Perkataan Khalid sontak membuat mata Yassin terbelalak, seakan api neraka mambara di matanya. Tak sampai di situ, raut wajah Yassin pun turut memerah bagai bara api yang siap membakar ranting-ranting kering di hadapannya.
“Apa kau sudah gila, hah?” bentak Yassin memecah keheningan penjara, “mereka pembunuh! Mereka membunuh ibumu!”
“Sudah! Sudah saatnya pertumpahan darah yang terus berkepanjangan ini dihentikan!” Bentak Khalid tak kalah keras, “cukup ibuku menjadi korban terakhir” tak berapa lama air kedukaan menggenang di pelupuk mata khalid.
Sunyi. Tak ada lagi tutur yang keluar dari mulut mereka. Dinginnya tembok penjara seolah memperolok keadaan mereka yang kian tak berdaya menghadapi jeritan bangsa Palestina. Air mata bangsa Palestina sedang berkisah tentang penderitaan yang tak kunjung usai. Namun ini adalah tanah air yang harus bebas dari pedihnya kematian. Masih tersimpan harapan yang begitu besar dalam benak Khalid. Palestina harus merdeka tanpa mengorbankan setetes darah.
“Palestina harus merdeka” ujar Khalid.
“Tentu dengan perjuangan” Balas Yassin.
“Dengan batu?”
“Apapun itu, asal bisa membuat mereka pergi dari Palestina”
Mereka diam lagi. Khalid memandang gambar bendera Palestina yang sempat ia goreskan di dinding penjara.
“Aku begitu mencintainya” Kata Khalid sambil menunjuk bendera Palestina yang melekat di dinding penjara.