Dan saya juga mendengar berbagai cerita. Entah itu hanya isu, gosip atau tidak. Tapi kejadian seperti ini selalu ada di setiap kota-kota besar. Katanya, ini bukan "cerita mati". "Cerita mati" dalam arti bukan "omong kosong".Â
"Omong kosong" yakni bukan cerita yang dibuat-buat. Cerita ini benar-benar terjadi di mana-mana, yang katanya demi pembangunan modern dan menata estetika kota. Mungkin Anda tahu sendiri apa yang saya pikirkan terkait cerita tersebut.
***
Setelah musibah yang melanda di pemukiman Kelurahan Klandasan Ulu, Kecamatan Balikpapan Kota, Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (5/1) dini hari, sebagian kepala keluarga terpaksa menginap di tenda pengungsian di belakang Masjid At Taqwa atau tepatnya di eks bangunan Polda lama.
Malamnya, saya dan teman-teman saya menyumbang pakaian bekas ke posko tersebut. Walau tengah malam, tapi suasananya tetap ramai. Pengunjung, dinas sosial, serta instansi atau lembaga lainnya sibuk menata baju bekas dan sembako yang datang.
Baru saja tiba baju bekas kami langsung diambil oleh petugas dan ditumpuk jadi satu di salah satu tenda yang menampung khusus baju bekas. Banyak sekali baju bekasnya, ada sekitar 2 ton dan bahkan bisa lebih. Dan untuk sembako pun juga banyak sekali. Mulai dari beras, mie, serta bahan-bahan pokok perlengkapan rumah tangga lainnya.
Saya berjalan menyusuri setiap lorong tenda pengungsian. Saya lihat jam. Pukul 22.10 Wita. Pertama saya ke pos pengumuman. Di pos itu, saya mencari informasi berapa saja kepala keluarga yang kehilangan rumah. Dan apakah ada korban nyawa yang meninggal.
Jumlah kepala keluarga yang menginap di tenda pengungsian ada 60 KK dengan 184 warga sipil dan 41 pelajar. Ada 5 RT yang terbakar, sebanyak 129 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal. Dan beberapa lainnya, ada 353 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.
Mata saya tertuju ke nama korban yang meninggal. Lama saya menatap ke tulisan atas nama Sri Aminah, ibu berusia 35 tahun. Ia meninggal bersama dua anak laki-lakinya, Daffa (7 tahun) dan Fauzan (3 tahun).
Ia meninggal karena terkurung kobaran api. Dari foto yang beredar dan tak sengaja saya lihat karena ada di grup Whats App tanpa sensor, di foto tersebut Aminah dalam posisi tengkurap memeluk anaknya.
Saya tak habis pikir, apa yang ada dibenak Almarhumah Ibu Sri Aminah, di mana ia menghadapi sakratul maut bersama kedua anaknya. Perlahan-lahan atau dengan cepat api menjalar ke tubuhnya, hingga menghanguskan kulit dan tulang.
Apa kata-kata terakhir yang diucapkan olehnya ketika menghadapi sakratul maut yang ada di depan mata, bersama anak-anaknya? Apakah kata yang diucapkan oleh anaknya, apakah tangisan beserta jeritan yang sangat nyaring sambil berteriak ibu? Dan ibu Aminah pun selalu menenangkan anaknya bahwa semua akan baik-baik saja.
Di alam sana, semoga Ibu Siti Aminah dan kedua putranya ditempatkan di tempat yang damai dan tenang. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran. Amin ya robal alamin.
Saya pun menyusuri tenda pengungsi. Masih padat manusia mondar-mandi ke sana-sini. Lampu besar dipasang di tengah-tengah tenda, di sampingnya ada mobil yang sedang menyalakan televisi besar.Â
Film anak-anak, Teletubbies untuk menghibur warga sekitar. Ada beberapa anak-anak yang belum tidur. Ia menonton teletubbies, ada yang berdiri dan duduk, bahkan ada orang tua paruh baya yang menontonnya, tapi dengan pandangan yang kosong. Nonton hanya sekedar menonton.
Saya lihat disetiap tenda yang satu tenda terdiri dari 3 atau 4 kepala keluarga. Barang-barang mereka ditaruh di kresek dan kardus, ditaruh di pinggir. Ada yang baring-baring, memejamkan mata, duduk melamun, main hape, makan, ngobrol-ngobrol.
Terus terang, ketika melewati tenda itu satu persatu, tak tahu raut muka seperti apa yang saya pasang. Tersenyum tak mungkin, karena terus terang mereka tak butuh basa-basi sekedar senyum---menunjukkan wajah sedih apalagi.Â
Dan lebih baik wajah datar tanpa ekspresi. Karena, terus terang ketika saya lewat di salah satu tenda yang diisi oleh seorang laki-laki paruh baya, di mana semua keluarganya tertidur, ia masih duduk sambil ngerokok, sembari menatap mata manusia yang lalu-lalang, dan mata saya juga ditatap dengan pandangan yang datar tapi penuh arti. Saya hanya bisa menundukkan  kepala. Ia pun hanya menunduk dengan wajah yang datar.
Tak mungkin mereka terlelap tidur, karena suara manusia yang lalu-lalang serta banyaknya manusia di tenda pengungsian. Sebenarnya bukan masalah padatnya manusia yang ada di tenda. Tetapi, memikirkan bagaimana dapat hidup dan tinggal di rumah yang layak.
Karena semua rumah tangga pasti membutuhkan rumah. Karena rumah adalah tempat yang paling dirindukan oleh setiap keluarga, di mana segala rutinitas manusia di luar, setelah seselai semuanya mesti kembali ke rumah.Â
Berkumpul bersama keluarga. Bahkan perantau pun sangat merindukan rumah. Rumah sudah sejiwa dengan penghuninya. Tapi, apa yang dipikirkan ketika rumah itu sudah habis terbakar? Atau rata dengan tanah karena penggusuran yang dilakukan secara terpaksa.
Saya ke posko penyaluran sembako. Bertanya-tanya apakah pakaian dan sembako sudah cukup untuk para korban. Bapak yang saya ajak cerita itu banyak bercerita. Pertama, soal baju bekas.Â
Di setiap bencana, terutama kebakaran pasti banyak yang menyumbangkan baju bekas. Bahkan, baju bekas bisa sampai dua truk lebih. Pakaian dihampar dan korban bencana disuruh memilih pakaian apa saja yang diinginkan. Karena terlalu menumpuk, baju bekas ada yang tak dipakai terpaksa dibuang. Tapi kebanyakan baju bekas itu tak dipakai dan dibuang percuma. Sayang sekali.
Kedua, soal sembako. Sembako juga sangat menumpuk. Bahkan bisa jadi korban bencana menjual lagi sembako tersebut untuk "diuangkan". Memang, saya sendiri berpikir, lebih baik menyumbang tak usah dengan dana tunai atau diuangkan. Lebih baik langsung "benda jadi". "Benda jadi" yakni berupa sembako dan perlengkapan lainnya. Karena rasa ketidakpercayaan dengan pihak kedua yang dipercaya menyalurkan sumbangan atau bahkan kepada pihak yang pertama.
Dari penjelasan pertama dan kedua, dapat disimpulkan, realitanya, korban membutuhkan uang. Memang, kata orang materialis uang bisa membeli segalanya, tapi kata-kata bijaksana mengatakan, tak semuanya bisa dibeli dengan uang. Namun, saat ini korban membutuhkan uluran tangan berupa uang.
Korban butuh uang. Butuh uang untuk menyambung hidup bersama keluarga, di mana mereka ingin tinggal di tempat yang layak dan tak selamanya tinggal di tenda pengungsian atau di rumah sanak dan keluarga.
Jika sudah ada rumah sewaan atau secara perlahan-lahan sewa rumah sambil bangun rumah, otomatis korban, terutama kepala keluarga bisa tenang. Tenang dalam arti bisa fokus bekerja untuk menafkahi anak dan istri.Â
Serta, istri bisa melakukan rutinitas kesehariannya, masak, cuci piring, menyapu, cuci pakaian, nabung-nabung sedikit untuk keperluan ini itu. Dan anaknya bisa bersekolah dan belajar dengan tenang tanpa memikirkan bahwa ayah dan ibu tak kesulitan lagi mencari tempat tinggal.
Saya yakin, korban kebakaran tak selamanya selalu ingin diberikan uluran tangan. Korban akan bangkit untuk memulai dari awal, di mana melakukan rutinitas itu. Tapi namanya rutinitas, harus juga diseimbangkan dengan tempat tinggal yang layak berupa rumah.
Memang benar, dalam memberikan sumbangan pasti ada rasa kecurigaan. Tapi, untuk saat ini dan seterusnya, sebaiknya dalam memberikan sumbangan, rasa kekhawatiran dan kecurigaan itu dihapuskan.Â
Jika masih saja curiga, lantas apakah kita benar-benar tulus dan ikhlas memberikan sumbangan itu? Jika disalurkan ke pihak kedua atau pihak ketiga, percayalah sama mereka. Jika saluran itu "dimakan" sendiri oleh pihak kedua, ketiga, keempat dan seterusnya, biarlah mereka yang mempertanggungjawabkanya di akhirat nanti.
Dan saya juga mendengar berbagai cerita. Entah itu hanya isu, gosip atau tidak. Tapi kejadian seperti ini selalu ada disetiap kota-kota besar. Katanya, ini bukan "cerita mati". "Cerita mati" dalam arti bukan "omong kosong". "Omong kosong" yakni bukan cerita yang dibuat-buat. Cerita ini benar-benar terjadi di mana-mana, yang katanya demi pembangunan modern dan menata estetika kota. Mungkin Anda tahu sendiri apa yang saya pikirkan terkait cerita tersebut.
Entah apa yang ada dipikiran mereka yang membumihanguskan rumah rakyat. Jika Anda sendiri yang tinggal di tempat itu, apa yang Anda pikirkan jika melihat rumah Anda terbakar dan yang tersisa hanya baju dibadan. Penderitaan itu lengkap jika anak dan istri menjadi korban dari musibah tersebut. apakah masih melakukan bakar-bakar rumah dengan sengaja?
Bagaimana perasaan Sri Aminah ketika ia memeluk anaknya di rumahnya sendiri. Bagaimana perasaan sanak-keluarga yang ia tinggalkan? Apakah hati nurani yang melakukan "unsur kesengajaaan" tersebut sudah tak ada lagi?
Semoga mereka semakin sadar, sesadar-sadarnya. Semua orang memang tak menginginkan musibah. Tapi alangkah menjengkelkannya apabila musibah itu sengaja dibuat-buat oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab yang katanya demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Rakyat tak butuh pembangunan yang kokoh, elegan, dan rapi. Rakyat butuh rumah yang layak--namun banyak juga rumah tak layak tapi bisa hidup bersahaja.
Jadi, untuk siapa saja yang berhati dermawan dan hartawan, sisikanlah harta kalian untuk manusia yang membutuhkan. Bukannya kata-kata bijaksana mengatakan, sedekah itu tak membuat kita menjadi miskin. Justru mendatangkan rezeki yang berlimpah. Ayo, manusia, sisikanlah hartamu batin yang membutuhkan.
Tambahan : Jumlah sumbangan dari masyarakat, sampai tanggal 6 Januari 2018 pukul 16.30 Wita, Rp. 473.054.000. Jumlah ini akan terus bertambah. Semoga sumbangan tersebut terus bertambah dan tersalurkan ke tangan yang benar-benar membutuhkan. Amin.
Balikpapan, 7 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H