Analisis Wacana Kritis (AWK/Critical Discourse Analysis/CDA) adalah pendekatan dalam penelitian yang bertujuan untuk memahami dan menganalisis hubungan kompleks antara bahasa, kekuasaan, ideologi, dan sosial. Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada aspek linguistik dari teks, tetapi juga menggali makna sosial dan politik yang terkandung di dalamnya. Secara khusus, analisis wacana kritis mengacu pada penggunaan bahasa sebagai alat untuk memperkuat struktur kekuasaan, merespons dan mereproduksi ideologi tertentu, serta mempengaruhi konstruksi realitas sosial.
Sebuah wacana akan dilihat sebagai suatu teks yang merupakan objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang beragam. Teks diterima dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya dimana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Jadi, teks bersifat intertekstual dan sekaligus subjektif atau dengan kata lain, teks bersifat intersubjektif. Artinya teks tergantung pada bagaimana penafsiran-penafsiran yang diajukan orang lain dalam kode-kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan dengan demikian disahkan atau ditolak (Cavallaro, 2004, hlm. 109-111).
Kedua istilah yaitu teks dan wacana, secara bergantian digunakan dalam analisis wacana. Kress (1985) mengungkap tentang istilah teks dan wacana cenderung digunakan tanpa perbedaan yang jelas. Kajian teks lebih menekankan pada persoalan matrialitas, bentuk, dan struktur bahasa, sedangkan kajian wacana lebih menekankan pada persoalan isi, fungsi, dan makna sosial dalam penggunaan bahasa. Diskusi-diskusi dengan dasar dan tujuan yang lebih linguistis cenderung menggunakan istilah teks. Brunner & Grafaen (dalam Wodak, 1996, hlm. 13) mengemukakan bahwa istilah wacana berakar pada sosiologi, sementara istilah teks berakar pada filologi dan sastra (Darma, 2009, hlm.70).
Michel Foucault adalah salah satu pemikir yang mengembangkan teori wacana. Dalam studinya, memperlihatkan bahwa manusia muncul karena susunan kata-kata dan benda yang diubah-ubah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, sepenggal masa yang disebut modernitas, menghasilkan susunan yang memberi tempat istimewa pada diri manusia yang sadar diri.Â
Susunan yang dimaksudkan Foucault adalah keretakan hubungan subyek (kata-kata) dan obyek (benda-benda) yang karena suatu hal diutuhkan kembali. Suatu hal yang membuat keretakan hubungan subyek dan obyek di utuhkan kembali adalah kekuasaan, dan kekuasaan itu diproduksi oleh wacana.Â
Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi dan apa efek produksi wacana? yang bisa menjawab pertanyaan diatas adalah konsep wacana Michel Foucault. Dalam konsepnya Foucault tidak memandang wacana sebagai serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi memproduksi yang lain, yaitu sebuah gagasan, konsep atau efek. Wacana secara sistematis dalam ide, opini, konsep dan pandangan hidup, dibentuk dalam konteks tertentu, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak (Foucault, 2011, hlm. 401- 406).
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, sehingga membentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat tersebut. Syamsuddin (2011, hlm. 7), menjelaskan bahwa pengertian dari wacana adalah sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu kesatuan yang koheren, serta dibentuk dari unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Berdasarkan pengertiannya, Syamsuddin (2011, hlm. 8) mengidentifikasi ciri dan sifat sebuah wacana, sebagai berikut:
- Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur; b.
- Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek); c.
- Â Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya;
- Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu;
- Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental
Dalam hal ini, wacana dapat disebut sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, dan komunikasi merupakan alat interaksi sosial, yaitu hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya dalam proses sosial. Berkomunikasi dapat menggunakan medium verbal (lisan dan tulis) maupun medium nonverbal (isyarat dan kinesik). Perwujudan medium verbal adalah wacana yang merupakan produk komunikasi verbal.Â
Wacana mengasumsikan adanya penyapa (pembicara atau penulis) dan pesapa (pendengar atau pembaca). Dalam proses berbahasa, penyapa menyampaikan pesan (pikiran, rasa, kehendak) yang menjadi makna dalam bahasa (lingual) untuk disampaikan kepada pesapa sebagai amanat (Sudaryat, 2011, hlm. 105-106).
Analisis wacana dan semantik adalah dua bidang studi penting dalam linguistik yang memfokuskan pada pemahaman bahasa. Analisis wacana berkaitan dengan cara bahasa digunakan dalam konteks sosial, politik, dan budaya untuk membentuk pemikiran, keyakinan, dan perilaku individu atau kelompok. Ini melibatkan penelitian tentang bagaimana teks-teks, baik lisan maupun tulisan, diproduksi, didistribusikan, dan diinterpretasikan dalam masyarakat.Â
Analisis wacana juga menyoroti hubungan antara bahasa dan kekuasaan, serta mengungkapkan ideologi yang terkandung dalam wacana tersebut. Di sisi lain, semantik adalah studi tentang makna dalam bahasa. Ini melibatkan analisis tentang bagaimana kata, frasa, dan kalimat membawa makna tertentu, serta bagaimana makna tersebut dikonstruksi dan dipahami dalam konteks bahasa. Semantik memeriksa berbagai aspek makna, termasuk makna leksikal, makna gramatikal, dan hubungan antara kata-kata dalam kalimat.