi di kasta kedua liga Indonesia, dengan materi pemain dari Liga 2 dan eks pemain yang pernah merasakan Liga 1. Ia telah mengontrak 25 pemain dengan durasi satu atau dua musim yang setiap bulannya, satu pemain di gaji sekitar 7-25 juta. Belum gaji tim pelatih dan ofisial, yang  jika ditotalkan bisa sampai ratusan  juta rupiah per bulan.Â
Di samping itu, belum lagi biaya operasional tim selama per musim, mulai dari ongkos laga tandang, sewa lapangan, bis, katering, penginapan, bonus apresiasi kemenangan, serta biaya-biaya tak terhingga lainnya?
Perlu digarisbawahi, memang benar, secara kualitas memanajemen tim sepak bola Indonesia dengan Eropa sungguh sangat berbanding jauh. Sepak bola Eropa yang unggul dalam segi permainan, mampu menghidupkan sebuah klubnya dengan cara menarik para sponsor, investasi pengusaha kaya, hak siar, serta pertandingan di stadion yang selalu penuh oleh penonton. Â Dengan cara itu, mereka mendatangkan pemain bintang yang nilai kontraknya membuat kita geleng-geleng kepala serta manajemennya pun bekerja secara profesinal.
Akan tetapi, lagi-lagi sepak bola liga Eropa diuntungkan ongkos laga away. Tak usah terlalu jauh, mungkin bisa ambil contoh di Liga Thailand. Jarak tempuh antar kandang dan tandang tempat Tim A dan tim B bertanding tidak terlalu jauh, sehingga cukup memakai kereta api atau bis pribadi tim. Sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan.Â
Bagaimana jika klub Aceh United FC (Aceh) naik ke Liga 1 dan melakoni laga tandang melawan kontestan dari Papua, Persipura Jayapura? Berapa kali pesawat harus transit dan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh manajemen?
Memang benar, persoalan finansial klub sepak bola bukanlah ranah suporter untuk ikut campur tangan. Itu semua, adalah ranah manajemen tim sepak bola.
Ada klub yang sederhana, namun dapat membuat pemain, pelatih dan ofisialnya sejahtera. Tak timbul dari kepura-puraan bagaimana klub tersebut terlihat perfectionist, namun didalamnya banyak permasalahan finansial yang terjadi, dewasa ini. Mulai dari gaji pemain pelatih dan ofisial yang tidak dibayar, atau permasalahan-permasalahan klasik lainnya.
Datang secara langsung dan membeli tiket pertandingan adalah suatu langkah yang bijaksana, demi menghidupi klub, atau minimal menggaji beberapa persen keringat para pesepakbola. Bukankah itu langkah yang sangat bijak dan mulia, wahai para suporter?
Sebagai pemain kedua belas di dalam klub, wajar saja jika suporter protes keras terhadap pemain, pelatih dan kebijakan-kebijakan manajemen tim. Ada baiknya, manajemen juga mendengar saran dan kritik suporter agar seyogianya semua dapat berjalan lancar dan sinergis, sesuai dengan keinginan dan target bersama. Karena, untuk mencapai target yang prestise, semua elemen harus bersatu.
Jika ingin menyampaikan aspirasi atau sekedar curhat terkait beberapa hal dan kebijakan klub sepak bola, sebaiknya bisa disikapi secara "matang" dan dewasa.
Semacam menggratiskan tiket, seharusnya hal-hal tersebut patut dicurigai, dari mana tim sepak bola menggaji para pemain, pelatih dan ofisial? Dari sponsor, pemilik klub, atau ada orang-orang kaya atau orang politik yang berbaik hati? Atau APBD? Bukannya klub-klub sepak bola Indonesia sudah lepas dari perserikatan...